Image

Beberapa tetangga saya mempunyai stiker yang berbunyi “Coexist.”., Ini adalah pemikiran yang baik. Panggil aku pesimis, tapi saya tidak melihat bagaimana hidup berdampingan, (setidaknya hidup berdampingan secara damai yang tersirat dalam stiker … kita bisa “hidup berdampingan” dan masih bertarung satu sama lain,) memungkinkan.

Atau mungkin Anda harus memanggil saya bodoh, atau bahkan idiot, karena saya hanya tidak mengerti sentimen semacam stiker di dunia di mana kita hidup oleh aturan bertentangan satu sama lain di setiap kesempatan. Bagaimana kita dapat “hidup berdampingan” (atau “kompromi” untuk menggunakan istilah politik) ketika:

  • Demokrat lebih percaya pada tanggung jawab pemerintah dan Partai Republik lebih percaya pada tanggung jawab pasar ?
  • Ketika orang-orang Kristen Injili mengatakan hubungan homoseksual adalah dosa dan Kristen Progresif mengatakan mencegah pernikahan homoseksual adalah dosa?
  • Ketika Muslim mengatakan itu adalah salah seorang wanita menunjukkan setiap bagian dari tubuhnya, dan aktivis hak-hak perempuan mengatakan itu adalah salah karena menindas perempuan?
  •  Ketika imam Katolik mengatakan itu adalah tercela bagi seorang wanita melakukan aborsi dan pro-chioce mengatakan itu keji untuk membuat aborsi ilegal?
  • Ketika aktivis pro-kehidupan mengatakan membunuh diri sendiri adalah tidak bermoral, dan hak pekerja untuk mati mengatakan itu adalah tidak bermoral untuk membuat orang menderita melalui kehidupan yang menyakitkan?

Siapa yang benar? Apakah ada buku peraturan besar? Sebuah arbiter besar? Atau, seorang humanis sekuler yang mengatakan “Kita tidak perlu otoritas yang lebih tinggi.”?
paling bijaksana dari kita semua??

Humanis mengakui bahwa kesopanan moral yang umum – misalnya, orang tidak harus berbohong, mencuri, atau membunuh, dan mereka harus jujur, murah hati, dan koperasi – benar-benar kondusif untuk kesejahteraan manusia.

Namun … humanis menyadari bahwa orang saja tidak dapat menyelesaikan semua masalah kita, tapi bukannya beralih ke supranatural, kami percaya bahwa masalah ini diselesaikan oleh orang-orang yang bekerja bersama-sama, mengandalkan pada pemahaman dan kreativitas. Itulah sebabnya humanis berkomitmen untuk mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan, pemahaman manusia, dan pembangunan manusia. Humanis juga menekankan pentingnya penentuan nasib sendiri – hak individu untuk mengendalikan kehidupan mereka sendiri, asalkan mereka tidak merugikan orang lain.

Jadi, inikah jawabannya? Penentuan nasib sendiri? Mungkin … tapi tidakkah itu menentang keyakinan Humanisme Sekuler bahwa “masalah ini diselesaikan oleh orang-orang yang bekerja bersama-sama … dengan kata lain?, Hubungan?. Itu hanya membawa saya kembali ke pertanyaan semula: Bagaimana kita semua bisa bersama jika kita tidak “menentukan diri” dengan cara yang sama? Bukankah itu yang kita semua coba lakukan sekarang?

Tampaknya bagi saya bahwa pemilu, pemerintah, dan politik adalah tujuan di antara cara kita. Apakah itu “ko-eksistensi” stiker panggilan untuk “bekerja sama.”? dengan aturan Mayoritas

 

Hatiku terasa sakit untuk ko-eksistensi damai. Tapi saya memiliki pandangan yang kuat tentang apa yang benar dan salah dan banyak orang tidak setuju dengan saya. Apakah saya benar? Apa aku salah tentang? Dapatkah saya percaya hati nurani saya ketika hati nurani orang-orang yang saya hormati dan berbicara kebenaran lain? Haruskah aku mengabaikan hati nurani saya untuk akur? Dimana saya bisa mengubah untukdapat  menyelesaikan ini? Apakah aku ditakdirkan untuk tidak setuju dengan setengah penduduk untuk selama-lamanya? Atau, apakah ada jawaban utama bahwa suatu hari nanti, semua orang akan tahu dan setuju atas?

Sampai dan jika saat itu, saya kira saya akan “menentukan-diri” sendiri menjalani hidup, mencari jawaban. Mungkin aku akan tertipu. Mungkin aku akan menemukan pencerahan. Saya pasti akan menyinggung perasaan beberapa orang, tetapi hanya suntuk menjelaskan, itu bukan tujuan saya. Saya hanya ingin bebas untuk percaya dan berperilaku sebagai hati nurani saya.Saya tahu itu adalah apa yang semua orang ingin.

Sebenarnya, kita semua bebas untuk hidup sesuai kehendak kita. Satu-satunya pertanyaan adalah apa konsekuensi akan terjadi ketika kita melakukannya.


(10 November 1945 – 10 November 2012)

Oleh. Nopember John Paul Manik

Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Pekanbaru

 

Sorak-sorai dan kemeriahan kebeasan kita rasakan lebih dari 67 tahun, dalam masa ini tidak lagi kita rasakan adanya tekanan dan kungkungan dalam segala aspek kehidupan kita dari penjajahan negara-negara asing. 67 tahun yang lalu, masyarakat kita hidup dalam pengekangan segala aspek, sampai ke sendi-sendi hak mereka yang paling hakiki juga dimainkan oleh para penjajah negeri ini. Bukan dengan Cuma-Cuma kita dapat merasakan kebeasan yang kita nikmati saat ini, dan juga bukan dengan bantuan dan belaskasihan dari negara-negara asing atau pihak asing kita memperoleh kebebasan ini. Dengan kata-kata BERSATU dan PERJUANGAN!. Inilah yang menjadi titik tolak kebebasan. Namun bukan hanya dengan kata-kata belaka, semua ini di jadikan menjadi semboyan perjuangan para pahlawan yang dengan sukarela menumpahkan setiap tetes darah, air mata dan keringatnya untuk menyapu bersih penajajahan di atas bumi INDONESIA. Dan menyiapkan permadani dari tumpukan-tumpukan tubuh mereka menjadi  alas kaki kita.

Pada tanggal 10 November 1945, para pahlwan nasionalis bangsa bersumpah untuk mempertahankan kesatuan negara dengan darah dan nyawa mereka sebaga benteng. Pada hari ini, jasa dan perjuangan yang begitu gigih menjadi peringatan seluruh masyarakat yindonesia sebagai buah dari perjuangan mereka. Sudah 67 tahun Indonesia merdeka. Berarti kita secara formal sudah memperingati Hari Pahlawan 67 kali. Namun, apakah dengan peringatan sebanyak itu jiwa kita bisa secara otomatis tertanam semangat kepahlawanan seperti para pejuang di masa lalu? Tidak dimungkiri, begitu banyak di antara kita yang belum atau tidak paham dengan arti pahlawan atau kepahlawanan.Pahlawan memang tidak pernah menginginkan perjuangan mereka dijadikan sebagai peringatan yang besar dengan segala macam kemeriahan. Pahlawan tak pernah ingin namanya tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa. Pahlawan tak pernah ingin namanya diingat oleh generasinya sebagai seorang yang berperan besar dalam kemerdekaan. Mereka hanya berlandaskan kemerdekaan dari segala penjajahan dan persatuan bangsa agar anak dan cucu mereka terbebaskan dari semua belenggu yang mereka rasakan. Merasakan kebebasan dan kebebasan yang tidak pernah mereka rasakan.

Namun sebagai masyarakat yang tidak melupakan sejarahnya, pemerintah menetapkan peringatan untuk menghormati jasa-jasa mereka. Memperingati Hari Pahlawan tidak cukup hanya dengan mengheningkan cipta, yang itu pun sering tidak khidmat. Begitu pula, memperingati hari nasional itu jangan hanya dengan mengingat-ingat tokoh seperti Pangeran Diponegoro, Tjoet Njak Dien, Jenderal Sudirman, Proklamator Soekarno-Hatta, dan pahlawan revolusi. Esensi dari peringatan itu sebenarnya lebih mendalam pada moralitas dan kepedulian kita terhadap perkembangan dan kesejahteraan negara bangsa.

Melihat realitas wajah bangsa saat ini, dimana semakin boboroknya moralitas para pemimpin dan generasi muda bangsa, para pahlawan pasti menyesal memperjuangkan kemerdekaan menjadi sebuah hadiah istimewa bagi generasinya. Moral bangsa semakin meredup dengan banyaknya kasus-kasus korupsi dan penyelewengan kekuasaan para pemimpin negeri. Tidak henti-hentinya kasus ini terjadi dan bahkan menjadi renteatn kasus yang memiliki episode-episode panjang seperti seinetron-sinetron di televisi yang menjadi tontonan menarik masyarakat indonesia dan dunia.  Menurut penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW)  ada lebih dari 100 kasus korupsi  yang terjadi selama selang watu tahun 2000 sampai sekarang. Hasil pemantauan selama tahun 2011, menunjukan bahwa kasus-kasus korupsi banyak bermunculan di seluruh provinsi di Indonesia, namun hanya 10 provinsi yang paling dominan jumlah kasus korupsinya. Parahnya, kasus korupsi tersebut justru muncul di lingkup Pemerintahan Daerah (Pemda) seperti Pemkab, Pemkot maupun Pemprov. Dari 10 provinsi tersebut, lima provinsi yang paling tinggi tingkat korupsinya yaitu provinsi Jawa Timur dengan jumlah 33 kasus. Diikuti provinsi NTT dengan 32 kasus dan provinsi NAD dengan 31 kasus. Sementara Propinsi Maluku dengan 29 Kasus, dan Propinsi Jawa Tengah dengan 26 Kasus.

