Arsip untuk November, 2012


Image

Beberapa tetangga saya mempunyai stiker yang berbunyi “Coexist.”., Ini adalah pemikiran yang baik. Panggil aku pesimis, tapi saya tidak melihat bagaimana hidup berdampingan, (setidaknya hidup berdampingan secara damai yang tersirat dalam stiker … kita bisa “hidup berdampingan” dan masih bertarung satu sama lain,) memungkinkan.

Atau mungkin Anda harus memanggil saya bodoh, atau bahkan idiot, karena saya hanya tidak mengerti sentimen semacam stiker di dunia di mana kita hidup oleh aturan bertentangan satu sama lain di setiap kesempatan. Bagaimana kita dapat “hidup berdampingan” (atau “kompromi” untuk menggunakan istilah politik) ketika:

  • Demokrat lebih percaya pada tanggung jawab pemerintah dan Partai Republik lebih percaya pada tanggung jawab pasar ?
  • Ketika orang-orang Kristen Injili mengatakan hubungan homoseksual adalah dosa dan Kristen Progresif mengatakan mencegah pernikahan homoseksual adalah dosa?
  • Ketika Muslim mengatakan itu adalah salah seorang wanita menunjukkan setiap bagian dari tubuhnya, dan aktivis hak-hak perempuan mengatakan itu adalah salah karena menindas perempuan?
  •  Ketika imam Katolik mengatakan itu adalah tercela bagi seorang wanita melakukan aborsi dan pro-chioce mengatakan itu keji untuk membuat aborsi ilegal?
  • Ketika aktivis pro-kehidupan mengatakan membunuh diri sendiri adalah tidak bermoral, dan hak pekerja untuk mati mengatakan itu adalah tidak bermoral untuk membuat orang menderita melalui kehidupan yang menyakitkan?

Siapa yang benar? Apakah ada buku peraturan besar? Sebuah arbiter besar? Atau, seorang humanis sekuler yang mengatakan “Kita tidak perlu otoritas yang lebih tinggi.”?
paling bijaksana dari kita semua??

Humanis mengakui bahwa kesopanan moral yang umum – misalnya, orang tidak harus berbohong, mencuri, atau membunuh, dan mereka harus jujur, murah hati, dan koperasi – benar-benar kondusif untuk kesejahteraan manusia.

Namun … humanis menyadari bahwa orang saja tidak dapat menyelesaikan semua masalah kita, tapi bukannya beralih ke supranatural, kami percaya bahwa masalah ini diselesaikan oleh orang-orang yang bekerja bersama-sama, mengandalkan pada pemahaman dan kreativitas. Itulah sebabnya humanis berkomitmen untuk mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan, pemahaman manusia, dan pembangunan manusia. Humanis juga menekankan pentingnya penentuan nasib sendiri – hak individu untuk mengendalikan kehidupan mereka sendiri, asalkan mereka tidak merugikan orang lain.

Jadi, inikah jawabannya? Penentuan nasib sendiri? Mungkin … tapi tidakkah itu menentang keyakinan Humanisme Sekuler bahwa “masalah ini diselesaikan oleh orang-orang yang bekerja bersama-sama … dengan kata lain?, Hubungan?. Itu hanya membawa saya kembali ke pertanyaan semula: Bagaimana kita semua bisa bersama jika kita tidak “menentukan diri” dengan cara yang sama? Bukankah itu yang kita semua coba lakukan sekarang?

Tampaknya bagi saya bahwa pemilu, pemerintah, dan politik adalah tujuan di antara cara kita. Apakah itu “ko-eksistensi” stiker panggilan untuk “bekerja sama.”? dengan aturan Mayoritas

 

Hatiku terasa sakit untuk ko-eksistensi damai. Tapi saya memiliki pandangan yang kuat tentang apa yang benar dan salah dan banyak orang tidak setuju dengan saya. Apakah saya benar? Apa aku salah tentang? Dapatkah saya percaya hati nurani saya ketika hati nurani orang-orang yang saya hormati dan berbicara kebenaran lain? Haruskah aku mengabaikan hati nurani saya untuk akur? Dimana saya bisa mengubah untukdapat  menyelesaikan ini? Apakah aku ditakdirkan untuk tidak setuju dengan setengah penduduk untuk selama-lamanya? Atau, apakah ada jawaban utama bahwa suatu hari nanti, semua orang akan tahu dan setuju atas?

