Arsip untuk Juni, 2011

Nicolo Machiavelli

Posted: Juni 10, 2011 in politik

Nicolo Machiavelli lahir di Florence, Italia tahun 1469. Machiavelli menghabiskan masa mudanya sebagai seorang diplomat dan administrator di Florence. Meskipun tidak mencapai jenjang duta besar, namun ia telah berhasil menjalankan beberapa misi diplomatic dan urusan-urusan milliter. Ketidakberuntungannya terletak pada ketika jatuhnya republic Florentina ketangan keluarga Meidici. Machiavelli diusir paksa keluar dari posisinya. Machiavelli berpendapat bahwa rezim mempunyai 2 tipe yaitu Principality (kepangeranan) dan republic. Karya Machiavelli yang berjudul The Prince dan Discourses, berisi mengenai dua paham yang berbeda paham yang berbeda.

Pendapat Machiavelli itu lahir dari hasil renungannya. Saat merenung, ia bertanya-tanya: mengapa penguasa bisa runtuh? Semakin mencari jawabnya, kian penasaran Machiavelli. Konon, Machiavelli menemukan jawabannya: negara akan aman dan bertahan lama, bila penguasa kuat. Untuk itu, penguasa tidak cukup hanya berwatak pemberani, gagah perkasa, apalagi hanya mengandalkan nasib mujur. Ia harus penuh perhitungan dan lihai menggunakan segala kesempatan.

Jelas jadinya, menurut Machiavelli, tujuan utama berpolitik bagi penguasa adalah mengamankan kekuasaan yang ada pada tangannya. Baginya, politik dan moralitas merupakan dua bidang yang terpisah, dan tidak ada hubungan satu dengan yang lain. Dalam urusan politik, tidak ada tempat membicarakan masalah moral. Hanya satu hal yang penting ialah bagaimana meraih sukses dengan memegang kekuasaan. Kaidah etika politik alternatif bagi Machiavelli adalah: tujuan berpolitik adalah memperkuat dan memperluas kekuasaan

Fokus Machiavelli adalah bagaimana kekacauan itu dapat diakhiri. Il Principe mau memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana seorang penguasa dapat memantapkan kekuasaannya dan dengan demikian menciptakan dasar untuk membangun negara yang kukuh.

Yang kedua adalah buku Machiavelli yang kedua, Discorsi, yang baru terbit sesudah ia meninggal. Dalam buku tersebut menjadi jelas apa yang sebenarnya menjadi motivasi Machiavelli: mengembalikan kekuatan dan kedaulatan Italia dan untuk itu ia mengacu pada keperkasaan Republik Roma kuno.

Minat Machiavelli yang sebenarnya bukanlah kemantapan kekuasaan penguasa, melainkan kemantapan negara republik yang hanya dapat dibangun sesudah kekacauan berakhir. Agar negara menjadi mantap, rakyat sendiri harus mantap, harus berpartisipasi dalam mengurus negara. Kekuatan negara tidak tergantung hanya dari kemampuan penguasa, melainkan juga dari kemampuan rakyat.

Akan tetapi, banyak penguasa yang salah kaprah dalam memahami karya Machiavelli itu. Bahkan, buku Machiavelli dianggap sebagai buku pegangan para diktator, sebut saja Adolf Hitler, Stalin, Lenin, dan juga Benito Mussolini dalam mempertahankan kekuasaannya. Yang banyak dipegang hanyalah bagaimana mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara: entah itu dengan teror, dekrit, maklumat, mengerahkan massa, memaklumkan keadaan darurat, pemerintahan tangan besi, dan lain sebagainya.

Yang penting, kekuasaan tetap di tangan entah apa akibatnya bagi bangsa dan negara! Kekuasaan adalah kekuasaan!

Gambaran seperti itulah yang akhir-akhir ini kita saksikan di negeri ini. Zaman Machiavelli sudah berlalu, memang. Akan tetapi, “warisan” gagasan masih tetap hidup. Machiavellisme menisbikan nilai etis dalam kehidupan politik. Itulah sebabnya, (seorang) penguasa dapat saja memutuskan dan melanggar ucapannya, janjinya, dan sumpahnya yang disampaikan kepada rakyatnya demi terwujudnya keinginan diri, kemuliaan diri!.

Berikut adalah petikan-petikan dari The Prince dan The Discourse

 

The Prince

Dalam The Prince, Machiavelli menyarankan pangeran untuk berbuat apapun yang diperlukan bagaimanapun tercelanya perbuatan tersebut, karena menurutnya pada akhirnya rakyat hanya peduli pada hasilnya saja. Dalam buku ini Machavelli menjabarkan apa saja hal-hal yang menyebabkan seseorang khususnya penguasa dipuji dan dihujat, mana yang lebih baik antara dicintai atau ditakuti dan bagaimana para penguasa perlu memegang janji-janji mereka.

Seorang penguasa menurut Machiavelli, tidak mengerjakan apa yang bias dikerjakan namun bersikeras melakukan apa yang seharusnya dikerjakan.. seandainya penguasa selalu menginginkan atau bertindak secara terhormat dan dikelilingi oleh banyak orang yang tidak jujur, maka kejatuhan sipenguasa tidak akan terelakkan. Oleh karena itu, para penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaanya harus siap untuk bertindak amoral ketika dibutuhkan. Menuru Machiavelli seorang penguasa memiliki posisi penting. Mereka dipuji atau dihujat karena memiliki beberapa kualitas. Ada penguasa yang senang member dan ada yang serakah, ada yang cerdik, dan sebagainya. Tetapi karena penguasa tidak mungkin mempunyai keseluruhan dari sifat-sifat tersebut dan juga tidak ada manusia yang sempurna, oleh karena itu penguasa harus cukup bijak untuk mengetahui bagaimana agar tidak terkenal dengan berbagai ketercelaan yang akan menghancurkan kekuasaannya. Penguasa harus mencoba menghindari ketercelaan yang berbahaya bagi politik, atau jika tidak mampu untuk melakukan hal ini maka akan menimbulkan sedikit kekhawatiran.

Dalam buku Sang Penguasa, buku yang dibuat Niccolo Machiavelli untuk penguasa Florence, Lorenzo De’Medici yang sedang berkuasa pada waktu itu. Buku ini berupa surat yang panjang berisi petunjuk bagaimana menjadi raja yang berkuasa, dan disegani oleh penduduk, serta nasihat-nasihat bagaimana usaha untuk mempertahankan kekuasaan. Pada dasarnya, menurut Machiavelli seorang raja boleh melakukan apa saja atau dengan kata lain menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan melanggengkan kekuasaan. Pendapat Machiavelli ini bertolak dari kondisi riil tingkah laku politik anggota masyarakat masing-masing negara yang telah diamati oleh Machiavelli.

Tujuan dari semua usaha penguasa itu adalah mempertahankan stabilitas suatu negara agar negara tetap aman dan apabila ada ancaman baik itu dari dalam maupun dari luar negeri maka diadakan tindakan penyelamatan. Tindakan yang diambil oleh penguasa tidak berdasarkan kepentingan rakyat. Akan tetapi, tergantung dari keadaan dan desakan situasi sosial tanpa mempedulikan apakah tindakan tersebut dinilai baik atau buruk oleh rakyat. Seorang penguasa tidak perlu takut akan kecaman yang timbul karena kekejamannya selama ia dapat mempersatukan dan menjadikan rakyat setia, dan demi keselamatan negara. Menurut Machiavelli seorang penguasa jauh lebih baik ditakuti oleh rakyatnya daripada dicintai.

Dalam usaha menegakkan kekuasaannya seorang penguasa dapat melakukan tindakan yang mengabaikan penilaian moral dari masyarakat, seperti misalnya keluarga dari penguasa sebelumnya harus dimusnahkan semua untuk mencegah terjadinya pemberontakan di kemudian hari. Hal itu harus dilakukan penguasa atas desakan dan tuntutan situasi dalam menguasai suatu wilayah baru agar ancaman terhadap kekuasaan wilayah tersebut lenyap, setelah itu baru menarik simpati rakyat agar mendapatkan dukungan. Cara lain untuk mengamanan kekuasaannya diwilayah baru adalah penguasa baru harus tinggal di wilayah tersebut, mendirikan koloni-koloni, dan menempatkan pasukan serta infanteri dalam jumlah yang besar. Wilayah baru dapat diperintah oleh penguasa penggantina tanpa adanya pemberontakan walaupun penguasa baru tersebut telah meninggal bila diperintah dengan bersatu dan para bangsawan tetap diberi kekuasaan di wilayah mereka dimana mereka diakui dan dicintai. Jadi tugas penguasa adalah mengamankan kekuasaan yang ada ditangannya agar dapat bertahan dengan langgeng. Tujuan berpolitik adalah memperkuat dan memperluas kekuasaan. Untuk itu segala usaha yang dapat mensukseskan tujuan dapat dibenarkan. Legitimasi kekuasaan membenarkan segala teknik pemanipulasian supaya dukungan masyarakat terhadap kekuasaan tetap ada. Keagungan seorang penguasa tergantung pada keberhasilannya mengatasi kesulitan dan perlawanan.

Selain itu, untuk melanggengkan kekuasaannya seorang penguasa harus mempunyai hukum dan angkatan perang yang baik. Hukum tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya angkatan perang yang baik. Machiavelli dalam bukunya ini tidak membahas masalah hukum, ia hanya membahas masalah angkatan perang saja. Angkatan perang merupakan landasan seorang penguasa untuk mempertahankan negaranya. Angkatan perang yang dimaksud adalah tentara sendiri bukan tentara bayaran atau tentara bantuan, karena tentara bayaran dan tentara bantuan tidak ada gunanya, mereka tidak disiplin dan tidak setia. Penguasa yang tidak mempunyai tentara sendiri hanya mengandalkan nasib mujur saja, karena tidak mempunyai sarana yang dapat diandalkan untuk mempertahankan negara pada masa-masa sulit. Tentara sendiri adalah tentara yang terdiri dari rakyat atau warga negara atau orang-orang yang dikuasainya. Penguasa harus mempelajari perang dan organisasinya serta cara mendisiplinkan pasukannya.

Seorang penguasa yang bijaksana tidak harus memegang janji apabila akan merugikan diri sendiri dan tidak ada alasan yang mengikat. Seorang penguasa tidak akan kehabisan alasan untuk menutupi tipuannya dan keliohatan seolah-olah baik. Dalam usaha mempertahankan wilayah kekuasaan biasanya penguasa membangun benteng pertahanan, akan tetapi benteng-benteng ini bisa berguna bisa juga tidak tergantung dari keadaan. Benteng dapat bermanfaat dan dapat juga merugikan. Akan tetapi, benteng terbaik adalah menghindari jangan sampai dibenci oleh rakyat. Seorang penguasa yang bijaksana mampu melihat dan membaca situasi yang mengancamnya dan memperkecil bahaya yang dapat ditimbulkannya. Ada tiga macam kebijaksanaan. Pertama, dapat memahami masalahnya sendiri, kedua menghargai pemahaman orang lain, dan yang ketiga tidak memahami masalah sendiri dan tidak menghargai pemahaman orang lain. Dari ketiga hal itu, yang terakhir merupakan sikap yang buruk.

Seorang penguasa juga harus dapat memilih menteri yang baik, yaitu menteri yang memikirkan dan mementingkan urusan penguasa dan negara. Penguasa harus menjalin hubungan yang baik dengan menterinya dan saling mempercayai. Selain itu, penguasa harus menyingkirkan para penjilat yang mengelilinginya dengan cara tidak marah apabila ada orang yang mengatakan hal yang sebenarnya. Darimanapun datangnya nasihat yang bijaksana, tergantung dari kebijaksanaan penguasa, dan kebijaksanaan sang penguasa tidak tergantung pada nasihat yang baik.