Bukan hanya di provinsi, kasus korupsi yang juga banyak melibatkan para pemegang kekuasaan yang berada dalam instansi-instansi vital di negata, bahkan lebih parahnya, korupsi juga masuk dalam lembaga agama. Seperti kasus Bank Century, Hambalang, pengadaan Al-Quran, simulator SIM, kasus suap pemilihan DGS-BI, dan banyak kasus lain yang sampai sekarang belum menemukan titik penyelesaian.

Kemerosotan moral juga terlihat dari sikap dan perilaku para generasi muda yang seharusnya menjadi pilar berdiri kokonya NKRI. Sikap itu ditunjukan dengan aksi-aksi tawuran dan bentuk kekerasan yang menjadi tren dan budaya pemuda sekarang. Seperti yang dilakukan SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 70 di bunderan Bulungan, Jakarta Selatan yang bahkan memakan korban jiwa Alawi, siswa kelas X SMA 6 yang dibacok di bagian dada. Ini menunjukan keprihatinan kita terhadap pendidikan yang bukan lagi mendidik menjadi pelajar yang memiliki moral, tetapi lebih dari pelajar yang diharuskan menghapal segudang teori dibawah tekanan para pengajar.

Lebih parahnya lagi, para pahlawan yang dulu dengan gigihnya menyuarakan integrasi sebuah negara kesatuan denga darah mereka, kini para penerusnya, anak dan cucunya sendiri menyuarakan disintegrasi dan menginginkan pemisahan dari NKRI. Apa yang melatarbelakangi ini semua?. Masyarakat yang merasa mendapatkan perilaku yang tidak adil dari para pemimpin mereka yang mengeksploitasi sumber daya mereka untuk kepentingan seseorang atau kelompok? Atau masyarakat yang memandang kebobrokan pemimpinnya? Atau masyarakat yang tidak lagi percaya dengan pimimpinnya? Banyak kasus dan gerakan separatis terjadi, seperti Operasi Papua Merdeka yang menginginkan kemerdekaan dari wilayah NKRI, juga saat ini muncul sebuah isu yang mengatakan bahwa Bali menginginkan pemisahan dari NKRI. inikah yang dimimpikan para pahlawan kita??????

Konflik yang mengatas namakan suku, ras dan agama juga mewarnai perjalanan kebebasan negara kita. Perang antar suku seperti yang terjadi dulu di Sampit, di tanah Toraja. Dan yang baru-baru ini terjadi di Lampung Selatan yang meninggalkan banyak korban dan kerugian. Perang antar dua kelompok desa mengakibatkan sebanyak 12 orang tewas dan 450 rumah mengalami rusak berat dan ringan. Total kerugian materi diperkirakan mencapai Rp 23 miliar. Penutupan rumah ibadah dan pelarangan beribadah juga menambah keburukan citra negara kita. seperti kasus penutupan gereja, vihara dan klenteng di Aceh, penutupan gereja GKI Yasmin, kasus Gereja HKBP Filadelpia. Dan baru-baru ini di Riau sendiri banyak kasus pelarangan pembangunan gereja terjadi. Para pahlawan kita tidak pernah memikirkan perbedaan dalam memperjuangkan kemerdekaan, bahkan dengan semboyan kesatuan, mereka tinggalkan identitas mereka hanya untuk meneriakkan MERDEKA! Tapi yang ada saat ini, para kelompok yang menyatakan dirinya mayoritas menjajah dan melindas kaum minoritas. Terorisme juga semakin berkembang di negara ini. Banyak kasus terorisme yang terjadi dan bahkan berujung pada pembunuhan secara massal seperti kasus bom bunuh diri yang banyak terjadi di bagian negara ini.

Hal yang menjadi keprihatinan dari para pahlawan kita saat ini adalah menyaksikan anak-anak yang mereka bebaskan saling menjajah dan menekan. Para pemimpin yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung masyarakat telah menjadi penjajah bagi bangsanya sendiri. Para pemimpin saat ini memeras darah rakyatnya dengan berbagai kebijakan yang tidak populis, dan bahkan lebih parah daripada penjajah-penjajah asing yang pernah memijak maruah bangsa. Betul kata Bapak Proklamator kita, “Perjuanganmu akan semakin berat, hai generasiku, karna bangsamu sendirilah yang akan menjajahmu”. Dan ini terlihat dari sikap pemerintah saat ini.

Dapatkah kita bayangkan kesedihan para pahlawan saat ini? Mereka yang sudah mengorbankan tubuhnya menjadi pupuk bagi bunga kebebasan bangsa untuk mekar, menyiraminya dengan tangisan para janda-janda dan anak-anaknya. Dan hanya satu hal yang diminta pada kita, yaitu menyiangi rumput-rumput yang tumbuh menghimpit bunga kemerdekaan itu, namun kita bahkan semakin menambah keserakahan dan keegoisan yang menumbuhkan rumput-rumput itu semakin tinggi.

Bagaimana para veteran memandang wajah bangsa saat ini? Semua lari dari apa yang mereka bayangkan dan cita-citakan yaitu sebuah negara merdeka yang menjunjung kemanusiaan dan kesejahteraan seluruh  rakyat indonesia. Dan yang ada hanya kebobrokan yang semakin hari semakin parah. Bagaiaman mereka akan bercerita pada teman-teman sesama pejuang yang tewas di medan tempur saat mereka berjumpa di alam sana nantinya? Sanggupkah mereka mengatakan satu kata pun menggambarkan keadaan negara ini??

Esensi Hari Pahlawan: apakah para pejuang kita ingin selalu diingat? Tidak! Mereka saat itu berjuang dengan IKHLAS TANPA PAMRIH. Karena rasa benci mereka pada penjajah-penjajah yang seenaknya menenteng senjata dan mengebom kota mereka. Maka terbakarlah semangat mereka untuk mengusir penjajah  tersebut. Saat ini, yang mereka inginkan hanyalah melihat generasi penerus memiliki rasa cinta terhadap negeri dan bekerja keras untuk mengembangkan diri menyambut masa depan yang semakin sulit dan kompetitif.

Dan sebagai generasi muda yang melanjutkan perjuangan ini, apa yang dapat kita sumbangkan pada pembangunan kesejahteraan bersama di negara ini?? Masih sanggupkah kita memandang wajah dan memberi penghormatan bagi para pahlawan dengan semua kemerosotan ini? Ingat para generasi muda, bahwa perjuangan belum selesai sampai disini, perjuangan baru dimulai dan bersatulah untuk memajukan negeri ini.

 

“BERSATULAH DAN TERUSKAN PERJUANGAN KAMI!! BENAHI NEGERI INI”


BAB I

PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang

            Penelitian ini merupakaan studi kajian Ilmu Hubungan Internasional yang akan menganalisa tentang Peran dan Asistensi UNICEF – ESARO (United Nations Children’s Fund – East and Southern Africa Regional Office) dalam melindungi Anak-anak  dari Perdaganagan Manusia sebagai Tenaga Kerja Paksa dan Eksploitasi Seksual di Afrika Timur pada tahun 2005-2011. Alasan pemilihan judul ini adalah, karena penulis tertarik dengan isu-isu social humanitarian, dan karena dalam permasalahan ini, tidak begitu banyak penelitian yang konsen. Penulis juga tertarik meneliti fungsi dan peran Organisasi Internasional dalam kasus ini.

            Perdagangan manusia, baik anak-anak maupun dewasa, merupakan kekerasan terbesar dalam Hak Azasi Manusia. Dalam kasus orang-orang yang belum mencapai umur dewasa, apalagi melanggar hak mereka sebagai anak-anak, khususnya hak mereka untuk dilindungi dari ekslpoitasi. Pada poin ini, ada persetujuan universal.

            Selama lebih dari 10 tahun, pemerintah dunia membuat perubahan yang cukup besar dalam memahami sejumlah kenyataan tentang perdagangan manusia: orang-orang berada dalam situasi pada perbudakan modern di banyak Negara; perdagangan adalah fenomena yang yang bertanggung jawab terhadap permintaan pasar, kelemahan hukum dan hukuman, dan ekonomi dan pembangunan  yang tidak merata. Lebih banyak orang diperdagangkan  untuk pekerja paksa daripada untuk pekerja seks komersial. Kejahatannya kurang sering dikarenakan penipuan dan penculikan dari korban naïf daripada dikarenakan paksaan dan eksploitasi dari orang-orang yang pada awalnya memasuki bentuk khusus dari pelayanan sukarela atau berimigarasi dengan kehendak sendiri. Perdagangan dapat terjadi tanpa gerak melewati batas  atau negeri, tapi banyak Negara dan komentator masih berasumsi suatu pergerakan diperlukan. Dan pihak yang memperdagangkan biasanya menggunakan kekerasan seksual sebagai alat terhadap wanita untuk melayani mereka, baik dilapangan, di pabrik, di rumah bordil, atau di zona perang[1].

            Sementara perdagangan manusia dan kerja paksa sedang dibahas di bagian dunia lain, ada keheningan dalam pembahasan kasus ini di wilayah Timur dan Tanduk Afrika. Keheningan ini harus dihancurkan dan tindakan yang dibutuhkan harus diambil untuk menawarkan harapan baru pada korban perdagangan manusia dan pekerja paksa dan memperbaiki situasi. Demikian pula, sementara permasalahan perdagangan manusia dan pekerja paksa, didokumentasikan dengan baik dibeberapa Negara, terutama di Afrika Barat, Asia Tenggara dan Eropa Timur, sangat sedikit informasi  ada di Timur dan Tanduk Afrika. Oleh karena itu dibutuhkan grup yag berbeda, khususnya organisasi masyarakat, pemerintahan dan actor lainnya, yang terkena masalah, dan bahwa dokumentaasi sistematis dari sifat dan tingkat masalah dapat dimulai.