Sampai dan jika saat itu, saya kira saya akan “menentukan-diri” sendiri menjalani hidup, mencari jawaban. Mungkin aku akan tertipu. Mungkin aku akan menemukan pencerahan. Saya pasti akan menyinggung perasaan beberapa orang, tetapi hanya suntuk menjelaskan, itu bukan tujuan saya. Saya hanya ingin bebas untuk percaya dan berperilaku sebagai hati nurani saya.Saya tahu itu adalah apa yang semua orang ingin.

Sebenarnya, kita semua bebas untuk hidup sesuai kehendak kita. Satu-satunya pertanyaan adalah apa konsekuensi akan terjadi ketika kita melakukannya.


(10 November 1945 – 10 November 2012)

Oleh. Nopember John Paul Manik

Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Pekanbaru

 

Sorak-sorai dan kemeriahan kebeasan kita rasakan lebih dari 67 tahun, dalam masa ini tidak lagi kita rasakan adanya tekanan dan kungkungan dalam segala aspek kehidupan kita dari penjajahan negara-negara asing. 67 tahun yang lalu, masyarakat kita hidup dalam pengekangan segala aspek, sampai ke sendi-sendi hak mereka yang paling hakiki juga dimainkan oleh para penjajah negeri ini. Bukan dengan Cuma-Cuma kita dapat merasakan kebeasan yang kita nikmati saat ini, dan juga bukan dengan bantuan dan belaskasihan dari negara-negara asing atau pihak asing kita memperoleh kebebasan ini. Dengan kata-kata BERSATU dan PERJUANGAN!. Inilah yang menjadi titik tolak kebebasan. Namun bukan hanya dengan kata-kata belaka, semua ini di jadikan menjadi semboyan perjuangan para pahlawan yang dengan sukarela menumpahkan setiap tetes darah, air mata dan keringatnya untuk menyapu bersih penajajahan di atas bumi INDONESIA. Dan menyiapkan permadani dari tumpukan-tumpukan tubuh mereka menjadi  alas kaki kita.

Pada tanggal 10 November 1945, para pahlwan nasionalis bangsa bersumpah untuk mempertahankan kesatuan negara dengan darah dan nyawa mereka sebaga benteng. Pada hari ini, jasa dan perjuangan yang begitu gigih menjadi peringatan seluruh masyarakat yindonesia sebagai buah dari perjuangan mereka. Sudah 67 tahun Indonesia merdeka. Berarti kita secara formal sudah memperingati Hari Pahlawan 67 kali. Namun, apakah dengan peringatan sebanyak itu jiwa kita bisa secara otomatis tertanam semangat kepahlawanan seperti para pejuang di masa lalu? Tidak dimungkiri, begitu banyak di antara kita yang belum atau tidak paham dengan arti pahlawan atau kepahlawanan.Pahlawan memang tidak pernah menginginkan perjuangan mereka dijadikan sebagai peringatan yang besar dengan segala macam kemeriahan. Pahlawan tak pernah ingin namanya tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa. Pahlawan tak pernah ingin namanya diingat oleh generasinya sebagai seorang yang berperan besar dalam kemerdekaan. Mereka hanya berlandaskan kemerdekaan dari segala penjajahan dan persatuan bangsa agar anak dan cucu mereka terbebaskan dari semua belenggu yang mereka rasakan. Merasakan kebebasan dan kebebasan yang tidak pernah mereka rasakan.

Namun sebagai masyarakat yang tidak melupakan sejarahnya, pemerintah menetapkan peringatan untuk menghormati jasa-jasa mereka. Memperingati Hari Pahlawan tidak cukup hanya dengan mengheningkan cipta, yang itu pun sering tidak khidmat. Begitu pula, memperingati hari nasional itu jangan hanya dengan mengingat-ingat tokoh seperti Pangeran Diponegoro, Tjoet Njak Dien, Jenderal Sudirman, Proklamator Soekarno-Hatta, dan pahlawan revolusi. Esensi dari peringatan itu sebenarnya lebih mendalam pada moralitas dan kepedulian kita terhadap perkembangan dan kesejahteraan negara bangsa.