The Discourse

Dalam The Discourse (1519) Machiavelli menjabarkan mengenai jenis-jenis Negara, dan bagaimana dalam kota-kota yang korup sebuah pemerintah bebas dapat dipertahankan serta kekuatan dari masyarakat. Dari 6 tipe pemerintahan yang banyak ditulis oleh pemikir-pemikir Negara sebelumnya, 3diantaranya adalah pemerintahan yang baik menurut mereka yaiut Principality, Aristocraty, dan Democracy. Menurut Machialvelli bentuk-bentuk pemerintahan tersebut mudah sekali utnuk berubah dari satu bentuk kebentuk yang lain. Principality (kepangeranan) mudah berubah menjadi tirani, Aristocracy berubah menjadi oligarki dan Democracy tanpa banyak kesulitan berkonvensi menjadi anarki. Jadi, jika sebuah persemakmuran yang didasarkan atas 3 bentu pemerintahan tersebut, maka apa yang disusun tidak bersifat kekal melainkan sementara.

Berbeda dalam The Prince, Machiavelli dalam The Discourse berpendapat baheaketika rakyat memegang kekuatan dan tertata dengan baik, maka mereka akan stabil, arif an tahu terimakasih. Disisi lain, seorang pangeran yang meremehkan hokum-hukum akan jauh lebih tidak tahu berterimakasih, mudah berubah dan tidak arif terhadap rakyat. Machiavelli berpendapat bahwa bukannya tanpa alas an kuat sehingga suara rakyat dimiripkan dengan suara Tuhan, karena menyangkut masalah kearifan dan stabilitas, rakyat lebih stabil dan membuat pertimbangan yang lebih masuk akal daripada pangeran. Menurutnya, opini publik sangat kuat dalam peramalan sehingga seolah-olah rakyat mempunyai kekuatan yang tersembunyi sehingga dapat mendeteksi keburukan dan kebaikan yang akan menimpa mereka.

Alas an kenapa kebanyakan orang berburuk sangka kepada rakyat adalah karena siapapun bias berbicara buruk tentang rakyat secara terbuka tanpa rasa takut, meskipun yang sedang berkuasa adalah rakyat. Sedangkan terhadap seorang pangeran, orang-orang akan berusaha untuk menahan diri dan takut untuk berbicara buruk tentang pangeran.

 

Kesimpulan

Dalam bukunya Sang Penguasa ini, Niccolo Machiavelli memberikan petunjuk bahwa untuk menjadi seorang penguasa boleh melakukan segala cara. Ia juga memberikan nasihat bagaimana menjadi seorang penguasa yang dapat mempertahankan kelanggengan kekuasaannya dengan mengabaikan penilaian moralitas dan agama. Machiavelli memisahkan antara kekuasaan negara dengan kehidupan beragama dan kepentingan moral. Ia hanya membahas bagaimana mencapai tujuan yaitu kekuasaan apapun caranya.

Beberapa bukti terhadap anggapan bahwa Machiavelli adalah orang yang kejam, sadis dan tidak bermoral : yang pertama Machiavelli berpendapat bahwa ada dua macam kerajaan, yaitu kerajaan warisan dan kerajaan baru. Akan tetapi di antara dua kerajaan tersebut kerajaan barulah sering menimbulkan masalah karena banyak menimbulkan kesan yang buruk seperti untuk menguasai daerah baru, keluarga raja yang dulu berkuasa harus ditumpas habis agar tidak menimbulkan pergolakan . Kedua perlu diadakan tindakan-tindakan yang keras pada rakyat sehingga menimbulkan penderitaan yang besar bagi rakyat itu. Dengan tujuan supaya rakyat tidak melawan kepada penguasa tersebut. Menurut Machiavelli penguasa baru itu haruslah membuat suatu penderitaan yang besar bagi sebagian rakyat. Ketiga apabila suatu negara yang baru saja direbut , dan rakyatnya sudah terbiasa hidup bebas dan mengikuti hukum, maka cara yang lebih baik untuk mempertahankan kekuasaan adalah menghancurkan kota itu, karena kalau tidak, maka sang penguasa akan mengalami kesulitan dan bukan tanpa disadari ia akan hancur sendiri. Keempat ada ada dua cara untuk menjadi penguasa di wilayah baru, yaitu melalui kemampuan sendiri dan karena faktor nasib mujur

Menurut Machiavelli, bahwa ada dua cara berjuang yaitu melalui hukum dan kekerasan cara pertama bagi manusia dan cara yang kedua adalah cara binatang. Oleh karenanya seorang raja harus bersikap kadang-kadang sebagai manusia manusia dan kadang sebagai binatang, tak ubahnya seperti rubah dan singa. Dalam hal menepati janji, menurut Machiavelli manusia adalah mahluk yang jahanam yang tidak menepati janji, sehingga anda tidak perlu menepati janji pada manusia itu. Kemudian untuk pertahanan negara ia terpaksa bertindak berlawanan dengan kepercayaan orang, belas kasih, kebaikan, dan agama mengetahui bagaimana ia bertindak jahat jika diperlukan. Sementara itu cara untuk menghindari kebencian pada rakyat, maka seorang raja harus menunjuk orang lain untuk melaksanakan tindakan yang kurang menyenangkan rakyat, dan untuk melakukan sendiri pembagian penghargaan kepada rakyat. Sekali lagi penguasa harus tetap menghargai para bangsawan, tetapi tidak membuat dirinya dibenci rakyat.

Dengan demikian bukti-bukti tersebut dapat digolongkan pada penafsiran bahwa Machiavelli digolongkan sebagai orang yang jahat di sebagian orang, yang menilai sisi buruknya saja dari buku Principe II ini, tetapi menurut sebagian orang mengatakan bahwa Machiavelli tidak sejahat itu, didasarkan atas bukti-bukti di dalam buku Principe II, antara lain:
a. Mengenai kekejaman, menurut Machiavelli dapat dilakukan dengan cara yang baik atau tidak baik. Kekejaman itu bisa digunakan dengan baik jika hal tersebut dilakukan sekali, demi keselamatan seseorang atau negara. Oleh karena dengan cara itu kekuasaannya akan bertahan lama. Walaupun penguasa mengalami kesulitan, raja tidak boleh kejam, karena kebijaksanaan yang telah ditunjukkan raja pada rakyatnya. Kebaikan raja tersebut akan dipandang sebagai sesuatu yang tidak tulus atau hanya sebatas lip service.

b. Menurut Machiavelli sebelum melakukan tindakan keras ia menganjurkan pengadilan sipil di tengah propinsi untuk mengadili rakyat yang melanggar hukum. Setiap kota mempunyai perwakilannya di pengadilan tersebut.

c. Penguasa harus memelihara persahabatan dengan rakyat, karena kalau tidak ia tidak mempunyai teman yang dapat memberikan bantuan pada waktu negara dalam keadaan perang.

d. Raja tidak perlu khawatir disebut kejam, karena kekejaman itu diperlukan guna keselamatan negara. Hal itu didasarkan kalau dia berbuat baik justru akan membawa kehancuran. Sementara kalau dia menampakkan kejahatannya justru akan mendatangkan keamanan dan kemakmuran.

e. Negara yang diperintah dengan baik dan raja yang bijaksana selalu berusaha untuk membuat para bangsawan berputus asa, dan berusaha memakmurkan dan membahagiakan rakyatnya. Hal itu merupakan usaha penting yang harus dilakukan seorang raja. Dengan demikian raja tidak perlu khawatir dengan adanya pembangkangan. Rakyat tidak akan membangkang jika rakyat mencintai rajanya.

f. Hal yang membuktikan Machiavelli tidak sejahat yang dibayangkan orang adalah adanya seruan untuk peduli terhadap rakyat, karena kalau raja tidak perduli dengan rakyat maka raja akan dibenci oleh rakyatnya.

g. Selain itu Machiavelli juga menyarankan agar raja memperhatikan dan percaya terhadap orang-orang yang berbakat, dengan memberikan motivasi dan penghargaan terhadap orang itu.

Dengan cara ini roda kehidupan akan berjalan dengan tenang, sehingga akan tercipta kemakmuran di tengah-tengah masyarakat. Pada akhirnya Machiavelli menyarankan raja agar membebaskan Italia dari penguasa Barbar. Untuk itu diperlukan pasukan rakyat diseluruh wilayah Italia untuk menghadapi bangsa Barbar. Oleh karena dengan menggunakan fasilitas itu pasukan sendiri akan menjadi lebih baik. Mereka lebih setia dan mudah dipersatukan, dipimpin dan diurus oleh raja. Dengan demikian keadilan akan bisa diwujudkan di wilayah Italia di bawah suatu kepemimpinan. Hal itu diperjuangkan melalui perang, karena harapan hanya dapat diperoleh melalui perang, dan perang itu suci.

Referensi

David, Apter. Pengantar Analisa Politik.  LP3ES. Jakarta. Cetakan ke-4. 1996.

Deliar, Noer. Pemikiran Politik Barat. Gramedia: Jakarta. 1998

Maciavelli Niccolo. Il Principe. Gramedia. Jakarta. 1999

 

Polarisasi Politik Internasional

Posted: Juni 9, 2011 in politik

BAB I

PENDAHULUAN

Bipolar dalam politik dunia yang ditandai dengan keberadaan dua great power merupakan perimbangan yang memberikan stabilitas sistem internasional dalam durasi cukup lama. Hal ini bila menandakan bipolar terjadi tahun 1945 setelah berakhirnya Perang Dunia dan berakhir seiring dengan runtuhnya Uni Soviet tahun 1990. Perlu untuk diingat meskipun dalam kurun waktu tersebut tidak terjadi perang besar namun terdapat perang-perang kecil yang disponsori dan melibatkan dua kekuatan besar ketika itu.

Selanjutnya, unipolar dengan munculnya A.S sebagai kekuatan tunggal setelah Perang dingin dapat dikatakan merupakan masa transisi menuju pergeseran balance of power munuju multipolar. Superioritas dari A.S dalam menjaga balance of power dalam bentuk unipolar tidak dapat bertahan lama. Hal ini disebabkan munculnya ancaman keamanan kontemporer dan kehadiran major power di kawasan yang tidak sepaham dengan A.S. Keadaan ini mendorong kembali terjadinya pergeseran balance of power menjadi multipolar.

Oleh sebagian penstudi hubungan internasional balance of power dalam bentuk multipolar disinyalir sebagai perimbangan yang ideal dalam politik dunia. Ideal dalam artian tidak adanya negara dengan kekuatan yang terlalu dominan dalam sistem sehingga stabilitas sistem terjaga lebih langgeng. Keberadaan lebih dari dua great power akan mengahadirkan kesempatan bagi negara untuk bekerjasama membentuk tatanan perimbangan kekuatan yang lebih inklusif.

Pendapat lain mengatakan di dalam sejarah, multipolar dalam sistem internasional merupakan benih terjadinya perang dalam skala besar. Perang Dunia I terjadi disebabkan bentuk multipolar dalam bentuk Concert of Europe yang tidak dapat lagi menyokong stabilitas perimbangan kekuatan. Ketidakmampuan bentuk multipolar dalam menjaga stabilitas sistem disebabkan banyaknya negara dalam balance of power dengan kekuatan yang setara. Bila terdapat lebih dari dua negara dengan kekuatan yang setara maka perimbangan akan runtuh disebabkan hilangnya kekuatan penyeimbang dalam sistem.

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. 1.      Polarisasi Politik Internasional

Polaritas dalam Hubungan Internasional merujuk pada penyusunan kekuasaan dalam sistem internasional. Konsep tersebut muncul dari bipolaritas selama Perang Dingin, dengan sistem internasional didominasi oleh konflik antara dua negara adikuasa dan telah diterapkan sebelumnya. Sebagai akibatnya, sistem internasional sebelum 1945 dapat dideskripsikan sebagai terdiri dari banyak kutub (multi-polar), dengan kekuasaan dibagi-bagi antara negara-negara besar. Runtuhnya Uni Soviet pada 1991 telah menyebabkan apa yang disebut oleh sebagian orang sebagai unipolaritas, dengan AS sebagai satu-satunya negara adikuasa. Beberapa teori hubungan internasional menggunakan ide polaritas tersebut. Keseimbangan kekuasaan adalah konsep yang berkembang luas di Eropa sebelum Perang Dunia Pertama, pemikirannya adalah bahwa dengan menyeimbangkan blok-blok kekuasaan hal tersebut akan menciptakan stabilitas dan mencegah perang dunia. Teori-teori keseimbangan kekuasaan kembali mengemuka selama Perang Dingin, sebagai mekanisme sentral dalam Neorealisme Kenneth Waltz.