            Banya orang bergerak secara legal untuk bekerja, sementara atau permanen. Jika orang tidak dapat bergerak secara hukum untuk mecari pekerjaan – contohnya karena Negara tidak akan menerima pekerja dari tempat lain, atau karena mereka tidak memenuhi persyaratan Negara tersebut, atau mungkin hanya karena mereka tidak tahu bagaimana menggunakan jalur hukum untuk migrasi-maka mereka bisa berpaling pada cara yang illegal. Misalnya, dapat mereka memperoleh dokumen palsu yang memungkinkan mereka untuk masuk ke suatu Negara dengan curang, atau mereka mungkin masuk dengan cisa turis dan kemudian tidak meniggalkan Negara ketika visa berakhir. Kadang-kadang mereka mungkin hanya masuk ke suatu Negara menggunakan rute yang menghindari perbatasan penyeberangan resmi, sehingga mereka tiba tanpa terdata, sehingga menjadi “tidak tercatat. Khususnya untuk anak-anak, rute migrasi legal bisa tertutup karena mereka terlalu muda untuk bermigrasi atau tidak ditemani oleh anggota keluarga[2].

            Jika calon imigran gelap dianggap “diselundupkan”. Misalnya, orang dapat membayar pemilik perahu untuk membawa mereka ke Negara lain melalui laut, atau mereka dapat mengidentifikasikan seseorang atau suatu badan yang mengoperasikan kendaraan yang melintasi perbatasa dengan jalan, sering membawa barang lainnya serta orang, penyelundupan. Penyelundupan orang melewati batas Negara adalah illegal dan penyelundup dan orang yang membayar untuk dipindahkan melanggar hukum.

            Perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak, bukanlah hal baru. Secara historis, telah mengambil beberapa bentuk, tetapi dalam konteks glonalisasi, telah menghasilkan dimensi baru yang mengejutkan. Ini kompleks, fenomena yang dihadapi multi Negara yang melibatkan banyak stakeholder pada institusi dan level komersil. Ini adalah permintaan yang didorong oleh bisnis global dengan dengan pasar yang besar untuk tenaga kerja seks tenaga kerja yang murah . hal utama yang mendorong pasokan perdagangan adalah kemiskinan, dengan  terkait standard pendidikan yang buruk  dan kurangnya lapangan pekerjaan mendorong orang rentan jatuh ketangan pedagang. Industri perdagangan ini menaggapi pertumbuhan permintaan yang murah, tenaga kerja yangmudah dibentuk dan sebuah ekspansi, industry sex global menjamin pasokan untuk memenuhi permintaan itu.

            Orang-orang dijual dengan berbagai tujuan-eksploitasi seksual, dijadikan pengemis, buruh yang tidak dibayar dan pekerja paksa di sector agrikultur, manufaktur dan industry konstruksi, pelayanan domestic dan penjualan organ.

            Tahun 2005 Departemen Amerika Serikat memperkirakan sekitar lebih dari 600.000-800.000 orang diperdagangkan tiap tahun melewati batas internasional. Kira-kira 80% adalah wanita. Secara mayoritas mereka yang diperdagangkan berusia di bawah 18 tahun dalam usia gadis.[3]

 

I.2 Perumusan Masalah

            Secara sederhana, trafficking adalah sebuah bentuk perbudakan modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Trafficking berarti perpindahan. Jadi artinya adalah perpindahan atau migrasi dimana calon korban dibawa keluar dari kampung halamannnya ke tempat yang berbahaya dan kemudian dikerjapaksakan dan dieksploitasi. Ini menjadi perhatian yang dianggap serius bagi oraganisasi-organisasi Internasional, hal ini dikarenakan permasalahan ini telah melanggar beberapa konvensi Internasional yang serius.

            Untuk mengarahkan penelitian ini, maka penulis membuat pertanyaan penelitian yaitu, “Apa Peran UNICEF-ESARO (United Nations Children’s Fund – East and Southern Africa Regional Office) dalam Melindungi Anak-anak dan Wanita dari Perdagangan Manusia sebagai Tenaga Kerja Paksa dan Eksploitasi Seksual di Afrika Timur?”.

 

I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

       1.3.1. Tujuan Penelitian

               1. Penulis ingin menjelaskan peran UNICEF-ESARO (United Nations Children’s Fund-      East and Southern Africa Regional Office) terhadap perdagangan anak-anak dan wanita di Afrika Timur

2.  sebagai sumbangan pemikiran dalam mengkaji mengenai peran Organisasi Internasional dalam melakukan perlindungan terhadap Anak-anak dan wanita dari perdagangan manusia di Afrika Timur

I.3.2. Manfaat Penelitian

1.  Penelitian ini diharapkan dapat member informasi, menambah bahan referensi dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hubungan internasional yang mengkaji tentang perdagangan manusia dan peran organisasi internasional

2.   Untuk member informasi apa peran dari Organisasi Internasional (UNICEF-ESARO) dalam menangani kasus perdagangan manusia

3.   untuk menambah wawasan serta sebagai bahan penelitian selanjutnya bagi peneliti yang tertarik mengkaji isu-isu perdagangan manusia.

 

 

 

I.4 Kerangka Teoritis

            Dalam penelitian ini, tingkat analisis yang digunakan oleh penulis adalah perilaku kelompok yang dikemukukakan oleh Mohtar Mas’oed, yang berasumsi bahwa individu umumnya melakukan tindakan internasional dalam kelompok hubungan internasional sebetulnya adalah hubungan antar berbagai kelompok kecil diberbagai Negara. Artinya, peristiwa internasional sebenarnya ditentukan bukan olej individu, tetapi oleh kelompok kecil (seperti cabinet, dewan penasehat keamanan, politburo dan sebagainya) dan oleh organisasi, birokrasi, departemen, badan-badan pemerintahan dan sebagainya. Dengan demikian, untuk memahami hubungan internasional terlebih dahulu harus mempelajari perilaku kelompok kecil dan organisasi-organisasi yang terlibat dalam hubungan internasional[4]

            Perspektif yang digunakan oleh penulis adalah pluralist perspective. Diana L. Eck menjelaskan bahwa pluralism adalah suatu sistematika serta kerangka dimana terdapat beberapa kelompok atau bagian dari system lainnya dan saling berhubungan dengan basis sasling menghargai dan menghormati antar sesama[5]. Dalam pluralism, aktor non Negara adalah actor paling penting dalam bahasan hubungan internasional. Ada 3mpat aspek penting dalam perspektif pluralisme[6], yaitu

1.                Aktor non-negara adlah salah satu unsure penting dalam dunia politik. Organisasi Internasional adalah salah satu contoh actor politik non-negara

2.                Kaum pluralis beranggapan bahwa Negara bukanlah actor yang berdiri sendiri, Ngera dalam hal ini terdiri dari individu (rakyat), kelompok kepentingan dan birokrat lainnya

3.                Pluralis juga bertentangan dengan kaum realis yang mengatakan bahwa Negara adalah aktor rasional. Dalam situasi pembuat keputusan, actor politik dalam hal ini cenderung untuk saling berkompromi tergabung dalam suatu forum atau kelompok lainya, menggunakan posisi tawar (bargaining position) dan mengedepankan kepentingan nasionalnya

4.                Agenda internasional bagi kaum pluralis cenderung bersifat ekstensif. Pluralis tidak hanya membahas masalah keamanan nasional secara fisik, tetapi juga melalui aaspek ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya.

            Pluralism erat kaitannya dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan bahwa dalam kemasyarakatan merupakan hal yang paling penting untuk mengupayakan kesejahterahan rakyat ramai dan di sisi lain pluralism menawarkan pendekatan social juga dapat berinteraksi dengan pemerintah dan cara kerjanya yang mengutamakan pengakuan bentuk multikulturalisme dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagian besar NGO melakukan pendekatan langsung pada masyarakat terlebih dahulu untuk memulai program kerjanya. Mereka meyakini bahwa apabila mereka menyediakan sumber daya, maka penduduk local akan lebih untuk mendidik masyarakat untuk lebih mandiri dan bijaksana dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi, terkhusus di kawasan tanduk Afrika, permasalahan social yang paling banyak terjadi adalah perdagangan anak-anak dan wanita sebagai buruh kerja paksa dan pekerja seks komersial.

                        Tanduk afrika merupakan salah satu Negara dimana NGO telah memiliki peran yang penting dalam perekonomian Negara, social bahkan perkembangan politiknya. Pada bidang social dan kemanusiaan Organisasi Internasional seperti UNICEF sangat berperan dalam menangani isu-isu perdagangan manusia untuk dijadikan budak dalam industry seksual dan dijadikan buruh kerja paksa. Apabila struktur-struktur itu telah menjalankan fungsi-fungsinya maka organisasi itu telah menjalankan peranan tertentu. Dengan demikian maka peranan dapat dianggap sebagai fungsi baru dalam rangka pengajaran tujuan-tujuan kemasyarakatan. Sedangkan teori peranan menurut Soerjono Soekanto bahwa sanya mencakup tiga artian[7], yaitu:

1.    Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan peraturan-peraturan yang dibimgbing seseorang dalam kehidupa kemasyarakatan

2.    Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagi organisasi

3.    Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang paling penting bagi struktur social masyarakat.

Teori aktvitas rutin adalah sebuh sub-bidang dari kriminologi pilihan rasional, yang dikembangkan oleh Marcus Felson. Teori aktivitas rutin mengatakan bahwa kriminalitas adalah normal dan tergantung pada kesempatan-kesempatan yang tersedia. Bila sebuah target tidak cukup dilindungi, dan bila ganjarannya cukup berharga, maka kejahatan akan terjadi. Kejahatan tidak membutuhkan pelangar-pelanggar kelas berat, pemangsa-pemangsa super, para residivis atau orang-orang jahat. Kejahatan hanya membutuhkan kesempatan.

Premis dasar dari teori aktivitas rutin ialah bahwa kebanyakan kejahatan adalah pencurian kecil dan tidak dilaporkan kepada polisi. Kejahatan bukanlah sesuatu yang spektakular ataupun dramatis. Semuanya itu kejadian yang umum dan terjadi setiap saat.