Melihat realitas wajah bangsa saat ini, dimana semakin boboroknya moralitas para pemimpin dan generasi muda bangsa, para pahlawan pasti menyesal memperjuangkan kemerdekaan menjadi sebuah hadiah istimewa bagi generasinya. Moral bangsa semakin meredup dengan banyaknya kasus-kasus korupsi dan penyelewengan kekuasaan para pemimpin negeri. Tidak henti-hentinya kasus ini terjadi dan bahkan menjadi renteatn kasus yang memiliki episode-episode panjang seperti seinetron-sinetron di televisi yang menjadi tontonan menarik masyarakat indonesia dan dunia.  Menurut penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW)  ada lebih dari 100 kasus korupsi  yang terjadi selama selang watu tahun 2000 sampai sekarang. Hasil pemantauan selama tahun 2011, menunjukan bahwa kasus-kasus korupsi banyak bermunculan di seluruh provinsi di Indonesia, namun hanya 10 provinsi yang paling dominan jumlah kasus korupsinya. Parahnya, kasus korupsi tersebut justru muncul di lingkup Pemerintahan Daerah (Pemda) seperti Pemkab, Pemkot maupun Pemprov. Dari 10 provinsi tersebut, lima provinsi yang paling tinggi tingkat korupsinya yaitu provinsi Jawa Timur dengan jumlah 33 kasus. Diikuti provinsi NTT dengan 32 kasus dan provinsi NAD dengan 31 kasus. Sementara Propinsi Maluku dengan 29 Kasus, dan Propinsi Jawa Tengah dengan 26 Kasus.

Bukan hanya di provinsi, kasus korupsi yang juga banyak melibatkan para pemegang kekuasaan yang berada dalam instansi-instansi vital di negata, bahkan lebih parahnya, korupsi juga masuk dalam lembaga agama. Seperti kasus Bank Century, Hambalang, pengadaan Al-Quran, simulator SIM, kasus suap pemilihan DGS-BI, dan banyak kasus lain yang sampai sekarang belum menemukan titik penyelesaian.

Kemerosotan moral juga terlihat dari sikap dan perilaku para generasi muda yang seharusnya menjadi pilar berdiri kokonya NKRI. Sikap itu ditunjukan dengan aksi-aksi tawuran dan bentuk kekerasan yang menjadi tren dan budaya pemuda sekarang. Seperti yang dilakukan SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 70 di bunderan Bulungan, Jakarta Selatan yang bahkan memakan korban jiwa Alawi, siswa kelas X SMA 6 yang dibacok di bagian dada. Ini menunjukan keprihatinan kita terhadap pendidikan yang bukan lagi mendidik menjadi pelajar yang memiliki moral, tetapi lebih dari pelajar yang diharuskan menghapal segudang teori dibawah tekanan para pengajar.

Lebih parahnya lagi, para pahlawan yang dulu dengan gigihnya menyuarakan integrasi sebuah negara kesatuan denga darah mereka, kini para penerusnya, anak dan cucunya sendiri menyuarakan disintegrasi dan menginginkan pemisahan dari NKRI. Apa yang melatarbelakangi ini semua?. Masyarakat yang merasa mendapatkan perilaku yang tidak adil dari para pemimpin mereka yang mengeksploitasi sumber daya mereka untuk kepentingan seseorang atau kelompok? Atau masyarakat yang memandang kebobrokan pemimpinnya? Atau masyarakat yang tidak lagi percaya dengan pimimpinnya? Banyak kasus dan gerakan separatis terjadi, seperti Operasi Papua Merdeka yang menginginkan kemerdekaan dari wilayah NKRI, juga saat ini muncul sebuah isu yang mengatakan bahwa Bali menginginkan pemisahan dari NKRI. inikah yang dimimpikan para pahlawan kita??????