Di sini konsep-konsep menyeimbangkan (meningkatkan kekuasaan untuk menandingi kekuasaan yang lain) dan bandwagoning (berpihak dengan kekuasaan yang lain) dikembangkan. Teori stabilitas hegemonik juga menggunakan ide Polaritas, khususnya keadaan unipolaritas. Hegemoni adalah terkonsentrasikannya sebagian besar kekuasaan yang ada di satu kutub dalam sistem internasional, dan teori tersebut berargumen bahwa hegemoni adalah konfigurasi yang stabil karena adanya keuntungan yang diperoleh negara adikuasa yang dominan dan negara-negara yang lain dari satu sama lain dalam sistem internasional. Hal ini bertentangan dengan banyak argumen Neorealis, khususnya yang dikemukakan oleh Kenneth Waltz, yang menyatakan bahwa berakhirnya Perang Dingin dan keadaan unipolaritas adalah konfigurasi yang tidak stabil yang secara tidak terelakkan akan berubah.

Hal ini dapat diungkapkan dalam teori peralihan Kekuasaan, yang menyatakan bahwa mungkin suatu negara besar akan menantang suatu negara yang memiliki hegemoni (hegemon) setelah periode tertentu, sehingga mengakibatkan perang besar. Teori tersebut mengemukakan bahwa meskipun hegemoni dapat mengontrol terjadinya pelbagai perang, hal tersebut menyebabkan terjadinya perang yang lain. Pendukung utama teori tersebut, A.F.K. Organski, mengemukakan argumen ini berdasarkan terjadinya perang-perang sebelumnya selama hegemoni Inggris. Portugis, dan Belanda.

  1. 2.      Bipolar dalam Balance of Power

Menurut teori neorealis yang dikemukakan oleh Waltz, negara sama dalam seluruh respek fungsional – misalnya disamping kebudayaan mereka yang berbeda atau ideologi atau konstitusi atau personilnya, mereka semua menampilkan tugas dasar yang sama, yaitu keamanan bagi negara dan bagaimana negara tersebut dapat bertahan dari negara-negara lain, struktur dari sistem berubah dengan perubahan di dalam distribusi kapabilitas melewati unit-unit sistem. Dalam kata-kata Waltz sendiri , unit–unit negara dalam sistem internasional “dibedakan khususnya oleh besar kecilnya kapabilitas mereka dalam menjalakan tugas yang serupa…struktur suatu sistem berubah seiring dengan perubahan dalam distribusi kapabilitas antar unit-unit sistem” (Waltz 1979:97). Dengan kata lain, perubahan internasional terjadi ketika negara-negara berkekuatan besar muncul dan tenggelam, dan dengan demikian akan terjadi pergeseran kekuatan. Alat-alat yang khas dari perubahan itu adalah perang antara negara-negara berkekuatan besar, seperti halnya pada Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet.

Negara-negara yang sangat penting dalam menentukan perubahan-perubahan dalam struktur internasional adalah negara-negara berkekuatan besar. Perimbangan kekuatan diantara negara-negara dapat dicapai, tetapi perang selalu menjadi alternatif dalam sistem yang anarkis. Waltz membedakan antara sistem bipolar, seperti yang terjadi selama perang dingin, dan sistem multipolar , seperti yang terjadi baik sebelum maupun sesudah Perang Dingin. Waltz yakin bahwa sistem bipolar lebih stabil dan karenanya menyediakan jaminan perdamaian dan keamanan yang lebih baik dibanding sistem multipolar : “hanya dengan dua negara berkekuatan besar, keduanya dapat diharapkan bertindak untuk memelihara sistem” (Waltz 1979: 204). Hal itu disebabkan dalam memelihara sistem tersebut mereka memelihara diri mereka sendiri. Menurut pandangan tersebut, Perang Dingin merupakan periode stabilitas dan perdamaian internasional.

Waltz (1979: 195) berpendapat bahwa negara-negara berkekuatan besar adalah mereka yang mengatur sistem internasional. Negara-negara berkekuatan besar dipahami oleh Waltz memiliki ‘kepentingan besar dalam sistem mereka” dan bagi manajemennya dari sistem tersebut bukan hanya sesuatu yang menjanjikan tetapi ia juga sesuatu yang “bermanfaat”. Sangat jelas bahwa Waltz menilai ketertiban internasional. Jelas juga, bahwa ia yakin ketertiban internasional lebih mungkin dicapai dalam sistem bipolar daripada sistem multipolar. Perbedaaan antara neorealisme dan realisme klasik dan neoklasik dalam hal ini adalah bahwa Waltz menganggapnya sebagai sesuatu yang memang sudah semestinya akan terjadi.

Hipotesis yang mungin dalam sejarah adalah Amerika Serikat dan Uni Soviet dengan mengambil tindakan bersama (yaitu kerjasama) di awal 1990-an untuk menghentikan persaingan militer internasional dan karenanya mengakhiri sistem bipolar dan Perang Dingin. Mengingat berakhirnya Perang Dingin, agaknya neorealisme Waltzian seharusnya direvisi untuk menggabungkan kemungkinan sejarah di mana dua negara berkekuatan besar mungkin dalam keadaan-keadaan tertentu menghentikan sistem bipolar daripada melanggengkannya tanpa terlibat dalam perang di mana salah satu dari mereka dikalahkan. Masalah ini masih menjadi perdebatan di antara pakar-pakar studi Hubungan Internasional, apakah Amerika Serikat mengalahkan Uni Soviet dalam Perang Dingin atau pemerintahan Soviet, khususnya Presiden Gorbachev, mengakhirinya dengan mundur dari medan pertempuran. Dan disini, kebanyakan kaum neorealis cenderung mengambil pandangan yang pertama.

Waltz menganggap realisme klasik dan neoklasik sebagai titik awal dan mengembangkan sebagian asumsi dan pemikiran intinya. Sebagai contoh, ia menggunakan konsep anarki internasional dan memfokuskan secara khusus pada negara-negara. Ia menganggap bahwa perhatian mendasar pada suatu negara adalah mnegenai keamanan dan kelangsungan hidup baik negara ataupun warganya. Ia juga menganggap bahwa masalah utama konflik negara berkakuatan besar adalah perang, dan bahwa tugas utama Hubungan Internasional di antara negara-negara berkekuatan besar adalah perdamaian dan keamanan.

Tidak ada tempat bagi pembuat kebijakan luar negari dalam teori Waltz yang bebas dari struktur sistem. Dengan demikian, dari contoh di atas kaum neorealis akan memandang kebijakan Gorbachev yang mundur dari Perang Dingin karena dipaksa oleh ‘kekalahan’ Uni Soviet di tangan Amerika Serikat. Gambaran Waltz pada pemimpin negara dalam menjalankan kebijakan luar negeri hampir menyerupai gambaran mekanis yang mana pilihan-pilihan mereka dibentuk oleh hambatan-hambatan struktural internasional yang mereka hadapi, seperti ditekankan pada kalimat berikut :

“Kepentingan para penguasa, dan kemudian negara, membuat suatu rangkaian tindakan; kebutuhan kebijakan muncul dari persaingan negara yang diatur; kalkulasi yang berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan ini dapat menemukan kebijakan-kebijakan yang akan menjalankan dengan baik kepentingan-kepentingan negara; keberhasilan adalah ujian terakhir dari kebijakan itu, dan keberhasilan didefinisikan sebagai memelihara dan memperkuat negara. Hambatan-hambatan struktural menjelaskan mengapa metode-metode tersebut digunakan berulang kali disamping perbedaaan-perbedaan dalam diri manusia dan negara-negara yang menggunakannya”. (Waltz 1979: 117)

Pendekatan neorealis Waltz tidak menyediakan arah kebijakan yang eksplisit bagi para pemimpin negara ketika mereka meghadapi masalah-masalah praktis politik dunia. Waltz (1979:194-210) mengajukan pertanyaan tentang “management” masalah internasional”. Bagi Waltz, bagaimanapun juga, kepentingan nasional terlihat beroperasi seperti sebuah sinyal otomatis yang memerintah para pemimpin negara ketika dan kapan harus bergerak. Teori neorealis dari Waltz menghipotesiskan bahwa mereka akan selalu melakukannya secara otomatis.

Dalam sistem bipolar yang Waltz kemukakan pada paragraf sebelumnya, tampak bahwa dia hanya melihat kepentingan politik negara sebagai aktor dalam Hubungan Internasional. Disana dia tidak sampai memikirkan bagaimana kesejahteraan warga negara harus juga dipenuhi, bagaimana keadaan sosial yang akan terjadi dikemudian waktu ketika keputusan atau kenijakan luar negari yang dikeluarkan pada akhirnya dalah peperangan untuk menuju kedamaian dunia. Saya melihat sistem bipolar disini sangatlah rentan. Hal ini karena apabila kedua kekuatan besar tersebut melakukan adu kekuatan, maka tidak dielakkan lagi akan muncul penguasa tunggal (unipolar) yang akhirnya akan muncul kediktatoran penguasa dunia tunggal.

 

  1. 3.      Isu-Isu Dalam Polarisasi Politik Internasional

Isu dalam Polarisasi Politik Internasional yakni soal keamanan regional. Fenomena di Asia Tenggara dengan prakarsa ASEAN mengukuhkan zona bebas nuklir termasuk salah satu ciri dimana keamanan regional penting bagi kawasan ini.

ZOPFAN (Zone of Peace Freedom and Neutrality) merupakan agenda poli­tik dan keamanan regional yang paling penting negara-negara di kawasan ASEAN untuk merancang dan mempertahan­kan suatu tatanan regional yang mereka ciptakan sendiri. Dengan demikian ZOPFAN tidak semata-mata sebagai upaya untuk mem­bebaskan diri dari persaingan negara-negara be­sar, tetapi juga untuk memungkinkan negara-negara di lingkungan ini memikul tanggung jawab bagi keamanan mereka bersama.

Dengan berakhirnya Uni Soviet dan konfrontasi global tentang ideologi dan politik, tidak ada lagi kekhawatiran-kekhawatiran yang menjadi penghalang bagi ZOPFAN. penghalang utama realisasi ZOPFAN adalah perbedaan pendapat yang masih terjadi antara para anggota ASEAN sendiri. kurangnya dukungan terhadap ZOPFAN dari beberapa negara ASEAN lainnya, menunjukkan kecurigaan mereka ter­hadap negara anggota yang lebih besar, terutama Indonesia. Oleh karena itu tidak mengherankan jika belakangan muncul tuntutan yang semakin gencar dalam mewujudkan ZOPFAN dan Zona Bebas Senjata nuklir di Asia Tenggara.

kedua, sorotan dunia jatuh kepada masalah ekonomi-politik internasional. Isu ini sebenarnya telah bangkit sekitar 1971-1972 ketika sistem Bretton Woods runtuh pada saat kebangkitan ekonomi Jerman dan Jepang mulai menganggu pasar AS. Jika disorot lebih dalam, pembentukan blok-blok ekonomi bisa dikatakan sebagai akibat dari menguatnya isu ini.

Dengan adanya perang dingin ini maka berbagai bentuk kerjasama yang saling menguntungkan antara Eropa Timur dan Eropa Barat tidak dapat terjalin. Kegiatan tersebut terhambat karena negara-negara Eropa merasa kawatir jika suatu saat wilayahnya akan dijadikan sasaran adu kekuatan oleh kedua negara adikuasa tersebut. Dampaknya perekonomian antara blok barat (negara-negara Eropa Barat) dan blok timur (negara-negara Eropa Timur) tidak seimbang dimana negara-negara blok barat jauh lebih maju daripada blok timur.