Premis lainnya ialah bahwa kejahatan itu relatif tidak dipengaruhi oleh penyebab-penyebab sosial seperti kemiskinan, ketidaksederajatan, pengangguran. Misalnya, setelah Perang Dunia II, ekonomi negara-negara Barat berkembang pesat dan negara-negara Kesejahteraan meluas. Pada saat itu, kejahatan meningkat secara signifikan. Menurut Felson dan Cohen, ini disebabkan karena kemakmuran dari masyarakat kontemporer menawarkan begitu banyak kesempatan untuk kejahatan: ada lebih banyak barang yang dapat dicuri.

Teori aktivitas rutin ini kontroversial di antara para sosiolog yang percaya akan sebab-sebab sosial dalam kejahatan. Tetapi beberapa tipe kejahatan dapat dijelaskan dengan baik sekali oleh teori aktivitas rutin, termasuk pelanggaran hak cipta, yang terkait dengan peer-to-peer file sharing, pencurian oleh pegawai, dan kejahatan korporasi

 

I.5 Hipotesa

            Hipotesa merupakan jawaban awal atau jawaban sementara yang harus dibuktikan terlebih dahulu nilai kebenarannya, apakah dapat diterima atau tidak fakta-fakta yang diajukan.[8]

       Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka penulis merumuskan suatu hipotesa yaitu “Peran UNICEF-ESARO (United Nations Children’s Fund – East and Southern Africa Regional Office) dalam Melindungi Anak-anak dan Wanita dari Perdagangan Manusia sebagai Tenaga Kerja Paksa dan Eksploitasi Seksual di Afrika Timur yaitu dengan memberikan bantuan-bantuan dana kepada negara-negara di Afrika Timur.”

Indikator-indikatornya yaitu dengan mengadakan:

1.      The UN Global Study on Violence against Children

2.      Eastern and Southern Africa Regional Assessment

3.      International and Regional Legal Framework

4.      UNICEF Humanitarian Action

5.      Five key Social protection interventions.

6.      Social Protection Frame World

 

I.6 Defenisi Konsepsional

                        Dalam pemahaman mengenai masalah yang diteliti, maka perlu untuk dikemukakan makna dari konsep-konsep yang dipergunakan. Defenisi konsepsional merupakan defenisi yang menggambarkan konsep dengan menggunakan konsep-konsep lain.

            Anak-anak : menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak-anak (United Nations Convention on the Rights of the Child 1989), “seorang anakk berarti setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun,

Perdagangang Manusia (human trafficking): menurut UN Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the UN Convention Against Transnational Organized Crime (2000), adalah rekruitmen, transoportasi, pemindahan, mendaratkan atau menerima manusia, dengan ancaman atau menggunakan kekuatan ancaman, atau bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, dari penyalahgunaan kekuatan atau posisi kerapuhan atau menerima pembayaran atau keuntungan untuk meraih persetujuan dari orang yang telah dikontrol oleh orang lain, untuk tujuan eksploitasi. [9]

Eksploitasi: termasuk, setidaknya, eksploitasi dari prostitusi dan bentuk lain dari eksploitasi seksual, pekerja atau pelayan paksa, perbudakan atau praktek yang sama dengan perbudakan, dan pemindahan organ.[10]

            UNICEF – ESARO (United Nations Children’s Fund – East and Southern Africa Regional Office): merupakan organisasi Internasional yang berada dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang konsen menangani permasalahan anak-anak khususnya di daerah Timur dan Barat wilayah Regional Afrika.

            USAID (United States Agency for International Development): merupakan perwakilan atau agen dari Amerika Serikat untuk perkembangan internasional yang mendisain dan mengimplementasikan program yang ditujukan untuk memberantas momok perdagangan manusia. Sejak tahun 2003, USAID’s Africa Bureau telah mendanai program di duabelas Negara : Benin, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, Guinea, Madagaskar, Mali, Mozambig, Nigeria, Afrika Selatan, Uganda dan Afrika Barat.[11]

Tier 1 : Negara Negara yang pemerintahnya patuh terhadap standard minimum Trafficking Victims Protection Acts (TVPA).[12]

Tier 2:  Negara-negara yang pemerintahnya tidak begitu patuh terhadap standard minimum TVPA’s, tetapi membuat usaha yang signifikan untuk membawa dirinya pada pemenuhan standard.[13]

            Tier 2 Watch List: Negara-negara yang pemerintahnya tidak begitu patuh terhadap standard minimum TVPA’s, tetapi membuat usaha yang signifikan untuk membawa dirinya pada pemenuhan standard, dan: a) jumlah mutlak dari korban dari beberapa bentuk dari perdagangan sangat signifikan atau secara signifikan bertambah; b) ada kesalahan untuk menyediakan fakta-fakta dari pertambahan usaha untuk memerangi bentuk-bentuk perdagangan manusia dari tahun sebelumnya; atau c) tekad Negara membuat usaha yang signifikan untuk membawa pada pemenuhan dengan standard minimum didasarkan pada komitmen Negara untuk mengambil penambahan langkah pada masa yang akan dating.

Tier 3: Negara yang pemerintahannya tidak begitu memenuhi standard minimum

dan tidak membuat usaha yang signifikan untuk itu.[14]

            Tanduk Afrika: merupakan suatu kawasan di Benua Afrika yang terdiri dari Negara Ethiopia, Eritrea, Djibouti dan Somalia dan Kenya.

 

 

I.7 Defenisi Operasional

            Kemiskinan, seksisme, dan kurangnya keamanan di Afrika telah menghantar pada sebuah wabah perdagangan manusia antar benua. Penghanucran dari kemiskinan adalah faktor pendorong utama pada perdagangan manusia. Kemiskinanan menghantarkan orang untuk menerima situasi yang tidak aman dan desaka dari orang tua untuk menjual anak mereka kepada perbudakan. Bagaimanapun, kemiskinan bukanlah satu-satunya penyebabnya. Diskriminasi social terhadap perempuan menghantarkan bertambahnya kerapuhan, sebagai “anggapan social dan buday dan kelaziman dari kekerasan gender (dewasa ini) menambahkan tantangan pada efektifitas perlindungan mereka dari perdagangan manusia[15] perempuan akan megalami kerapuhan keterbelakangan dalam bidang ekonomi saat mereka menjanda, dan bercerai, berpisah, atau ditinggalkan, dan sering memaksa mereka untuk bermigrasi untuk mencari lapangan pekerjaan dimana mereka harus menerima status pegawai yang dibawah standard untuk bertahan hidup.

            Mereka yang bermigrasi melewati batas, umumnya, tidak memiliki informasi cukup tetntang kondisi dan bahaya bekerja diluar negeri, juga tidak mendapatkan informasi metode migrasi yang aman. Ketiadaan registrasi kelahiran pada banyak Negara-negara Afrika menghatarkan pada tidak terdaftarnya anak-anak yang kemudian menjadi target operasi perdagangan. Anak-anak “yang tidak memiliki pengakuan resmi … tidak dapat dilacak pada Negara asalnya, dan sangat tidak mudah untuk mengembalikannya kepada komunitas mereka dan rehabilitaas.”[16] Konflik dan bencana alam juga menjadi faktor penekan terjadinya perdagangan manusia. Seperti lingkungan menciptakan ketidakamanan dan ketidakstabilan yang mengakibatkan migrasi massa besar-besaran. Kejahatan terorganisir mengambil keuntungan dari kelemahan hukum dalam situasi ini dan terhadap orang-orang yang rentan.

            Ada beberapa jenis dari perdagangan serta faktor-faktor yang mempengruhi perdagangan. Korban dijual sebagai pekerja seks komersial dan eksploitasi buruh, sebagai tentara anak-amak dan untuk alasan yang tidak biasa, termasuk joki unta.

            Perdagangan untuk tujuan Eksploitasi Seksual, permintaan terhadap eksploitaasi seksual sangat tinggi di Afrika, dan telah diperburuk oleh permintaan dari luar negeri-para pelancong di hotel-hotel tempatliburan di Malawi, Kenya, Tanzania, dan Uganda dan penjaga keamanan di Republik Demokratik kongo.[17] Korban dijual untuk eksploitasi seks komersial secara berkala ditempatkan di rumah Bordil atau dipaksa menikah dengan klien. Gadis muda dijual sebagai pengantin dan dikirim untuk bergabung dalam pekerja migrant di Negara-negara yang jauh dari kampong halamannya. Rating dari perdagangan pengantin wanita terus bertambah karena “pertumbuhan permintaan oleh orang yang lebih tua untuk mereka yang muda, pengantin perawab sangat rentan terhadap infeksi HIV/AIDS.”[18] Perdagangan untuk eksploitasi seksual mempunyai beberapa konsekuen bagi korbannya, dan kebanyakan korbannya sangat sulit untuk disembuhkan. Mereka menderita dari:

1.      Konsekuensi kesehatan dari fisik dan perkosaan seksual dan penyiksaan, termasuk kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak aman dan dipaksakan, HIV/AIDS, dan penyakit seksual lainnya yang muncul

2.      Trauma psikologi ekstrim yang sering berdampak lama pada mental dan kesehatan emosional mereka

3.      Stigma dan pengasingan dalam lingkingan social dan konsekuensi ekonomi yang sering dihasilkan dari trauma

            Perdagangan untuk pekerja paksa, pekerja paksa, terlilit hutang, pelayanan yang dipaksakan, dan pekerja paksa anak-anak adalah bentuk dari eksploitasi buruh/pekerja. Praktek menjaga pekerja domestic menghantarkan, pada beberapa situasi, untuk anak yang dijual untuk melayani perbudakan di domestic. Di sector pekerja lainnya, seperti agrikultur dan pertambangan, anak-anak “dirasa sangat murah dan selalu sumbernya selalu ada,” dan secara berkala dijual dalam situasi yang tidak aman.[19] Dililit hutang memaksa orang dalam penundukan- diklasifikasikan sebagai perdagangan. Menurut U.S. State DEpartement, “banyak pekerja diseluruh dunia menjadi korban akibat terlilit hutang ketika mereka mengambil hutang awal sebagai bagian dari istilah karyawan, atau mewariskan utang dalam system tradisional dari pekerja yang terikat[20].