Konflik yang mengatas namakan suku, ras dan agama juga mewarnai perjalanan kebebasan negara kita. Perang antar suku seperti yang terjadi dulu di Sampit, di tanah Toraja. Dan yang baru-baru ini terjadi di Lampung Selatan yang meninggalkan banyak korban dan kerugian. Perang antar dua kelompok desa mengakibatkan sebanyak 12 orang tewas dan 450 rumah mengalami rusak berat dan ringan. Total kerugian materi diperkirakan mencapai Rp 23 miliar. Penutupan rumah ibadah dan pelarangan beribadah juga menambah keburukan citra negara kita. seperti kasus penutupan gereja, vihara dan klenteng di Aceh, penutupan gereja GKI Yasmin, kasus Gereja HKBP Filadelpia. Dan baru-baru ini di Riau sendiri banyak kasus pelarangan pembangunan gereja terjadi. Para pahlawan kita tidak pernah memikirkan perbedaan dalam memperjuangkan kemerdekaan, bahkan dengan semboyan kesatuan, mereka tinggalkan identitas mereka hanya untuk meneriakkan MERDEKA! Tapi yang ada saat ini, para kelompok yang menyatakan dirinya mayoritas menjajah dan melindas kaum minoritas. Terorisme juga semakin berkembang di negara ini. Banyak kasus terorisme yang terjadi dan bahkan berujung pada pembunuhan secara massal seperti kasus bom bunuh diri yang banyak terjadi di bagian negara ini.

Hal yang menjadi keprihatinan dari para pahlawan kita saat ini adalah menyaksikan anak-anak yang mereka bebaskan saling menjajah dan menekan. Para pemimpin yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung masyarakat telah menjadi penjajah bagi bangsanya sendiri. Para pemimpin saat ini memeras darah rakyatnya dengan berbagai kebijakan yang tidak populis, dan bahkan lebih parah daripada penjajah-penjajah asing yang pernah memijak maruah bangsa. Betul kata Bapak Proklamator kita, “Perjuanganmu akan semakin berat, hai generasiku, karna bangsamu sendirilah yang akan menjajahmu”. Dan ini terlihat dari sikap pemerintah saat ini.

Dapatkah kita bayangkan kesedihan para pahlawan saat ini? Mereka yang sudah mengorbankan tubuhnya menjadi pupuk bagi bunga kebebasan bangsa untuk mekar, menyiraminya dengan tangisan para janda-janda dan anak-anaknya. Dan hanya satu hal yang diminta pada kita, yaitu menyiangi rumput-rumput yang tumbuh menghimpit bunga kemerdekaan itu, namun kita bahkan semakin menambah keserakahan dan keegoisan yang menumbuhkan rumput-rumput itu semakin tinggi.

Bagaimana para veteran memandang wajah bangsa saat ini? Semua lari dari apa yang mereka bayangkan dan cita-citakan yaitu sebuah negara merdeka yang menjunjung kemanusiaan dan kesejahteraan seluruh  rakyat indonesia. Dan yang ada hanya kebobrokan yang semakin hari semakin parah. Bagaiaman mereka akan bercerita pada teman-teman sesama pejuang yang tewas di medan tempur saat mereka berjumpa di alam sana nantinya? Sanggupkah mereka mengatakan satu kata pun menggambarkan keadaan negara ini??

Esensi Hari Pahlawan: apakah para pejuang kita ingin selalu diingat? Tidak! Mereka saat itu berjuang dengan IKHLAS TANPA PAMRIH. Karena rasa benci mereka pada penjajah-penjajah yang seenaknya menenteng senjata dan mengebom kota mereka. Maka terbakarlah semangat mereka untuk mengusir penjajah  tersebut. Saat ini, yang mereka inginkan hanyalah melihat generasi penerus memiliki rasa cinta terhadap negeri dan bekerja keras untuk mengembangkan diri menyambut masa depan yang semakin sulit dan kompetitif.

Dan sebagai generasi muda yang melanjutkan perjuangan ini, apa yang dapat kita sumbangkan pada pembangunan kesejahteraan bersama di negara ini?? Masih sanggupkah kita memandang wajah dan memberi penghormatan bagi para pahlawan dengan semua kemerosotan ini? Ingat para generasi muda, bahwa perjuangan belum selesai sampai disini, perjuangan baru dimulai dan bersatulah untuk memajukan negeri ini.

 

“BERSATULAH DAN TERUSKAN PERJUANGAN KAMI!! BENAHI NEGERI INI”