AS sebagai negara kreditor terbesar memberikan pinjaman atau bantuan ekonomi kepada negara-negara yang sedang berkembang berupa Marshall Plan. AS juga memberikan bantuan ”Grants in Aid” yaitu bantuan ekonomi dengan kewajiban mengembalikan berupa dollar atau dengan membeli barang-barang Amerika Serikat. Bagi negara-negara di Asia Presiden Truman mengeluarkan “The Four Points Program for the Economic Development in Asia” berupa teknik dalam wujud perlengkapan-perlengkapan ekonomis atau bantuan kredit yang berasal dari sektor swasta di Amerika Serikat yang disalurkan oleh pemerintah kepada Negara-negara yang sedang berkembang.

Perhatian ketiga, terpusat pada apa yang dinamana sebagai “3 in 1” yakni lingkungan hidup, hak asasi manusia dan demokratisasi. Dibandingkan dengan tiga tema di atas, isu ini sangat dominan dalam pemberitaan pers internasional. Bahkan dalam setiap konferensi dan pertemuan puncak, masalah ini tidak jarang disinggung terutama ketika negara-negara industri menyoroti negara-negara yang sedang berkembang.

Bilhari Kausikan (1993), Direktur Biro Asia Timur dan Pasifik di Kemlu Singapura sudah meramalkan bahwa isu HAM telah menjadi isu yang legitimate dalam hubungan antar negara. Ia menyatakan, bagaimana sebuah negara memperlakukan warga negaranya tak lagi masalah eksklusif sebuah negara.

Namun demikian, penekanan Barat terhadap HAM akan mempengaruhi nada dan tekstur hubungan internasional pasca Perang Dingin. Menurut Kausikan, isu-isu HAM menyangkut soal upah, kondisi bekerja, serikat buruh, standar hidup, hak-hak wanita dan anak-anak, hiburan dan waktu cuti, keamanan dan tunjangan sosial serta lingkungan. Ia melihat telah terjadi pemaksaan dari Barat untuk menentukan standar HAM.

Sedangkan Aryeh Neier, Direktur Human Rights Watch, menyebutkan lebih spesifik nilai-nilai HAM yang disebarkan di seluruh dunia. Ia antara lain menyinggung soal hak setiap orang bebas dari hukuman tak adil dan arbitrari, persamaan ras, etnik , agama atau gender. Hal-hal ini ikut menentukan pola hubungan antar negara.

Hasjim Djalal dalam tulisannya Indonesian Foreign Policy at the Afvent of 21st Century menyebutkan, The Problem of democratization and human rights will also become more prominent and their impact on foreign policy cannot be ignored. Analisa Djalal itu menunjukkan bahwa masalah yang menyangkut hak asasi manusia, dari sudut manapun ditinjaunya, akan memberikan dampak terhadap politik luar negeri suatu negara. Hal itu juga berarti bahwa kontak satu entitas politik dengan entitas lainnya akan mendapat bobot soal HAM.

Dalam kasus HAM dan juga demokratisasi sebagai contoh dapat dilihat bagaimana Uni Eropa dan Amerika Serikat bersikap terhadap Myanmar. Negeri yang pernah melakukan pemilu tahun 1990 yang dimenangkan Liga untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi ini terpaksa harus hidup dalam situasi darurat terus menerus.Untuk menjaga keadaan darurat itu, militer Myanmar membentuk apa yang dinamakan Dewan Pemulihan Hukum Negara dan Ketertiban (State Law and Order Restoration Council). Sampai tahun 1997, SLORC masih bertahan atas nama ketertiban negara. Melalui Konvensi Nasional sedang disusun konstitusi yang kemudian akan melahirkan pemilihan umum.

  1. 4.      Kritik Bipolar terhadap Multi Polar

Namun ada juga pertentangan antara pendapat ini seperti yang dikatakan Menurut Waltz, sistem bipolar bersifat superior dibanding multipolar karena menyediakan staabilitas internasional yang lebih besar. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan stabilitas sistem bipolar. Pertama, jumlah konflik antarnegara berkekuatan besar jauh lebih sedikit, dan hal ini mengurangi jumlah kemungkinan perang antar negara-negara besar. Kedua, lebih mudah menjalankan sistem penangkalan yang efektif sebab lebih sedikit Negara-negara berkekuatan besar yang terlibat. Terakhir adalah kemungkinan salah perhitungan dan salah bertindak lebih rendah.

Dengan kata lain dua superpower akan terus bersaing terus menerus. saling mengoreksi satu sama lain . Hanya dengan dua negara berkekuatan besar, keduanya dapat diharapkan bertindak untuk memelihara sistem. Dan waltz membedakan antara sistem bipolar saat Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dengan sistem multipolar –yang terjadi baik sebelum dan sesuadah Perang Dingin. Waltz yakin, bahwa sistem bipolar lebih stabil dan karenanya menyediakan jaminan perdamaian dan keamana lebih baik dibandingkan dengan sistem multipolar.

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Waltz mengatakan bahwa sistem bipolar bersifat superior dibanding multipolar karena menyediakan staabilitas internasional yang lebih besar. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan stabilitas sistem bipolar. Pertama, jumlah konflik antarnegara berkekuatan besar jauh lebih sedikit, dan hal ini mengurangi jumlah kemungkinan perang antar negara-negara besar. Kedua, lebih mudah menjalankan sistem penangkalan yang efektif sebab lebih sedikit Negara-negara berkekuatan besar yang terlibat. Terakhir adalah kemungkinan salah perhitungan dan salah bertindak lebih rendah. Dengan kata lain, dua super power akan bersaing terus menerus, saling mengoreksi satu sama lain .

 

Referensi

http://id.wikipedia.org/wiki/Politik.diakses pada 5 mei 2011,pukul 17:00 wib

Daniel awigra.2009.” Sistem Bipolar Lebih Stabil Dibanding Multipolar” diakses pada 29 april 2011. Pukul o8:00 wib

http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&task=view&id=10591&Itemid=47

http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_internasional.diakses pada 5 mei 2011,pukul 23:00

1Muhadjir Effendy “Profesionalisme Militer, Profesionalisme TNI”, dan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang


MENGAPA TIDAK ADA TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL BUKAN BARAT

REFLEKSI PADA DAN DARI KOREA

Summary Bab 4 buku “Non-Western International Relations Theory, Perspectives on and beyond Asia”

Tulisan ini merupakan summary bab 4 “Why is there no non-western international relations theory? Reflections on and from Korea” yang ditulis oleh Chaesung Chun dari buku “Non-Western International Relations Theory, Perspectives on and beyond Asia”,  yang diedit oleh Amitav Acharya and Barry Buzan dan diterbitkan oleh Routledge tahun 2010.

Diawal pembahasannya Chaesung Chun mengemukakan kesulitan serjana Korea untuk menjelaskan secara teoritis mengenai realitas internasional Korea, mengingat betapa cepatnya sejarah Korea berlalu untuk direnungkan. Hal yang menandai kedaulatan Korea terjadi saat pembukaan pelabuhan untuk Jepang pada tahun 1876. Korea didaulat sebagai negara modren setelah melakukan perjanjian dengan negara-negara barat. Selain itu, Chun mengurutkan kejadian penting yang terjadi dalam realitas internasional Korea. Mulai dari perimbangan sistem modren dan imperialisme, penjajahan Jepang, pembagian Korea menjadi dua, perang Korea, konfrontasi perang dingin, berakhirnya perang dingin, periode anti-teror, hingga transisi postmodren.

Chun membandingkan transisi Korea yang berlangsung selama 130 tahun dengan transisi Westphalia yang terjadi di barat selama 360 tahun, yang berlangsung dengan penjajahan dan perebutan dominasi. Dalam sejarah realitas internasional yang selalu berubah-ubah, menjadi penyebab tidak berkembangnya teori hubungan internasional di Korea. Kebanyakan teori hubungan internasional Korea diambil dari barat terutama Amerika Serikat.

Dalam tulisannya ini, Chun ingin mencermati teori HI Korea sejak masuk dalam sistem internasional hingga saat ini. Kedua, menelusuri sejarah Korea dari perspektif teoritis HI, menjelaskan mengapa Korea tidak memiliki teori HI sendiri, alasan keterbelakangan teori HI Korea dan perspektif Korea di masa depan.

 

Keterbelakangan Teori HI Korea Selatan’ di Era Modern

Dalam tulisannya Chun menjelaskan bawasannya sebelum kedatangan penjajahan Barat, para sarjana Korea yang sebagian besar pengikut Konfiusius memiliki pandangan tersendiri terhadap politik regional, atau hubungan antar-dinasti. Dasar hubungan normatif dengan Cina sebagai pusat, suku-suku Utara dan Jepang. mereka berpikir peradaban datang dari pusat Cina.  Peradaban Korea menemukan standar membangun moral yang koheren intelektual dengan membuka kerangka dari diri sendiri melalui keluarga, dan negara di seluruh dunia.

Selama masa transisi (1876–1910) dari sistem regional tradisional menjadi sistem modren internasional, merupakan masa yang berat bagi Korea. Pertama, Korea berusaha memahami konsep kedaulatan dimana tidak boleh ada intervensi asing di dalamnya. Kedua, perbedaan antara normatif dan praktek dalam sistem internasional.

Ketiga, masa dimana Korea berusaha menjadi negara yang berdaulat terjadi saat masa imperialisme, dimana yang kuat yang akan berkuasa. Hubungan internasional Korea mulai berkembang setelah dibebaskan dari penjajahan Jepang 1945. Mekipun Korea telah terintegrasi menjadi negara modren sejak 1876, namun akibat imperialisme barat yang dilanjutkan dengan penjajahan Jepang menyebabkan sulit bagi Korea untuk memiliki patau mengembangkan perseptifnya akan hubungan internasional. Setelah berdirinya pemerintahan Korea Selatan tahun 1948, untuk pertama kalinya Korea di akui masyarakat internasional sebagai negara yang berdaulat.

Awal kemerdekaan sulit bagi Korea untuk memahami dan mengembangkan hubungan internasional mereka. Terjadinya perang Korea 1950-1953, mendorong sarjana Korea untuk memahami hubungan internasional yang terjadi. Hingga akhir perang Korea, arjana Korea dididik dengan sistem Jepang dengan pengaruh dari Amerika Serikat.

Setelah berakhirnya perang Korea, sarjana Korea mulai mengembangkan hubungan internasionalnya. Korean Political Science Association (KPSA) didirikan tahun 1953. Hubungan internasional, politik luar negeri dan keamanan mulai dikaji di universitas. Korean Association of International Studies (KAIS) didirikan tahun 1956.

Pada tahun 1950, sarjana HI Korea banyak dipengaruhi oleh Akedemi Amerika. Selain itu, kerjasama antara Amerika dan Korea Selatan dalam perjanjian Pertahanan Bersama tahun 1953 menjadikan harmonisasi antara kedua negara dalam hubungan internasional. Selama masa ini didominasi oleh teori relisme, dan buku-buku klasik realis banyak diterjamahkan. Chun juga mencatat bahwa dalam mempelajari organisasi internasional terutama PBB memberikan kontribusi dalam perkembangan studi organisasi internasional.

 

Tahun 1960 trend HI masih seperti tahun sebelumnya, dan banyak penulis Amerika. Pada saat ini juga, Korea memulai usaha  membentuk sendiri perspektif HI nya. Misalnya, buku Lee Yong-Hee Teori Umum Politik Internasional dalam Kaitannya dengan Aspek yang Historical, merupakan suatu upaya untuk membangun sebuah teori hubungan internasional berdasarkan perspektif penulis sendiri terhadap sejarah teori hubungan  internasional Korea Selatan. Selain itu, dua jurnal, Korean Political Science Review (KPSR) oleh KPSA dan Korean Journal of International Studies (KJIS) by the KAIS, yang berisi tentang hubungan internasional Korea mulai di publikasikan.