            Kemsikinan menyebebkan perdagangan manusi, khususnya untuk anak-anak, menjadi pekerja paksa. “keluarga miskin, tidak dapat mendukung anak-anak mereka, mungkin membujuk untuk menjual mereka  atau menyeewakan mereka untuk bekerja diluar; anaka-anak dan perempuan muda menjadi yang utama untuk dijual (eksploitasi seks komersial atau eksploitasi buruh) dan, mereka dijual untuk tujuan itu[21].

            Tentara anak-anak dan asosiasi wanita sebagai kekuatan tempur. Tekanan pemberonttak, dalam beberapa kasus, tentara pemerintah, telah menculik, memanipulasi, dan merekrut anak-anak dengan paksa dan populasi orang lainnya yang rentan sebagao tentara. Walaupun beberapa wanitra dengan sukarela mendataftarkan diri mereka dalam kekuatan tempur, mereka sering diculik atau secara tidak rela masuk kedalam wajib milliter, penipuan, atau paksaan. Mereka kemudian terjebak dalam pekerja domestic, budak seksual, prostitusi dan menjadi partner nikah yang dipaksa. Beberapa anak mendaftar dikarenakan kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan atau kesempatana memperoleh pendidikan. Mereka menjadi korban kekerasan, eksploitasi seksual di rumah atau anak-anak yang terjebak dalam diskriminasi etnis, suku dan agama, menghantar anak-anak untuk masuk menjadi tentara anak-anak.

            Grup yang menggunakan tentara anak-anak termasuk grup paramiliter pemerintah, militant, unit operas pembelaan diri sendiri dengan dukungan pemerintah, grup bersenjata yang oposisi pemerintah, dan golongan fraksi yang melawan pemerintah. Anak-anak ini akan berda dalam pembunuhan, siksaan, penahanan, pemerkosaan, atau dipaksa menikah, dan mungkin dipaksa untuk melakukan kekerasan pada orang lain. Sepuluh ribuan anak dibawah umur 18 berada dalam pertempuran, informan, mata-mata, kolaborasi, pengahantar pesan, kurir, umpan, pengintao, penjaga pintu dan penyapu ranjau, pekerja domestic, budak seksual, prostitusi.[22]

            Joki Unta dan situasi tidak biasa lainnya. Sepanjang Afrika Timur, khususnya di Suda, anak-anak sedikitnya umur dua tahun ditagkap dan dijual ke teluk Persia untuk bekerja dalam pelayanan sebagai joki dalam industry balap unta. Joki anak-anak mendapatkan perlakuan fisik dan seksual, dan “yang paling parah adalah pengkerdilan fisik dan mental, sebagaimana mereka kelaparan dan sulit mendapatkan penambahan berat badan.”[23]

            Ada laporan anekdok dari anak-anak yang dijual untuk mendapatkan organ mereka atau bagian tubuh dalam ritual agama dan budaya dan transpalansi medis; bagaimanapun, sangat sedikit informasi dan penelitian dalam hal ini, dan laporannya biasanya tidak dikonfirmasi.

            Ada kesulitan asosiasi degan mengidentifikasi korban atau perdagangan dan jejak Negara korban dan rute perdagangan. Bagaimanapun, Negara asal, transit dan tujuan telah diidentifikasi disepanjang benua.

  • Barat, Tengah, Selatan dan Timur Negara-negara Afrika adalah Negara asal.[24]
  • Negara-negara Afrika Barat, Mesir, dan Afrika Selatan adalah Negara tujuan di Afrika, dengan Afrika selatan sebagai “pemimpin”.[25] Banyak korban juga ditrnasportasikan ke Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Serikat
  • Negara transit keluar melalui Afrika. Afrika Selatan dikenal sebagai Negara transit dimana korban ditransportasikan dari Asia menuju Afrika dan Eropa.

 

I.8  Metodologi Penelitian

       1.8.1 Metode Penelitian

            Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, yakni jenis penelitian yang bersifat memaparkan gambaran tentang situasi atau fenomena social secara detil. UNICEF-ESARO (United Nations Children’s Fund – East and Southern Africa Regional Office) dijadikan sebagai objek penelitian untuk memaparkan keterkaitan perannya dalam memberantas perdagangan orang di Tanduk Afrika.

       1.8.2 Teknik Pengumpulan Data

            Pemilihan metode penelitian ini berimplikasi pada tekhnik pengumpulan data. Dengan menginput data-data dan kemudian menghubungkannya dengan suatu teori. Dimana data-data dan teori didapat melalui riset pustaka (library) dan Internet. Data-data ini didapat dari buku-buku dan website resmi organisasi-organisasi Internasional yang konsen terhadap permasalahan ini.

 

I.9 Ruang Lingkup Penelitian

            Penulis menetapkan batasan-batasan pada penelitian, agar focus dalam melakukan penelitian terhadap fenomena yang dijadikan sebagai objek penelitian. Pertama, penelitian difokuskan pada peran UNICEF-ESARO (United Nations Children’s Fund – East and Southern Africa Regional Office) dalam memberantas perdagangan Anak-anak dan Wanita di Tanduk Afrika.

            Kedua, permasalahan dibatasi dengan penentuan jangka waktu penelitian dari tahun 2005-2011 agar lebih focus dan cakupan yang harus diteliti tidak begitu luas.

 

I.10 Sistematika Penulisan

BAB I                :  Pendahuluan

              Bagian bab ini merupakan latar belakang, perumusan masalah penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka dasar teori, hipotesa, defenisi konsepsional dan operaasional, metode dan tekhnik penelitian, ruang lingkup dan sistematika penulisan

BAB II               : UNICEF-ESARO (United Nations Children’s Fund – East and  Southern   Africa Regional Office)

                          Pada Bab ini, akan membahas mengenai keseluruha aspek mengenain peran UNICEF_ESARO(United Nations Children’s Fund – East and Southern Africa Regional Office) sebaigai organisasi yang konsen terhadap permasalahan anak-anak dan wanita khususnya di wilaya Afrika.

BAB III              :  Gambaran umum Kondisi Anak-anak, Wanita dan masyarakat di Frika Timur Tanduk Afrika.

              Bab ini akan membahas mengenai kondisi anak-anak, wanita dan masyarakat di Afrika Timur secara umum

BAB IV             :  Peran UNICEF-ESARO (United Nations Children’s Fund – East and Southern   Africa  Regional Office) dalam memberantas Perdagangan Anakanak dan Wanita di Tanduk Afrika.

                        Bab ini akan membahas mengenai korelasi antara peran UNICEF-ESARO UNICEF-ESARO (United Nations Children’s Fund – East and Southern   Africa Regional Office) sebagai organisasi yang konsen terhadap permasalahan anak-anak dan wanita dan perannya dalam memberantas perdagangan anak-anak dan wanita di Tanduku Afrika dalam jangka waktu 2005-2011.

BAB V           : Kesimpulan

                      Bab ini berisi tentang kesimpulan penting yang didasarkan pada pembahasan bab-bab sebelumnya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Referensi

Buku

Mohtar Mas’oed. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.Jakarta:LP3ES.

 

Departemen or State United States of America.”Trafficing In Persons Report,”. 10th Edition, 2010        

           

ILO and UNICEF. “Training Manual To Fight Trafficking In Children For Labour, Sexual And Other Forms Of Exploitation ‘Understanding Child Trafficking’”. Geneva.2 US Departement of State (2005) Trafficking in Persons Report 2005.

 

Policy Paper Poverty Series n° 14.5 (E). Human Trafficking in South Africa: Root Causes and Recommendations. Paris 2007.

 

Paul R. Viotti, Mark V. Kauppi, International Relationas Theory: Realism, Pluralism, and Beyond. (Boston: Allyn and Becond, 1998).

 

UNICEF Innocenti Research Centre.. Trafficking in Human Beings, Especially Women and Children, in Africa. Florence, Italy: UNICEF. 2003

 

U.S. Department of State. “The Fact about Human Trafficking for Forced Labor.” Washington, DC: U.S. Department of State Office to Monitor and Combat Trafficking in Persons. 2005

 

UNICEF Innocenti Research Centre. Trafficking in Human Beings, Especially Women and Children, in Africa. Florence, Italy: UNICEF. 2003

 

U.S.departement of State.2006.”Trafficking In Persons Report.2006.”Whasington, DC. U. S. Departemen of State Officer to Monitor and Combat Trafficking In Persons.

 

Marcus Felson, Crime and Everyday Life. Insight and Implications for Society, Thousands Oaks : Pine Forge Press, 1994

 

Lawrence Cohen and Marcus Felson, « Social Change and Crime Rate Trends : A Routine Activity Approach », American Sociological Review, 44 (4), 1979, h. 588-608

 

Internet

 

Diana L. Eck, What is Pluralism, diakses dari http://pluralism.org/pages/pluralism/what_is_pluralism pada 23 Maret 2012

 

www.unhcr.org

 

www.unicef.org

 

www.usaid.org

 

 


[1] Departemen or State United States of America.”Trafficing In Persons Report,”. 10th Edition, 2010. Hal 6.

[2] ILO and UNICEF. “Training Manual To Fight Trafficking In Children For Labour, Sexual And Other Forms Of Exploitation ‘Understanding Child Trafficking’”. Geneva.2009. hal 16.

[3] US Departement of State (2005) Trafficking in Persons Report 2005.

[4] Mohtar Mas’oed. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi (Jakarta: PT Pustaka LP3ES,1990).hal 41

[5] Diana L. Eck, What is Pluralism, diakses dari http://pluralism.org/pages/pluralism/what_is_pluralism pada 23 Maret 2012

[6] Paul R. Viotti, Mark V. Kauppi, International Relationas Theory: Realism, Pluralism, and Beyond. (Boston: Allyn and Becond, 1998). Hal 192

[7][7] Soerjono Soekanto, 1986. Sosiologi suatu Pengantar (Jakarta: CV Rajawali) hal 53-56

[8] K. J. holsti. Politik Suatu Kerangka Analisis. (Bandung: Binacipta, 1987).hal 131

[9] Policy Paper Poverty Series n° 14.5 (E). Human Trafficking in South Africa: Root Causes and Recommendations. Paris 2007. Hal 21

[10] ibid

[11] Usaid Antitrafficking In Persons Programs In Africa: Review Of Trafficking In Persons Programs In Africa. United States. A Review April 2007. Hal  iii

[12] Departemen or State United States of America.”Trafficing In Persons Report,”. 10th Edition, 2010. Hal 47

[13] ibid

[14] ibid

[15] U.S.departement of State.2006.”Trafficking In Persons Report.2006.”Whasington, DC. U. S. Departemen of State Officer to Monitor and Combat Trafficking In Persons.

 

[16] UNICEF Innocenti Research Centre. 2003. Trafficking in Human Beings, Especially Woman and Children in Africa. Florence. Italy: UNICEF

[17] The phenomenon of increased demand for persons engaged in prostitution by foreign visitors, both tourists and government workers, has been widely documented. For one example of this, see UNICEF Innocenti Research Centre. 2003. Trafficking in Human Beings, Especially Women and Children, in Africa. Florence, Italy: UNICEF. For documentation of the trafficking scandal involving UN peacekeepers in the DRC, see the prepared remarks of Kim Holmes, Assistant Secretary of State Bureau of International Organization Affairs, Department of State, Before the Subcommittee on Africa, Global Human Rights and International Organizations, of the International Relations Committee, U.S. House of Representatives, on March 1, 2005. For more information on sex tourism, see Anti-Slavery International and ANPPCAN. 2005. “Report of the Eastern and Horn of Africa

[18] UNICEF Innocenti Research Centre. 2003. Trafficking in Human Beings, Especially Women and Children, in Africa. Florence, Italy: UNICEF.

[19] UNICEF Innocenti Research Centre. 2003. Trafficking in Human Beings, Especially Women and Children, in Africa. Florence, Italy: UNICEF.

[20] U.S. Department of State. 2005. “The Fact about Human Trafficking for Forced Labor.” Washington, DC: U.S. Department of State Office to Monitor and Combat Trafficking in Persons.

[21] 9 UNICEF Innocenti Research Centre. 2003. Trafficking in Human Beings, Especially Women and Children, in Africa. Florence, Italy: UNICEF.

[22] 11 Coalition to Stop the Use of Child Soldiers. 2004. Child Soldiers Global Report 2004

[23] 12 U.S. Department of State. 2005. “The Fact about Children Trafficked for Use as Camel Jockeys.” Washington, DC: U.S. Department of State Office to Monitor and Combat Trafficking in Persons.

[24] Ibid.

[25] ibid

Posted: Maret 7, 2012 in Uncategorized

just read it…

Diabolical Confusions

The movie “The Exorcist” was based on a true story from 1949. A boy was diagnosed as being possessed by the devil, and the Roman Catholic Church believed this enough to assign multiple exorcists to this case.  A supposed total of 26 people have been said to have witnessed the horrible things that happened during these exorcisms, and it was apparently so terrifying to those who were involved that books were written about it, and movies were made.It is considered today as one of the scariest movies ever made, and so many stories borrow and steal directly from this story that it is hard to see where one begins and another ends.

Lihat pos aslinya 3.757 kata lagi

Making GLobalization work

Posted: Desember 3, 2011 in Uncategorized

Tulisan ini merupakan resume dari buku yang berjudul “Making Globalization Work” yang ditulis oleh Joseph E. Stiglitz. Buku ini terbit pada tahun  2006 oleh penerbit W. W. Norton & Company, New York dan London. Buku ini berisi 358 halaman termasuk Kata Pengantar, Daftar Isi, Pendahuluan, Ilustrasi, contributor (figur dan tabel), Index dan simpulan, dengan ISBN 0-393-06122-1. Buku ini tergolong pada jenis Non-Fiksi.

            Secara garis besarnya, buku ini mencerminkan keyakinan Joseph terhadap proses demokrasi, di mana dalam proses globalisasi yang didominasi oleh perusahaan khusus dan kepentingan keuangan, warga negara yang memiliki informasi juga bisa untuk berbagi kepentingan yang sama dalam mewujudkan globalisasi. Sebab globalisasi merupakan alih peran antara pemerintah dan pasar, sehingga ia merupakan bidang yang berpotensi dalam menimbulkan konflik-konflik sosial dan diperlukan usaha yang konservatif atasnya untuk efisiensi ekonomi dan isu-isu ekuitas yang juga berkaitan dengan politik. Adapun regulasi dan intervensi pemerintah yang tepat tetap diperlukan walaupun telah terjadi pengalihan peran tersebut, yaitu ketika ada alternatif dan pilihan, proses politik demokratis harus menjadi pusat pengambilan keputusan-bukan teknokrat. Keberhasilan ekonomi memerlukan keseimbangan mendapatkan hak antara pemerintah dan pasar. Dan keseimbangan ini jelas mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan akan berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Namun, globalisasi memang diakui sering menyebabkan kesulitan dalam pencapaian keseimbangan tersebut.

Dalam mewujudkan globalisasi, Joseph berusaha menunjukkan bagaimana globalisasi dikelola dengan baik, seperti keberhasilan pengembangan di banyak negara Asia Timur, dan  bermanfaat baik untuk negara berkembang maupun negara maju di dunia. Dan globalisasi tidak harus berakibat buruk bagi lingkungan, meningkatkan ketidaksetaraan, melemahkan keragaman budaya, dan memajukan kepentingan korporasi dengan mengorbankan kesejahteraan warga biasa. Semua lembaga dan manusia tidak ada yang sempurna, dan tantangan yang harus dihadapi yaitu untuk belajar dari keberhasilan dan kegagalan.

 

 

 

 

 


BAB I

1.1  Latar Belakang

Kashmir adalah sebuah wilayah di utara sub benua india dan digambarkan sebagai sebuah lembah di selatan dari ujung paling barat barisan himalaya. Secara politik, istilah Kashmir dijelaskan sebagai wilayah yang lebih besar yang termasuk wilayah jammu Kashmir, dan Ladakh “Vale of Kashmir” utama relatif rendah dan sangat subur, dikelilingi oleh gunung yang luar biasa dan dialiri oleh banyak aliran dari lembah-lembah. Dia dikenal sebagai suatu tempat paling indah spektakuler di dunia. srinagar , ibu kota kuno, terletak di dekat danau dal, dan terkenal karena kanal dan rumah. Wilayah Kashmir terbagi oleh tiga Negara: Pakistan mengontrol barat laut, India mengontrol tengah dan bagian selatan Jammu dan Kashmir, dan Republik Rakyat Cina menguasai timur laut (Aksai Chin). Meskipun wilayah ini dalam prakteknya diatur oleh ketiga negara tersebut, India tidak pernah mengakui secara resmi wilayah yang diakui oleh Pakistan dan China. Pakistan memandang seluruh wilayah Kashmir sebagai wilayah yang di pertentangkan, dan tidak menganggap klaim India atas wilayah ini. Sehingga sampai saat ini Kashmir masih menjadi Negara yang diperebutkan dan memicu konflik antar Negara yang memperebutkan wilayah Kashmir menjadi bagian dari negaranya.

Kashmir adalah negeri yang penduduknya mayoritas muslim. Sekitar 85 % dari delapan juta penduduknya beragama Islam. Wilayah seluas 222.236 kilometer tersebut terletak di wilayah jantung Asia,  diapit oleh China di sebelah timur, India di selatan, Pakistan dan Afghanistan di barat, serta CIS di utara. Pada awalnya, negeri ini dikenal dengan sebutan “Surga Dunia”, karena keindahan alamnya yang mempesona. Kekayaan alam Kashmir ini sedikitnya memberikan pemasukan devisa sekitar 400 juta dolar per tahun dari para pelancong. Namun, keindahan Kashmir tersebut kini berubah menjadi lautan api dan darah, menjadi ladang pembantaian. Akar dari konflik Kahsmir memang bisa dilacak pada momen pemisahan Pakistan dari India. Tetapi, perjuangan bersenjata  baru dimulai ketika Muslim Kashmir, yang didorong oleh keberhasilan bangsa Afghan memerangi Soviet, meluncurkan gerakan serupa melawan India pada akhir 1980-an.[1]

Konflik persengketaan  India-Kashmir ini mulai memanas  sejak tahun 1947 (26 Oktober), bersamaan dengan terpecahnya India menjadi dua bagian, yakni Pakistan di bagian barat  dan India di bagian timur. Masyarakat Kashmir sebenarnya telah menentukan pilihan mereka untuk bergabung dengan pemerintah Pakistan, namun dengan licik, India berhasil menekan Kashmir dan mengelabui dunia internasional dengan mengklaim bahwa Kashmir adalah bagian propinsi India yang tak terpisahkan. India mem-blow up informasi bahwa Kashmir berupaya subversif dan bertindak separatis, dan ingin memisahkan diri dari India.

Rembetan masalah ini akhirnya berujung dengan peperangan antara India dan Pakistan pada tahun 1947. Dewan Keamanan PBB pada 20 Januari 1948 mengeluarkan Resolusi yang isinya memberi jaminan kepada rakyat Kashmir untuk menentukan nasib sendiri. Hal ini juga telah menjadi kesepakatan Internasional yang mengakui hak penentuan nasib sendiri bagi Kashmir berdasarkan hak suci yang dimiliki rakyat dan harta kekayaannya.