Chun menulis mungkin pada tahun 1950-1960 Korea dikatakan hanya mengimpor produk jadi dari teori HI, terutama Realisme, karena pengaruh Amerika terhadap sarjana Korea. Pada perkembangan selanjutnya tahun 1970 trend Behaviorelisme juga mulai berkembang di Korea. Namun dalam masa Perang Dingin yang berlangsung, studi keamanan dalam perspektif masih menjadi kajian utama sarjana Korea. Teori tentang interdependence juga mulai diperkenalkan pada masa ini, mengingat hubungan erat Amerika dan Korea dalam bidang ekonomi dan terjadinya krisis ekonomi global akibat krisis minyak. Periode ini bisa disebut periode substitusi impor. Meskipun masih terus mengimpor teori HI dari barat, namun sarjana Korea tetap berusaha untuk membuat teori-teori sendiri yang  cocok dalam menjelaskan internasional realitas Korean  Selatan.

Analisa Chaesung Chu mengenai Krisis minyak yang terjadi pada tahun 1970- 1980-an, munculnya negara-negara Dunia Ketiga dalam gerakan demokratisasi dan pembangunan ekonomi menjadikan  Korea Selatan sebagai salah satu perekonomian industrialisasi baru (NIEs), hal ini menurut chun mamiliki pengaruh terhadap perkembangan akedemisi Korea Selatan. Perkembangan pemahaman sarjana Korea akan teori dependensi dan demokrasi menyebabkan dominasi Amerika terhadapa Korea mulai dikritisi. Paradigma strukturalis juga mulai diperdalam oleh sarjana, namun menurut Chun, tetap saja semua teori itu merupakan serapan dari barat tanpa ada yang dihasilkan sendiri oleh Korea.

Akhir Perang Dingin ditingkat global dan regional memiliki dampak luar biasa  terhadap akademisi HI Korea selatan, terutama terkait hubungan kedua Korea kedepannya. Pada tahun 1990-an, akibat ambisius dalam ekonomi, Korea Selatan jatuh dalam krisis keuangan pada tahun 1997-an, adanya isu kebangkitan China dan kekhawatiran tentang kemungkinan Kemunculan kembali tatanan regional Cina-sentris menjadi perhatian sarjana HI Korea. Selain itu, pesatnya perkembangan teknologi informasi internet dan budaya juga menjadi fokus.

 Chun menjelaskan beberapa tantangan yang dihadapi Korea selatan dalam teori IR yang Pertama, pengaruh Amerika telah melemah pada  akhir 1980-an Itu fenomena umum bahwa refleksi meta-teoritis dari teori IR untuk masyarakat dengan kesempatan untuk meninjau teori grand dari epistemologis, ontologis dan aksiologis. Kedua, adanya penekanan kebutuhan untuk mengembangkan teori IR ‘Korea’ (Chun dan Park 2002; Ha 2002, 2005; Park 2004; Bulan dan Chun 2003). Para sarjana Korea Selatan setelah ‘Debat Ketiga’ merumuskan dan mengembangkan teori berdasarkan perspektif Korea selatan dalam proses ini fokusnya pada kedaulatan, peradaban, regionalisme Asia dan soft power. Ketiga meningkat sejumlah asosiasi akademis, lembaga penelitian dan tim studi untuk teori IR. Artikel yang diterbitkan berupa artikel tinjaua kritis terhadap menerapkan teori Hubungan internasional terhadap mengembangkan perspektif Korea Selatan.

 

 

 

Sejarah Internasional Korea dari Perspektif Teoritis

Menurut Chun, Sejarah Korea sangat dipengaruhi oleh hubungan internasional. Cukup sulit bagi Chun untuk menjelaskan secara teoritis sejarah internasional Korea, yang dipengaruhi oleh benturan antara sistem regional yang tradisional dan peradaban Barat. Dinasti Cina sangat berpengarus terhadap dinasti Korea. Chun membagi sejarah politik regional tradisional menjadi dua periode, yang pertama sekitar akhir abad ke-14 ketika dinasti Chosun di Semenanjung Korea dan Dinasti Ming di Cina didirikan. Dinasti Korea mamiliki konflik militer yang hebat tidak hanya dengan dinasti Cina, tetapi juga dengan kerajaan-kerajaan Utara. Selama periode ini, pencaplokan wilayah dan penaklukan dilakukan tanpa saling memahami akan pengertian kedaulatan. Pada periode ini, lanjut Chun, Korea mencoba untuk bertahan dan memperluas kekuasaan, dominasi wilayah dilakukan dengan kekuatan militer. Korea memiliki persepsi kedaulatan kekaisaran yang dikelilingi oleh kerajaan lain. Dalam pengertian ini, politik regional ditandai dengan anarki dari beberapa kerajaan.

Dinasti Ming di akhir abad ke-14 mendirikan kerajaan yang kuat dengan kekuatan militer dan struktur normatif sendiri. Cina mengembangkan kekaisaran universalnya dengan dominasi militer, politik, ekonomi dan budaya. Dengan pengaruh neo-Konfusianisme, dinasti Ming melegitimasi dominasinya dan membentuk urutan regional yang disebut, ‘mengamati yang besar, mengurus yang kecil’. Neo-Konfusianisme dengan pandangan Cina-sentris, yang di anut Cina menjadikan Dinasti Chosun di Semenanjung Korea secara bertahap telah termasuk ke dalam gagasan regional ini.

Dari akhir abad ke-14 hingga pertengahan abad ke-19, gagasan Cina-sentris dan sistem kerajaan universal ini mendominasi politik regional di Asia Timur. Korea mengasumsikan bahwa kaisar Cina adalah penguasa tertinggi dari tuhan. Dari perspektif ini, menurut Chun, tatanan daerah dapat dikatakan didasarkan pada prinsip penyelenggaraan hierarki yang terdiri dari pusat dan pinggiran. Hal ini juga merupakan sistem hak dan tanggung jawab bersama. Kaisar Cina dianggap memiliki kekuatan berdaulat mutlak yang diberikan dari langit. Ia juga diasumsikan memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengurus kerajaan kecil disekitarnya.

Ketika Jepang menginvasi Semenanjung Korea pada tahun 1592, Chosun meminta bantuan dari Cina. Ketika Cina mengirim pasukan untuk Korea, ada perdebatan tentang apa kepentingan Cina yang sebenarnya. Kaisar Cina pada waktu itu berpendapat bahwa Cina, sebagai sebuah kerajaan universal, memiliki tanggung jawab membantu kerajaan tetangga ketika diserbu secara tidak adil oleh kerajaan lain. Ini menurut Chun berarti bahwa sistem keamanan didasarkan dengan membantu sistem lain, yang mengarah ke keamanan kolektif dinasti. Selama hampir 500 tahun, kedamaian di Asia Timur  terpelihara. Chun menjelasakan, dari perspektif realis, perdamaian dimungkinkan disebabkan oleh dominasi hegemonik kekaisaran Cina. Namun, dilihat dari perspektif Korea, tidak ada rencana untuk menentang atau menyerang kekaisaran Cina, karena Korea telah dibentuk sebagai bagian dari kerajaan Cina.

Invasi Jepang, terhadap latar belakang ini, diartikan sebagai kebijakan ‘tidak beradab’, yang merugikan hubungan baik antara kerajaan tetangga. Tindakan Cina dalam hal ini dapat dibenarkan dari perspektif realis. Namun, sistem normatif neo-Konfusius dibangun dengan prinsip bagaimana kepentingan harus didefinisikan secara sosial. ‘kedamaian konfusius’, dalam pengertian ini, dipelihara di antara dinasti Asia Timur, berdasarkan prinsip struktur hirarki dan sistem keamanan kolektif dinasti.

Memasuki akhir abad ke-19, menurut Chun, dapat dipahami mengapa begitu sulit bagi sarjana Korea untuk memahami secara teoritis tentang hubungan internasional Korea, bukan hanya karena struktur tradisional masih berjalan, tapi juga karena ada prinsip komposisi logika tradisional dan struktur modern, dan peralihannya.

Selama 35 tahun, dari 1876 ke 1910, ketika Korea jatuh dalam kolonialisme Jepang, menurut Chun, Korea masih mencoba untuk memahami sistem kedaulatan negara Eropa karena China masih menjadi pusat dan satu-satunya kekuatan politik yang berdaulat dalam pandangan Korea. Korea harus menyesuaikan diri dengan keseimbangan sistem kekuatan, dan juga invasi imperialis. Hal ini sulit bagi Korea karena tiga imperatif sistemik yang berbeda berlangsung pada waktu yang sama: sisa-sisa tatanan politik tradisional regional, sistem antarnegara modern dan imperialisme. Tahun, 1870-an dan 1880-an adalah masa di mana Cina mencoba untuk mendominasi Semenanjung Korea berdasarkan gabungan antara hegemoni tradisional dan imperialisme modern. Dalam persaingan hegemonik regional antara China dan Jepang, Cina mencoba mengambil keuntungan penuh dari tatanan politik tradisional dengan menjajah Semenanjung Korea berdasarkan logika imperialis ekonomi modern.

Sejak tahun 1882 hingga 1895, ketika Cina telah dikalahkan oleh Jepang, baik Cina atau pun Jepang masih memperebutkan kekuasaan atas Korea. China dikalahkan oleh Jepang dalam persaingan hegemonik regional ini, semua sisa-sisa sistem tradisional terhapus. Kekaisaran Korea (dari 1897) sangat menderita dalam persaingan antara imperialis Jepang, Rusia dan kekuatan Barat. Korea dapat mempertahankan status berdaulat karena keseimbangan transisi antara kekuatan imperialis yang bersaing. Persaingan global antara Inggris dan Rusia tampak jelas di Semenanjung Korea. Melihat pada perjanjian Anglo-Jepang tahun 1902, Inggris sebenarnya menyerahkan Semenanjung Korea ke Jepang, yang berusaha untuk memperluas wilayahnya di utara Semenanjung Korea. Ketika Perang Rusia-Jepang yang berakhir dengan kemenangan Jepang, Korea kehilangan status berdaulatnya. Barat mengakui hak Jepang menjajah Semenanjung Korea.

Chun melanjutkan bahwa, Sarjana Korea, pada awalnya, merasa sulit memahami logika kedaulatan nasional, dimana negara, tanpa malihat ukuran dan kekuasaannya, dapat dikaitkan dalam hak yuridis sama (Chung 2004). Mengingat pada sejarah China kuno dimana tidak ada kekuatan yang lebih tinggi dari individu kerajaan. Selanjutnya, sarjana Korea dalam memahami sistem antarnegara modern dari Barat, yang disebut ‘Hukum Segala Bangsa’, yang merupakan teks diterjemahkan hukum internasional oleh Wheaton, memberikan harapan kesetaraan kedaulatan untuk Korea.

Pada pertengahan tahun 1880-an, Pelabuhan Hamilton di Korea Selatan diduduki oleh Inggris, yang mencoba untuk mendirikan sebuah pangkalan angkatan laut untuk menghadapi ekspansi Rusia di selatan. Korea tidak memahami bahwa kebijakan luar negeri dari Inggris ini ‘ilegal’, hingga mereka memahami logika kedaulatan, integritas teritorial yang seharusnya dipertahankan. Saat itu Korea tidak memahami sistem negara berdaulat yang digunakan sebagai dalih untuk ekspansi imperialis. Setelah mengalami peristiwa tragis, Korea akhirnya menyadari bahwa hukum internasional tidak bisa sebagai senjata. Beberapa alternatif kebijakan dicoba, seperti usaha memperoleh status netral seperti Belgia, atau mengakhiri aliansi dengan kekuatan Barat seperti AS, namun disadari bahwa sudah terlambat untuk mencegah ekspansi imperialis Jepang.

Imperialisme Jepang memberikan kesempatan bagi Korea untuk mewujudkan logika kasar dari sistem negara Barat. Korea mencoba untuk mendapatkan kembali kemerdekaan dengan berbagai cara. Pada tahun 1907 kaisar Korea mengirim wakil ke Konferensi Perdamaian Den Haag, tapi kekuatan Barat tidak memperhatikan suara wakil-wakil dari koloni de facto. Pada tahun 1919, ketika Konferensi Perdamaian Versailles sedang berlangsung, Korea juga mengirimkan wakil, namun prinsip hanya berlaku untuk koloni yang mengalahkan penguasanya. Setelah kejadian itu, Korea memulai sebuah gerakan kemerdekaan nasional yang damai, yang memberikan dorongan terhadap gerakan Forth Cina Mei. Sebuah pemerintahan pengungsi juga didirikan di Shanghai pada bulan April 1919, secara demokratis mewakili orang Korea. Chun dicatat bahwa pemerintah pengungsi berdasar pada prinsip demokrasi untuk pertama kalinya dalam sejarah Korea, yang berarti liberalisme memperoleh kekuatan. Namun pada tahun 1921 Partai Komunis Korea didirikan, yang dipengaruhi oleh revolusi Bolshevik. Dari tahun 1920, Korea bergerak cepat mengikuti tren global dalam urusan internasional, berusaha untuk merebut kembali kemerdekaan dan status berdaulat.