Namun, pada selanjutnya India mengingkari kesepakatan tersebut. Tidak hanya sebatas mengingkari Piagam PBB, India juga melanggar komitmen yang disepakati bersama dibawah resolusi PBB dengan menbara terror dan pembantaian di Kashmir serta terus-menerus merusak komitmen Hak Asasi Manusia. Problem Kashmir ini terjadi juga disebabkan tidak tuntasnya permasalahan pisahnya Pakistan dari India. Sebagaimana diketahui berdirinya negara Pakistan adalah keinginan masyarakat muslim India untuk mendirikan sebuah negara sendiri, terpisah dari mayoritas Hindu yang mendominasi India.

Ketika pemisahan berlangsung mayoritas Princely State (negara kepangeranan) sub kontinen India yang berjumlah 562, secara alamiah dapat memilih kemana dirinya ke negara mana akan bergabung: India atau Pakistan. Namun, ada tiga wilayah yang sulit menentukan pilihan mengingat di ketiga wilayah tersebut antara Agama penguasa dan agama mayoritas penduduk tidak segaris.

Ketidak jelasan atas kepastian sikap itu bahkan berlanjut ketika kedua Negara terbentuk: Pakistan (14 Agustus 1947) dan India (15 Agustus 1947). Hyderabad dan Junagad (penguasa muslim tetapi penduduk Hindu) berhasil diselesaikan paksa oleh pemerintahan New Delhi agar masuk menjadi bagian India, sedangkan Jammu-Kashmir (penguasa Hindu yang penduduknya muslim) gagal menjadi bagian Islamabad (Pakistan) disebabkan adanya campur tangan New Delhi yang memberi sokongan pada penguasa Hindu di Jammu-Kashmir, Harry Singh. Problema inilah yang menjadi bara dalam hubungan kedua negara di anak benua India hingga di era milennium ketiga.

Berbagai resolusi yang diterima baik India maupun Pakistan, bahkan usul campur tangan PBB serta pemberian hak pada rakyat Kashmir untuk menentukan nasib sendiri tidakm pernah ditepati dan rakyat Kashmir tidak pernah memperoleh Hak nya untuk menentukan nasib sendiri melalui referendum. Hingga awal abad ke 21 ini rakyat Kashmir yang diduduki India senantiasa menanti penyelesaian krisis Kashmir secara damai seperti termaktub dalam resolusi PBB sebagai kesepakatan India-Pakistan, yakni referendum.

Perselisihan berkepanjangan antara India-Pakistan pada konflik Kashmir ini tidak lepas dari adanya konflik agama(Islam-Hindu) dan politik, baik di negara-negara yang bertikai maupun negara-negara lain yang punya kepentingan politik, seperti Inggris, Amerika Serikat dan Rusia.

Hingga saat ini Kashmir terus bergejolak. Pertempuran terus berlangsung, contohnya saja pada pertempuran tahun 1999 dimana para pejuang mujahid Kashmir bentrok dengan tentara India di Ganderbal, dekat Srinagar.  Sekitar delapan orang pejuang Kashmir syahid. Sementara dari pihak India, menurut pejabat dari Al Badr, bentrokan tersebut menewaskan sekitar empat orang tentara India. Gerilyawan Kashmir tersebut diduga dari kelompok Tahrik Al Badr, sebuah kelompok pejuang Kashmir yang cukup disegani. Inilah yang membuat kashmir menjadi negara yang sangat tinggi dalam permasalahan konflik, baik itu baku tembak senjata,sampai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab.

Konflik India-Pakistan merupakan konflik yang sangat berpengaruh dan mengganggu di kawasan Asia Selatan, karena konflik tersebut melibatkan dua Negara besar yaitu India dan Pakistan. Konflik India-Pakistan juga berdampak buruk bagi organisasi SAARC (South Asian Association of Regional Cooperation), yaitu organisasi internasional regional yang beranggotakan negara-negara Asia Selatan, dimana India dan Pakistan juga merupakan anggota dari SAARC. Kemelut ini akan mengganggu kemajuan dan eksistensi SAARC di masa mendatang, karena selain mereka sebagai negara-negara dominan juga sangat tidak mungkin apabila Negara-negara yang berada dalam satu organisasi terlibat konflik atau atau perang dengan negara lain sesama anggota.

SAARC mencoba untuk menjadi wadah bagi terciptanya perdamaian india dan Pakistan, disamping karena India dan Pakistan adalah anggota dari SAARC, juga dikarenakan konflik yang terjadi antara India dan Pakistan sangat berpengaruh terhadap negara-negara di Asia Selatan, tentu saja dalam hal ini media yang paling tepat untuk mendamaikan adalah SAARC. Melalui pertemuan-pertemuan antar Negara SAARC yang dilaksanakan setiap tahun, upaya penyelesaian konflik India-Pakistan terus dilakukan, walaupun sering terjadi perbedaan pendapat antar para pemimpin Negara untuk mencapai kesepakatan bersama. Keadaan ini diperparah dengan terlibatnya Negara ketiga seperti Uni Sovyet, Cina dan Amerika Serikat.

1.2  Permasalahan Penelitian

Kashmir adalah alasan utama pecahnya perang antara india-pakistan, dan berdampak bukan hanya kestabilan politik dalam negeri Kashmir, India, maupun Pakistan, tetapi juga mengganggu kestabilitasan wilayah regional itu sendiri yaitu Asia Selatan. Organisasi regional seperti SAARC (South Asian Association for Regional Cooperation) sebagai forum regional yang berfungsi memajukan kesejahteraan rakyat Asia Selatan, juga sebagai forum yang bias memfasilitasi penyelesaian masalah-masalah yang timbul akibat kondisi Asia Selatan yang tidak stabil akibat factor agama, etnis, maupun geografis. Salah satunya yaitu kasus Kashmir yang menginginkan kemerdekaan penuh dan menjadi Negara yang berdaulat utuh sangat sulit akibat factor-faktor diatas.

Oleh sebab itu, penulis ingin meneliti permasalahan mengenai Kashmir khususnya tentang upaya Kashmir memperoleh kemerdekaan dengan kedaulatan penuh, terlepas dari intervensi Negara-negara sekitarnya yang memiliki kepentingan lain.

 

1.3  Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.3.1.   Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan lebih luas bagi mahasiswa dan juga masyarakat pada umumnya tentang konflik Kashmir dan upaya Negara Kahmir itu sendiri dalam menyelesaikan permasalahannya menuju Negara yang berdaulat penuh. Selain itu makalah ini bertujuan untuk lebih membahas bagaimana gambaran umum mengenai Negara Kashmir, latarbelakang Kashmir menjadi Negara yang rawan konflik, upaya yang dilakukan Kashmir memperoleh kemerdekaan yang berdaulat, upaya SAARC itu sendiri membantu Kashmir menjadi Negara yang berdaulat, dan tidak kalah pentingnya penulis membuat makalah ini untuk memenuhi Syarat Kuliah, yaitu tugas kelompok mata kuliah Politik dan Pemerintahan Asia Selatan.

 

1.3.2.   Manfaat penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber pengetahuan kita khususnya mahasiswa Hubungan internasional, dalam mendapatkan informasi mengenai Negara Kashmir dan akar permasalahan yang terjadi di Negara tersebut.

 

1.4  Metode Penelitian

Makalah ini dibuat berdasarkan metode kepustakaan. Di dalam makalah ini pembahasan atau inti sari dari makalah ini diambil dari beberapa buku referensi yang berkaitan dengan judul makalah diatas. Serta menggunakan metode research yang diambil melalui beberapa sumber dari media internet untuk menunjang isi makalah yang akan dibahas.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Umum Negara Kashmir

Kashmir merupakan salah satu dari 560 Princely States, yang bukan merupakan daerah teritori dibawah hukum Negara Inggris tetapi berada dibawah wewenang langsung Kerajaan Inggris.[2] Ini disebabkan karena Kashmir itu sendiri memiliki ciri khas dimana didiami oleh kasta yang paling tertinggi yaitu kasta Brahma, pada tahun 274 sebelum masehi oleh para misionaris Asoka saat agama Budha muncul di daratan tersebut.  Dinasti pertama yang memimpin Kashmir yaitu dinasti Kartoka (abad ke-7), dilanjutkan oleh dinasti Utpalas, Tantrins, Yaskaras, dan Parva Gupta.  Pada tahun 1349, Shah Mir menjadi yang pertama Muslim penguasa Kashmir dan meresmikan Salatin-i-Kashmir atau dinasti Swati. Untuk berikutnya berabad-abad, raja Muslim memerintah Kashmir, termasuk Dinasti Mogul (mughal), yang memerintah dari 1526 sampai 1751, di tahun 1752 pemimpin Afghanistan yang bernama Ahmed Shah Durrani mengalahkan pasukan Mughal dan menguasai Kashmir. Perselisihan antara Muslim dan Hindu pecah, menciptakan situasi yang tidak kunjung reda dan bibit konflik di Kashmir hingga saat ini.

Kashmir memperjuangkan kemerdekaannya dari pengaruh penguasaan hindu(india) dan Islam (Pakistan) dimulai saat kongres muslim pata tanggal 19 juli 1947 mulai berani untuk menentang india untuk menjadikan Kashmir sebagai wilayah yang berdiri sendiri. Kemudian jammu dan Kashmir menjadi 2 kubu yang bertentangan yaitu antara pendukung muslim dan pendukung hindu. Ada upaya india untuk meredam konflik antar dua kubu tersebut dengan memasukkan Kashmir menjadi bagian dari wilayah india berdasarkan perjanjian Asesi pada tanggal 26 Oktober 1947, dan ini mendapatkan protes besar dari Pakistan yang menganggap perjanjian itu tidak sah.