Chun menuliskan bahwa Korea mengharapkan kedaulatan yang utuh,  namun persaingan antar negara pemenang PD II tak memungkan hal ini. Korea gagal membangun negara dengan teritorial modren. Korea terbagi menjadi du bagian dan masing-masing saling mengklaim sebagai kekuatan politik yang sah mewakili rakyat Korea. Gagalnya pembangunan negara dan bangsa Korea sangat erat terkait dengan persaingan negara adikuasa pada awal Perang Dingin. Korea dibebaskan dari penjajahan Jepang, tapi dibagi menjadi dua kamp yang berbeda oleh AS da Uni Soviet.

Perang Korea merupakan konsolidasi struktur Perang Dingin baik di tingkat global dan di tingkat regional. Selama dan setelah Perang Korea, konfrontasi ideologis dan diplomatik antara AS dan Uni Soviet berubah menjadi permusuhan dan konfrontasi militer. Permusuhan ini juga membuat konfrontasi tak terhindarkan antara dua Korea. Kedua Korea memperkuat hubungan politik, ekonomi, diplomatik dan militer dengan negara adidaya pelindung mereka, dalam bentuk aliansi militer, mitra ekonomi dan pendukung diplomatik. Daerah dan aktualisasi Semenanjung pada Perang Dingin global berdampak besar pada hubungan internasional Korea.

Pertama, kedua Korea gagal untuk membangun negara berdaulat bukan hanya karena pembagian bangsa, tetapi juga oleh kamp milik negara adikuasa. Aliansi sangat membatasi otonomi politik kedua Korea, meskipun pada posisi keamanan mereka diuntungkan. Salah satu norma yang paling penting bagi negara berdaulat, tanpa intervensi, telah dirampas atas nama konfrontasi ideologis Perang Dingin.

Kedua, kedua Korea mewujudkan identitas Perang Dingin. Secara tradisional, satu bangsa dibagi bukan hanya untuk alasan politik, tetapi juga untuk alasan-alasan budaya, ideasional dan normatif. Akibat trauma yang tak terlupakan pada Perang Korea, kedua Korea menganggap satu sama lain sebagai musuh. Pembangunan bangsa, dalam kondisi ini, tampaknya hampir mustahil (Chun 2001).

Ketiga, kedua Korea termasuk dalam struktur Perang Dingin regional, dengan memiliki hubungan aliansi eksklusif. Korea Selatan membentuk sebuah aliansi militer dengan Amerika Serikat pada tahun 1953, dan normalisasi hubungan diplomatik dengan Jepang, pada tahun 1965. Korea Utara beraliansi militer dengan Uni Soviet dan China, memiliki hubungan tak bersahabat dengan AS dan Jepang.

Teori Aliansi menegaskan bahwa harus ada trade-off antara keamanan dan otonomi politik di setiap aliansi, terutama di satu asimetris (Chun 2000). Aliansi dari dua Korea membuktikan ini dengan cukup baik. Kebijakan luar negeri dua Korea sangat dibatasi oleh kepentingan global dan regional dari masing-masing negara sekutu mereka.

Keinginan Korea untuk membangun negara modern yang berdaulat secara internasional dengan dijaminnya norma-norma integritas teritorial dan tanpa intervensi asing dalam negeri tidak terwujud selama masa Perang Dingin. Kolonialisme Jepang berakhir dan digantikan oleh dua kekuatan global yang saling bersaing. Meskipunpun mungkin benar bahwa hubungan internasional pada masa ini dapat dikatakan sebagai sistem global dan struktur penyelenggaraan yang anarki, sistem yang pernah dialami kedua Korea didasarkan pada prinsip hirarki intracamp, distribusi kerja dan kekuasaan tentunya tidak seimbang. Ini bukan hanya fenomena semenanjung.

Hubungan Internasional selama periode Perang Dingin di kawasan Asia Timur Laut hampir tidak dapat dicirikan sebagai khas hubungan internasional modern. Lima kekuatan, dua Korea, dua Cina dan Jepang, terus berupaya untuk menyelesaikan proses transisi modern yang menimbulkan banyak kesulitan dengan negara lain, dalam situasi di mana logika Perang Dingin sangat terbatas pada derajat ‘keberdaulat-an ‘dari masing-masing negara.

Ketika Perang Dingin berakhir di tingkat global 1989-1991, Korea Selatan berharap dapat hidup dalam lingkungan yang damai dan untuk reunifikasi nasional. Korea Selatan menormalisasi hubungan diplomatik dengan Uni Soviet pada tahun 1990 dan dengan China pada tahun 1992. Korea Selatan juga membuat Perjanjian tentang Rekonsiliasi, Non-agresi dan Bursa dan Kerjasama antara Korea Selatan dan Korea Utara, di mana prospek ko-eksistensi damai, pengurangan senjata militer, pertukaran sosial dan budaya dan peta jalan untuk reunifikasi yang terencana dengan baik. Di sisi lain, berdasarkan ikatan aliansi militer antara Korea Utara dan Cina, dan Korea Utara dan Rusia telah melemah, mendorong Korea Utara ke posisi diplomatik yang terisolasi. Hilangnya pasar sosialis dan pelindung militer yang kuat membuat Korea Utara lebih berminat dalam pengembangan program nuklir, yang akhirnya menimbulkan krisis nuklir pertama pada tahun 1993.

Keamanan regional menjadi lebih rumit dengan bergabungnya Jepang dengan aliansi AS tahun 1996, kebangkitan Cina, organisasi regional dan hubungan ekonomi yang lebih hidup di antara semua negara Asia Timur Laut. Secara domestik, demokratisasi Korea Selatan, Jepang dan Taiwan.

Chun melanjutkan, perkembangan regionalisme Asia Timur, ditandai dengan pasar komersial damai, kemungkinan demokratis yang damai, dan munculnya lembaga-lembaga multilateral yang sederhana. Kebangkitan Cina, dan fenomena transisi kekuasaan menjadi lebih jelas, hal ini membuat AS merasa perlu untuk memperkuat hubungan dengan Jepang. Dalam pengertian ini, lingkungan keamanan di era pasca-Perang Dingin mulai menyerupai abad ke-19, di mana Cina dan Jepang bersaing untuk hegemoni regional.

Konflik selat dan konflik kompetisi korea untuk mewujudkan keamanan lingkungan semakin rumit, dan mencari keuntungan dalam situasi yang ini. Kombinasi antara transisi modern dan pembagian kekuatan modern membuat para sarjana HI dalam kawasan ini berpikir lebih kritis pada asumsi teori HI  barat. Arus keamanan seperti ini membawa perhatian yang besar pada sarjana korea (chung 2000). Ada dua alur yang memungkinkan, 1) dari keterbukaan system balance of power pada system keseimbangan politik dengan komitmen yang didasarkan pada norma untuk menggabungkan hubungan timbal balik (disadari dalam kasusu persetujuan Vienna) (Schoeder 1994), dan akhirnya pada institusi keamanan  multilateral atau kemungkinanan komunitas keamanan; 2) dari system pembagian kekuasaan pada konfontrasi regional bipolar dan yang keburukan dari dilemma keamanan, dan akhirnya pada  perselisihan antara dua kutub; kemungkinan Cina sendiri dan aliansi AS-Jepang. Jika  pada masalah sebelumnya, korea selatan  masih kekuarangan kekuatan untuk memenuhi gap diantara kekuatan besar dan akan berada pada posisi yang sulit untuk bertahan dan mempunyai suara yang otonom diantara mereka.

Abad 21 Asia Timur, di gambarkan Chun tidak hanya oleh pembagian kekuasaan pasca perang dingin, tapi juga oleh transisi postmodern (Moon dan Chun 2003). Setelah tragedy serangan teroris pada  9/11, keamanan AS berubah, membawa perubahan pada regional Asia Timur. Perubahan mendasar yang lainnya mempersulit situasi internasional dalam wilayah ini. Empat faktor menentukan corak sistem global dari abad 21: ancaman keamanan postmodern, globalisasi, informasi, dan teknoligi komunikasi dan demokratisasi. Pertama, musuh baru, seperti kelompok teroris, penggunaan pertimbangan jumlah kekerasan yang didasarkan pada teknologi modern tapi tidak dengan legitimasi politik, gambara/pose ancaman pada keamanan global. Kedua, ketergantungan ekonomi kompleks dan pengaruh inter-budaya membuat HI lebih kompleks. Keseimbangan kekuatan yang keras atau konfrontasi ideology  yang keras menentukan konfigurasi aliansi yang lain, komplikasi kalkulasi kepentingan keamanan. Ketiga, perkembangan ICT berkontribusi untuk memungkinkan reaksi postmodernisme pada ancaman postmmodernisme. Transformasi milliter yang didasarkan pada network-based kapabilitas, ubiquasi, perkembangan yang cepat dan ketepatan menjadi  sesuatu yang disyukuri dari perkembangan ICT. Sisi lain dari koin adalah bahwa kelompok teroris juga  menggunakan ITC  yang didasarkan pada tekhnologi dan jaringan kekerasan. ICT juga menimbulkan perkembangan masyarakat nasional dan masyarakat transnasional, akhirnya memimpin/ membawa pada situasi demokrasi cosmopolitan. Keempat demokrasi pada skala global mempengaruhi kebijakan luar negeri dalam proses mengembangkan Negara. Sekarang, perkembangan Negara membuat banyak opini publik, yang sering meniadakan persepsi yang tepat  dari politik internasional.

Untuk sukses dengan dunia demokrasi, kekuatan lunak/soft power berguna dan sangat berguna bagi kekuatan besar, khususnya AS. Keseimbangan dari soft power antara AS dan teroris dan antara AS dan anti AS sekarang mempengaruhi secara langsung kesuksesan dan kegagalan strategi AS. Dalam era anti terordengan tren yang disebutkan diatas, korea selatan dihadapkan dengan perubahan  mendasar yang tidak terduga. Lebih dari yang lainnya, AS, sebagai satu-satunya partner aliansi, meminta pada korea selatan untuk berbagitujuan strategis. AS meminta korea selatan untuk mengirimkan tentara ke irak, membantu financial, AS dalam pengaturan  post-war di Afganistan dan irak. AS juga melaksanakan transformasi milliter yang mendorong kea rah bentuk alliansi. Untuk mempertahankan perawakan milliter yang fleksibel, AS meminta korea selatan untuk mengakui ide strategi fleksibelitas dengan mana kekuata AS di korea membutuhkan kepastian strategis untuk mempertahankan musuh modern, ya itu korea utara, murni bahwa aliansi harus berada pada tekanan kehancuran.

Isu program nuklir korea utara adalah contoh yang lain dimana perhatian korea selatan dan strategi postmodern AS saling bertabrakan dengan yang lain. AS mengenalkan krisis tersebut sebagai isu postmodern. Yang paling ditakuti AS adalah kemungkinan korea utara mengirimkan material nuklir pada teroris yang mungkin akan menyerang AS dengan menggunakan senjata pengahancur missal. Bagaimanapun krisis nuklir korea utara bukan hanya berlawanan dengan isu kehidupan (pertumbuhan). Niat Korea utara, apakah perkembangan material nuklir untuk negoisasi atau untuk keperluan milliter. Dengan kata lain, korea utara dalam periode post-cold war, yang mana musuh Jerman terdahulu menyerah pada system komunis yang merugikan kepentingan vital korea, mencoba untuk bertahan hidup dan bertahan dalam HI modern. Logika tradisional dalam mempertahankan korea utara untuk mengembangkan senjata nuklir. Korea selatan, dalam hal ini, mengenalkan isu bukan hanya sebagai isu anti-teror tapi juga sebagai isu sesame korea tentang kerjasama dan penyatuan. Beberapa peninjau melacak asal perselisih pahaman antara korea selatan dan AS dari perbedaan strategi keamanan mereka. Tapi masalahnya lebih sulit dari pada itu. Itu berasal dari dasar perselisihan antara strategi postmodern AS, dengan penekanan dan dominasi HAM pada Negara yang berdaulat pada sisi lain, dan strtegi modern korea, dengan tugas melengkapi transis modern.

Secara ringkas, keamanan asia timur laut pada abad 21 dibentuk oleh tantangan modern (konflik antar Negara dan balance of power) dan tantangan postmodern (terorisme transnasional). Permusuhan sejarah, keraguan dan keinginan untuk membalas dendam masih menggantung diantara Negara-negara asia timur laut. Logika terbuka dari balance of power tanpa institusi mulitilateral yang berkuasa dan transisi postmodern yang diaktifkan oleh keadaan yang semakin memburuk dari dilemma keamanan yang asimetris antara AS dan kelompok teroris. Karenanya, korea selatan menderita dari tiga kesulitan: kenangan dari kolonialisme yang lalu masih mempengaruhi kebijkana politik luar negerinya; kebutuhan untuk bertahan hidup diantara kekuatan yang besar dengan menyesuaikan pada logika balance of power; dan pertumbuhan konflik antara dengan AS yang meminta korea untuk menyesuaikan diri pada transisi postmodern.

 

Alasan ketidakberkembangan teori HI di korea

Jika kita berpikir alasan dari ketiadaan teodi HI korea non barat, dengan latarbelakang sejarah yang disebutkan sebelumnya, poin berikut harus dicatat. Pertama, prestasi akademis dan philosopis  dalam teori premodern, politik tradisional regional terputus dengan pekerjaan akademis yang mengikuti pengenalan dari HI modern. Sarjana tradisional menjaga perhatian normative mereka dan perspektif tentang keteraturan politik regional yang didasarkan pada neo-Confucianiseme. Sarjana Korea mencoba berpikir tentang penjelasan yang berpadu dari global ke regional dan keteraturan politik nasional, walaupun usaha positif untuk memberikan teori tentang realitas politik telah sangat berkurang. Mereka dikejar tujuan politik keamanan regional dan memelihara otonomi politik dari hegemoni dinasti china. Bagaimanapun, dengan kekerasan dari system Negara Barat melalui imperialisme, usaha ilmiah untuk mempertimbangkan realitas kesulitan tanpa pengetahuan yang sistematis dari evolusi keteraturan dunia Barat. Singkatnya, hubungan textual dalam korea antara usaha tradisional dan modern telah hancur.

Kedua, teori Barat telah di import sebagai produk yang telah selesai tanpa cerminin dalam proses pembuatan teori. Robert Cox menulis ‘setiap teori selalu untuk satu tujuan dan untuk sesuatu’ (Cox 1986). Pengalaman Barat pada transisi modern dan evolusi hubungan internasional modern sangat berbeda dari Asia. Apa yang dialami Barat selama 360 tahun, dari 1648-2005 dicangkok ke hubungan internasional Korea untuk waktu 130 tahun, dari 1876 – 2005, dan yang lebih buruk, dengan imperialis dan gangguan adikuasa. Jika kita mengimport teori Barat dengan dasar historis, dugaan komparatif dari perkembangan sejarah harus ada. Bagaimanapun, usaha seksama akan membutuhkan waktu yang lebih untuk diselesaikan. Disamping itu, penyamaran universalitas, tiiap-tiap teori sesuai dengan konteks historis sangat spesifik dan berdasarkan norma perhatian. Sangat tidak mudah sarjana Korea untuk belajar teori Barat dengan sejarah mereka dan konteks normative. Dengan kata lain, dasar meta-teorical setiap teori, epistomologi, ontology dan normative, belum dipikirkan.

Ketiga, teori HI Barat, apakah dengan sengaja atau tanpa sengaja, memarginalkan posisi dan sejarah negar dunia ketiga. Contohnya teori HI menyanjung norma dari keteraturan dan stabilitas, memarginalkan norma dari kesamaan  dan emansipasi. Yang penting disini adalah bahwa bukan kesaman dan emansipasi lebih peting dari keteraturan dan stabilitas. Yang penting adalah bahwa seharusnya ada perhatian tentang penghakiman meta-ethika untuk mengevaluais keutamaan yang relative dari persaingan norma etika. Norma yang berada pada sarjana HI Korea adalah persamaan dan otonomi politik, yang tidak berhubungan dengan teori HI Barat.


 

 

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Keterbelakangan yang dialami oleh negara-negara berkembang yang telah secara intensif mendapat bantuan dari negara-negara maju menyebabkan ketidak-puasan terhadap asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh teori modernisasi. Keadaan ini menimbulkan reaksi keras dari para pemerhati masalah-masalah sosial yang kemudian mendorong timbulnya teori dependensi. Teori ini menyatakan bahwa karena sentuhan modernisasi itulah negara-negara dunia ke-tiga kemudian mengalami kemunduran (keterbelakangan), secara ekstrim dikatakan bahwa kemajuan atau kemakmuran dari negara-negara maju pada kenyataannya menyebabkan keterbelakangan dari negara-negara lainnya (‘the development of underdevelopment’); siapa sebenarnya yang menolong dan siapa yang ditolong ?. Andre Gunter Frank (1967) dianggap sebagai salah seorang tokoh pencetus teori Dependensi ini mengatakan bahwa keterbelakangan justru merupakan hasil dari kontak yang diadakan oleh negara-negara berkembang dengan negara-negara maju (Budiman, dalam : Frank, 1984: xii-xiii).

Asumsi dasar dari teori Dependensi mencakup: (1) Keadaan ketergantungan dilihat sebagai suatu gejala yang sangat umum, berlaku bagi seluruh negara dunia Ketiga; (2) Ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh ‘faktor luar’; (3) Permasalah ketergantungan lebih dilihat sebagai masalah ekonomi, yang terjadi akibat mengalirnya surplus ekonomi dari negara dunia Ketiga ke negara maju; (4) Situasi ketergantungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global; dan (5) Keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang mutlak bertolak belakang dengan pembangunan (Suwarsono-So, 1991: 111).

Teori Dependensi ini bukannya tanpa kekurangan, bahkan kritik yang dilomtarkan mungkin lebih banyak dari sanggahan terhadap teori Modernisasi (Suwarsono-So, 1991: 137). Salah satu persoalan yang luput dari perhatian teori Dependensi adalah kurangnya pembahasan tentang kolonialisme yang pernah tumbuh subur dikebanyakan negara-negara berkembang. Menurut perspeksif Dependensi, pemerintahan kolonial didirikan dengan tujuan menjaga stabilitas pemerintahan jajahan, dan pemerintahan ini tidak akan pernah dibentuk dengan tujuan untuk membangun negara pinggiran (Suwarsono-So, 1991: 121).

Undang-undang Penanaman Modal Asing 1967 menyebutkan bahwa Modal asing diberi keluasaan untuk masuk di negeri Indonesia. Kemudian banjir investasi masuk ke dalam negeri untuk melakukan pemanfaatan Sumber Daya Alam sehingga menghasilkan keuntungan besar bagi investor. Pemerintah yang di pimpin oleh Presiden Soeharto ( Orde Baru) tidak ingin membangun ekonomi dan negara hanya dengan kemampuan sendiri. Ekonomi Kerakyatan yang di gembar-gemborkan Bung Hatta belum memberikan hasil yang signifikan. Padahal pemerintah pada waktu itu mengalami resesi ekonomi yang sangat besar hingga 200%. Maka Soeharto dengan membuat UU PMA tersebut bermaksud membayar utang dan membangun negara dengan bantuan luar negeri.

Gelombang Modal besar-besaran telah masuk ke Indonesia pasca UU PMA di sahkan oleh negara. Berangsur-angsur pemerintah mampu mengurangi resesi ekonomi tersebut hingga akhirnya pemerintah membangun pemerintahan Indonesia dengan modal asing. 4 Repelita ( 1969-1989) yang dihasilkan memberikan nada “puas” dan “optimistik” dari kalangan pengamat dan teknorat pada waktu itu. Hingga ada yang berkomentar Pembangunan ekonomi Indonesia tinggal landas saja pada Repelita VI ( 1994-1999) tapi realitas yang ada tahapan tinggal landas persyaratan belum sepenuhnya terpenuhi yakni ketergantungan pada Utang-utang Luar negeri hingga terjadinya krismon 1997-1998 menyebabkan Indonesia kelabakan. Bahkan pengamat dan pakar ekonomi asing tidak percaya dengan hal itu terlalu mudah Indonesia mengalami krisis utang “tidak mungkin”. Tapi kenyataan yang ada yakni Indonesia mengalami Utang-utang menumpuk (overborrowing) sehingga utang-utang tersebut masih terasa hingga sekarang tercatat 1.263 triliun warisan Orde Baru . keseluruhan utang indonesia menurut direktur jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan per 31 Januari 2009 yaitu Rp.1.667 Triliun tercatat dari tahun ketahun Indonesia mengalami peningkatan utang. Inilah dampak yang ditimbulkan dari Ketergantungan dari Utang

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Dinamika Dependensi Hutang Indonesia

Di Indonesia sendiri teori dependensi ini sudah ada sejak jaman Orde Baru (Orba), saat itu ditandai dengan adanya penetrasi finansial, teknologi dan penetrasi poltik serta budaya. Melalui penetrasi finansial, teori dependesi masuk dengan liberalisasi sektor ekonomi yang ditandai dengan masuknya FDI dan MNC yang mulai beroperasi di Indonesia dan penetrasi politik serta budaya juga telah dimasuki oleh budaya asing khususnya budaya barat, baik itu melalui film, gaya hidup, bahan bacaan dan lain-lain.

Dari waktu ke waktu, isu utang menjadi isu kontroversial. Dalam kasus Indonesia, ketergantungan utang yang terlalu  besar dinilai mengakibatkan tergadaikannya kedaulatan negara, menyengsarakan rakyat, dan menghancurkan ekosistem  hutan. Benarkah demikian? Argumen pemerintah berutang selama ini adalah adanya kebutuhan investasi yang besar untuk pembangunan ekonomi  dan sosial dalam rangka memperbaiki tingkat kesejahteraan dan memenuhi tuntutan aspirasi masyarakat yang terus  meningkat.

Pada saat yang sama, pemerintah dihadapkan pada keterbatasan sumber dana untuk melaksanakan agenda  pembangunan tersebut. Dalam konteks ini, utang diperlukan untuk menutup kesenjangan yang ada antara kebutuhan  investasi dan kemampuan mobilitas dana di dalam negeri (saving investment gap). Mereka yang mendukung utang cenderung hanya melihat manfaat, tanpa melihat biaya politik dan dampak utang terhadap  sosial ekonomi serta ekosistem. Bagi mereka, sah-sah saja kita berutang selama utang dipakai untuk tujuan produktif,  sebagaimana tecermin dari meningkatnya kapasitas perekonomian dalam menciptakan lapangan kerja, mengatasi kemiskinan, dan juga kapasitas membayar utang.

Sementara mereka yang menentang utang melihat adanya kesenjangan antara janji manfaat dan konsekuensi mahal  yang harus ditanggung bangsa akibat utang. Mereka melihat tak kunjung berubahnya paradigma kebijakan berutang  pemerintah dan tak adanya komitmen untuk menciptakan kemandirian ekonomi, seperti diamanatkan oleh para pendiri  bangsa (founding fathers).

Padahal, banyak contoh negara yang mampu berdiri sendiri menjadi negara maju dan bermartabat tanpa terus-menerus  bergantung pada utang kendati mereka tak memiliki sumber daya melimpah seperti Indonesia. Juga banyak contoh  negara yang selama ini menjadi langganan krisis utang berhasil bangkit dan tumbuh menjadi perekonomian yang jauh  lebih sehat setelah memperoleh penghapusan utang.

II.2 Lonjakan Utang

Jika dicermati, kekhawatiran berbagai pihak menyangkut utang dilandasi sejumlah hal. Pertama, ketergantungan  pembiayaan pembangunan pada utang yang tinggi serta konsekuensinya bagi kemandirian Indonesia dalam menetapkan  kebijakan yang tepat buat mereka sendiri tanpa didikte kepentingan kreditor.

Kedua, stok utang yang terus membengkak secara nominal kendati secara rasio terhadap PDB angkanya menurun. Utang  Rp 1.700 triliun lebih tahun ini memang bukan yang terbesar dalam sejarah. Total utang Indonesia pernah mencapai Rp  2.100 triliun pascakrisis 1997/1998 antara lain karena adanya beban biaya restrukturisasi perbankan yang mencapai Rp  650 triliun lebih, tetapi situasi waktu itu bisa dikatakan tak normal.

Untuk kondisi normal, peningkatan utang sekarang ini sangat spektakuler. Dalam lima tahun terakhir, utang melonjak  sekitar Rp 400 triliun atau 31 persen lebih dari Rp 1.299 triliun (2004) menjadi Rp 1.704,75 triliun (2009). Dengan utang  sebesar ini, berdasarkan perkiraan kasar, setiap penduduk menanggung Rp 7 juta lebih utang. Sebagai perbandingan,
Soeharto perlu 32 tahun untuk menambah utang dari 6,3 miliar dollar AS menjadi 54 miliar dollar AS.

Kendati pada saat bersamaan PDB juga meningkat dari Rp 2.300-an triliun (2004) menjadi sekitar Rp 5.000 triliun (2009)  dan APBN dari Rp 370 triliun menjadi sekitar Rp 1.000 triliun, manfaat dan beban utang tidak bisa dikatakan terdistribusi  dengan merata dan adil. Hal ini tecermin dari jumlah rakyat miskin dan angka pengangguran yang nyaris bergeming dan
kian menciutnya kue pembangunan yang dinikmati oleh kelompok masyarakat miskin.

Ketiga, beban dan cicilan pokok utang yang juga cenderung terus meningkat dengan terusbertambahnya utang baru.  Untuk bunga saja, angkanya meningkat dari Rp 62,5 triliun (2004) menjadi Rp 65,2 triliun (2005), Rp 79,1 triliun (2006), Rp  79,8 triliun (2007), Rp 88,62 triliun (2008), dan tahun ini diperkirakan Rp 101,7 triliun atau naik rata-rata 10,3 persen per  tahun.

Semakin membengkaknya kewajiban utang ini menjadi beban bagi APBN dan generasi mendatang karena menyedot  anggaran pembangunan dan mengakibatkan kontraksi belanja sosial. Praktis sepertiga penerimaan pajak tersedot untuk  membayar bunga utang. Sementara untuk memenuhi kewajiban cicilan pokok, termasuk utang luar negeri, pemerintah  terus dipaksa menerbitkan utang baru (gali lubang tutup lubang).

Kelima, ada risiko nilai tukar yang melekat pada utang luar negeri dan utang dalam negeri yang hampir sepertiganya  dipegang asing. Krisis 1997/1998 yang antara lain dipicu oleh utang harus jadi pelajaran di sini.

Keenam, komposisi utang baru yang semakin didominasi utang komersial, sejalan dengan status Indonesia sebagai  negara berpendapatan menengah bawah. Ketujuh, rendahnya efektivitas utang dan kurang transparannya penggunaan  atau pengalokasian utang. Selain beban pembayaran kembali menjadi sangat berat, menjadi persoalan ketika kemudian  tak semua utang itu dipakai untuk tujuan produktif.

Pada masa Orde Baru, seperti diungkapkan Alm Prof Soemitro Djojohadikusumo, 30 persen utang dikorupsi sehingga  kemudian muncul istilah utang najis (odiuos debt) dan desakan untuk meminta penghapusan utang. Pasca-Orde Baru,  banyak utang yang sudah dibuat dan dikenai commitment fee mahal ternyata tak dicairkan sehingga jadi beban ekonomi.  Hanya sekitar 44 persen utang yang akhirnya terserap.

Kini, meskipun rezim utang sudah lebih terbuka (utang tak lagi dianggap sebagai sumber penerimaan negara seperti  pada era Orde Baru) dan sudah ada apa yang disebut ”manajemen risiko utang”, kita masih melihat begitu gampang  pemerintah membuat utang baru tanpa memikirkan bebannya bagi generasi mendatang. Padahal, tanpa tambahan utang  baru pun, utang sekarang ini baru akan lunas 40 tahun lagi.

Dalam beberapa kasus, pemerintah terkesan gelap mata sehingga utang dengan bunga tak masuk akal pun ditubruk,  seperti dalam kasus penerbitan obligasi global senilai 3 miliar dollar AS pada Februari 2009 di mana Indonesia dikenai  yield jauh lebih tinggi dibandingkan yang dikenakan pada sejumlah negara, seperti Filipina yang peringkat utangnya lebih  kurang sama.

Beberapa ekonom melihat semakin ketagihannya pemerintah terhadap utang untuk menutup defisit dan berbagai  pembiayaan lain. Termasuk untuk pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista), pembiayaan stimulus fiskal,  pembiayaan program BLT, BOS, PNPM, reformasi birokrasi, reformasi perpajakan, memperkuat cadangan devisa, atau  sekadar sebagai instrumen pendalaman dan pembentukan benchmark pasar utang dalam negeri.

Tidak jarang jumlah utang yang dibuat melebihi kebutuhan, seperti terlihat beberapa kali pada kasus penerbitan SUN.  Bahkan, dalam kasus pinjaman hibah luar negeri (PHLN), sering kali utang bukan karena kebutuhan, tetapi dibuat dalam  rangka kerja sama pembangunan bilateral atau multilateral. Artinya, akan selalu ada alasan untuk membuat utang, baik
utang luar negeri maupun dalam negeri.

 

II.3 Dampak Depedensi Utang Luar Negeri Indonesia

BI dalam kajian stabilitas keuangan 2008  pernah mengingatkan risiko dari kecenderungan meningkatnya tekanan  utang dengan terus meningkatnya stok utang luar negeri. Yang mencemaskan, peningkatan juga terjadi pada utang  jangka pendek.

Kondisi ini, menurut BI, bisa menjadi sumber potensi kerawanan yang dapat mengancam ketahanan sektor keuangan  karena utang luar negeri atau modal asing yang masuk banyak ditempatkan pada SBI dan SUN yang jumlahnya  cenderung terus meningkat. Tekanan terhadap sektor keuangan bisa muncul jika modal asing yang ditempatkan di surat  berharga domestik itu tiba-tiba secara serentak dan mendadak mengalir keluar (sudden reversal). Tekanan juga muncul  karena besarnya pembayaran utang luar negeri

Berbagai desakan untuk dilakukannya moratorium utang, baik luar negeri maupun dalam negeri, menunjukkan  masyarakat sudah lelah dengan utang. Namun, sejauh ini belum terlihat adanya keinginan kuat dari pemerintah untuk  mengerem utang.

Pernyataan pejabat bahwa perekonomian akan stagnan tanpa utang atau pernyataan untuk tak alergi terhadap utang  menyiratkan posisi utang yang bukan lagi sekadar pelengkap, tetapi sudah menjadi kebutuhan. Itu sekaligus tak adanya kepercayaan diri bahwa mereka mampu membawa perekonomian mandiri tanpa terus  bergantung pada utang.

Selama ini definisi pemerintah soal berkurangnya ketergantungan utang adalah rasio utang terhadap PDB yang terus  menurun dan digantikannya peran dominan utang luar negeri oleh utang dalam negeri. ”Semakin menurunnya rasio utang terhadap PDB, meningkatnya rasio pajak, dan semakin besarnya sumber pembiayaan  defisit dari dalam negeri menunjukkan pemerintah semakin tak bergantung pada utang dan lebih banyak mengandalkan  pada kemampuan dalam negeri,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu.

Pemerintah,  punya strategi pengelolaan utang domestik yang baik, mulai dari penerbitan, pelunasan,  pengaturan jatuh tempo, refinancing, buy back, hingga peminimuman biaya dan risiko utang sehingga potensi bom waktu  utang tak akan terjadi.

Dari sisi pengelolaan risiko, menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Depkeu Rahmat Waluyanto, pemerintah  mengutamakan pinjaman luar negeri yang memiliki persyaratan lunak dan mengoptimalkan komposisi mata uang  pinjaman (antara lain dengan mengurangi konsentrasi pinjaman pada satu jenis mata uang). Selain itu, mengupayakan  dilakukannya lindung nilai terhadap nilai tukar serta mengelola jatuh tempo utang agar tak menumpuk pada satu periode  tertentu.

Tetapi bagi masyarakat, argumen ”utang masih manageable (terkendali)” atau ”setiap sen utang digunakan untuk  memperbaiki pertumbuhan dan kesejahteraan” sekarang ini tak lagi cukup jika faktanya mereka masih terus tersandera di  bawah garis kemiskinan dan mencari pekerjaan tetap saja sulit.

Menekan rasio utang terhadap PDB saja tak cukup. Harus ada perubahan paradigma dan langkah kebijakan lebih radikal  menyangkut utang. Termasuk di antaranya, mengurangi stok utang yang ada secara nominal (usulan lebih radikal bahkan menghendaki penghapusan utang) sehingga bisa mengurangi kerentanan ekonomi terhadap guncangan krisis dan dana untuk  membayar kembali utang bisa dipakai guna memperbaiki kesejahteraan masyarakat.

Mengurangi ketergantungan pada utang bisa dilakukan dengan lebih banyak memobilisasi sumber dana dalam negeri  non-utang dan menekan kebocoran, terutama kebocoran di APBN yang menurut KPK angkanya mencapai minimal 30 persen.

BAB III

PENUTUP

 

III.1 Kesimpulan

Dalam beberapa kasus, pemerintah terkesan gelap mata sehingga utang dengan bunga tak masuk akal pun ditubruk,  seperti dalam kasus penerbitan obligasi global senilai 3 miliar dollar AS pada Februari 2009 di mana Indonesia dikenai  yield jauh lebih tinggi dibandingkan yang dikenakan pada sejumlah negara, seperti Filipina yang peringkat utangnya lebih  kurang sama.

Beberapa ekonom melihat semakin ketagihannya pemerintah terhadap utang untuk menutup defisit dan berbagai  pembiayaan lain. Termasuk untuk pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista), pembiayaan stimulus fiskal,  pembiayaan program BLT, BOS, PNPM, reformasi birokrasi, reformasi perpajakan, memperkuat cadangan devisa, atau  sekadar sebagai instrumen pendalaman dan pembentukan benchmark pasar utang dalam negeri.

Tidak jarang jumlah utang yang dibuat melebihi kebutuhan, seperti terlihat beberapa kali pada kasus penerbitan SUN.  Bahkan, dalam kasus pinjaman hibah luar negeri (PHLN), sering kali utang bukan karena kebutuhan, tetapi dibuat dalam  rangka kerja sama pembangunan bilateral atau multilateral. Artinya, akan selalu ada alasan untuk membuat utang, baik
utang luar negeri maupun dalam negeri.

Pada satu titik nanti, , kita bisa mengalami kondisi seperti yang pernah dialami Argentina  dengan siklus utangnya. Jika itu terjadi, dampaknya tidak hanya ke APBN. Kebijakan ekonomi kita juga akan selalu didikte pihak luar. Karena itu, tantangan pemimpin ke depan adalah bagaimana mengurai benang kusut utang ini.

III.2 Daftar Pustaka

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/03/05213771/perlu.keberanian.memutus.ketergantungan (Diakses pada tanggal 1 Juni 2011)

http://kompasiana.com/Dependency Theory And Indonesia.htm (Diakses pada tanggal 1 Juni 2011)

http://prumph.blogspot.com/2009/06/solusi-terhadap-ketergantungan-terhadap.html (Diakses pada tanggal 1 Juni 2011)