Seperti yang kita ketahui Kashmir ini diatur oleh 3 negara yaitu india, Pakistan dan china, namun china tidak begitu kukuh mempersoalkan mengenai Kashmir. Persoalan ini terus berlanjut antara india dan Pakistan saja. Pembagian daratan yang tidak menemui kesepakatan antara india Pakistan ini membuat wilayah Kashmir makin terpuruk, faktanya setelah perjanjian itu dilakukan oleh india, Pakistan yang dipimpin oleh Mohammed Ali Jinnah membuat gerakan seperti untuk menambah kesengsaraan Kashmir dengan cara memutus suplai komiditi penting seperti garam, bahan bakar ke Jammu & Kashmir; dan juga suplai surat berharga dan sejenis uang koin kepada Imperial Bank di Kashmir, [3] ini membuat wilayah tersebut semakin memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi, serta jalan yang menghubungkan antara Kashmir dan India berada di wilayah Pakistan, maka india segara mengirimkan pasukannya ke Kashmir malalui jalur udara, dan ternyata pasukan Pakistan telah menguasai sepertiga wilayah Kashmir, sehingga terjadi gencatan senjata pada tanggal 1 Januari 1949 sehingga membuat wilayah Kashmir sebelah timur (lembah Kashmir, Jammu dan Ladakh) dijaga oleh pasukan India, sebelah Barat (dikenal sebagai ‘Azad [Bebas] Kashmir’), diawasi oleh Pakistan. Dan sampai saat ini pun wilayah tersebut masih dalam penjagaan PBB sebagai organisasi internasinal yang menjaga perdamaian dunia.

2.2 Faktor Timbulnya Konflik Khasmir

Pakistan dan India merupakan dua Negara yang memiliki kepentingan terhadap Yammu Kashmir. Hal ini terkait dengan nilai strategis yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Terkait letak geografis, Yammu Kashmir merupakan tempat yang sangat cocok untuk benteng pertahanan karena lokasinya yang terlindung oleh gunug. Begitu strategisnya wilayah ini, sehingga pada abad ke 19 pernah menjadi rebutan antara imperium Rusia dan Inggris.

Negara Yammu Kashmir disamping mempunyai arti penting untuk strategi, tetapi juga besar artinya untuk kehidupan perekonomian Pakistan. Kehidupan perekonomian atau kemakmuran Pakistan Barat tergantung kepada sungai-sungai yang berhulu di Kashmir seperti sungai Indus, Jhelem, dan Chemab. Ketiga sungai ini mengalir ke Pakistan Barat dari Kashmir, ditambah sungai Sutley dan Ravi yang berhulu di India. Jika Negara Yammu Kashmir misalnya dikuasai oleh Negara lain maka 19 juta akre tanah pertanian di Pakistan Barat yang persediaan airnya tergantung kepada sungai-sungai di atas, mungkin akan terancam karena “the economic life of Pakistan depended upon the control of these rivers”.

Kashmir juga besar artinya bagi India untuk keperluan strategi pertahanan, karena Kashmir adalah suatu wilayah perbatasan yang berdampingan dengan bangsa-bangsa besar. Untuk lalu lintas ekonomi kiranya kurang berarti karena lalu lintas penting seperti kereta api dan sungai-sungai yang menghanyutkan kayu-kayu yang merupakan bahan eksport terutama dari Kashmir semuanya menuju ke Pakistan. Ditambah pula satu-satunya jalan yang menghubungkan Kashmir dengan India dari Yammu ke Punyab Timur dalam musim dingin tak ada jalan yang dapat tetap terbuka bagi lembah Kashmir selain menuju Pakistan.

Berdasarkan factor-faktor geografis, hubungan lalu-lintas, perekonomian dan komposisi penduduknya ditambah pula penting artinya untuk kepentingan pertahanan, maka Pakistan mengharapkan Negara Yammu dan Kashmir bergabung dengan Pakistan. India pun demikian, meskipun Negara Yammu Kashmir hanya penting untuk kepentingan pertahanan. Harapan India dan Pakistan itu mengingat karena sesudah hari kemerdekaan pada 15 Agustus 1947, pengendali pemerintah Kashmir tidak memberikan petunjuk tentang pilihannya, apakah akan bergabung dengan Pakistan atau bersatu dengan India. Ini menunjukkan bahwa Kashmir ingin berdiri sendiri. Maka dapat disimpulkan, konflik di Kashmir dibagi menjadi 2 faktor umum yaitu:

a.       factor agama

Konflik yang didasari atas agama dalam konflik di Kashmir yaitu antara India dan Pakistan. Pakistan mengklaim bahwa Kashmir yang mayoritas Muslim merupakan wilayah integral Pakistan, sebab nama Pakistan sendiri merupakan gabungan beberapa etnik seperti P mewakili etnik Punjab, A mewakili etnik Afghani, K mewakili etnik Kashmiri, S mewakili etnik Sindhi, dan Tan mewakili etnik Baluchistan. Sedangkan bagi India, juga mengklaim di Kashmir terdapat komunitas Hindu yang terintegrasikan dengan India.[4]

b.      factor perbatasan

Konflik Kashmir semakin runcing manakala orang Kashmir sendiri mengartikulasikan kepentingannya dalam bentuk nasionalisme Kashmir. Kelompok ini berusaha untuk membentuk negara tersendiri, pisah dari dominasi India. Memang secara territorial, Kashmir berada di bawah otorita India, tindakan dan kebijakan pemerintah India yang cenderung represif ini memancing Pakistan memberikan perhatian. Sehingga konflik di Kashmir ini semakin runcing karena melibatkan 3 kelompok, yakni kelompok Nasionalis Kashmir yang berusaha mendirikan negara Kashmiri (JLKF, Jammu-Kashmir Liberation Front), kelompok irredentis yang pro Pakistan (HMJK, Hizbul Mujahidin Jammu-Kashmir), yang berkehendak bergabung dengan Pakistan, serta kelompok irredentis yang pro India , yang berkehendak bergabung dengan India.[5]

Dalam pandangan Drysdale[6], konflik yang terjadi karena terdapatnya daerah intersection ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan rezim kolonial yang cenderung membuat garis perbatasan antar negara secara artificial. Maksudnya rezim kolonial cenderung membuat garis perbatasan baru menurut kepentingan rezim, tanpa memperhatikan factor-faktor alamiah seperti etnis dan kondisi social budaya sebelumnya.

2.3 Upaya Kashmir Memperoleh Kemerdekaan sebagai Negara Yang Berdaulat

Dalam memperoleh hak sebagai negara yang berdaulat, Kashmir melakukan banyak upaya atau perjuangan-perjuangan menjadi negara yang lepas dari kekuasaan india maupun pakistan yang memperebutkan negaranya. Sumber tuntutan kemerdekaan Kahsmir bukan hal mudah, tetapi bersipan compleks, dan sangat rumit untuk mendapatkan kejelasan. Adapun sumber-sumber tersebut adalah:[7]

1.      Sumber primordial

Pengalaman sebagai bangsa terjajah, dan keyakinan mereka secara historis mempunyai identitas yang berbeda dengan kelompok etnik lainnya. Identitas terkenal mereka adalah Kashmiriyat (Kashmiriness), identitas yang memberikan ekslusivitas agama, bahasa, dan teritori. Apabila muslim lainnya di India menggunakan bahasa Urdu sedang orang Hindu menggunakan bahasa Hind, Kashmir menggunakan bahasa Khasmiri.Mereka merasa memiliki alasan sejarah, kultural, dan geografis (yang terisolasi).

2.      Sumber Konstekstual

a.    Sumber politik

Intervensi New Delhi yang membuat rakyat Kahsmir semakin tidak percaya, serta semakin banyaknya masyarakat Kashmir yang tidak berpendidikan. Sulitnya warga Kashmir masuk institusi militer dan lembaga pemerintahan, dan pembatasan media massa. Juga banyak tokoh politik vokal yang diintimidasi atau ditangkap seperti Syed Ali Shah Geelani m(Jama’at-i-Islam), Abdul Gani Lone (Pepople’s Conference), Maulana Abbas, Qqazi Nissar, Abdul ghani Bhat (Muslim United Front).

b.   Sumber Ekonomi

Bukan faktor utama, tetapi berpengaruh terutama dalam diskriminasi perolehan pekerjaan dan pendidikan. Kashmir justru termasuk negara yang angka kemiskinannya di bawah rata-rata India, walau daerah ini terus dilanda konflik politik.

c.    Sumber Sosial

Kebijakan beragama diskriminatif, sebagai misal Konstitusi India 1950 yang memberikan kebebasan menjalankan ibadah, sering tidak sesuai dengan juklak atau kenyataan yang ada. Sebagai contoh pembatasan kegiatan dakwah, pengkaderan dan pendidikan Islam yang dibatasi oleh pemerintah India. Kegiatan keagamaan Islam sering dibatasi karena dikhawatirkan akan merangsang konflik dengan Hindu. Kebijakan ini juga berlaku di Kashmir yang secara sosiologis berbeda dengan penduduk India di tempat lainnya.

Kebijakan lainnya yaitu kebijakan bahasa, dengan penggunaan bahasa Hindi sebagai bahasa nasional, dan bahasa Inggris dalam bahasa birokrasi atau bahasa kantor dan merupakan bahasa wajib di sekolah dianggap Kashmir sebagai ancaman terhadap bahasa Kahsmiri. Munculnya sentimen pemeluk Hindu menjelang akhir tahun 1980-an yang menuntut persatuan nasional atas dasar kebudayaan dan agama yang seragam. Kemudian muncul Shiv Sena, Bajran Dal, Vish-wa Hindu, Parishad, dan Partai Bharatiya Janata Party (BJP) yang kesemuanya bersatu di bawah Hindutva yang menginginkan Hindu dijadikan sebagai acuan pokok dalam penyelenggaraan negara.

d.      Sumber Konstruktif

Tiga kelompok sumber pejuang Kasmir

·        Para plebisit front mereka yang menentang pendudukan India, menginginkan aksesi dengan Pakistan

·        Politisi dan pejabat sipil yang tersingkir

·        Kaum muda yang idealis dan militant

Dari segi tujuan ada yang menginginkan aksesi dengan Pakistan, dan ada yang menginginkan merdeka penuh. Tujuan kemerdekaan penuh (pro-Azadi) juga terbagi dalam dua hal yakni merdeka atas dasar nasionalisme sekuler JKLF, dan merdeka atas dasar Islam. [8]

Usaha yang dilakukan oleh Kashmir dalam memperoleh kemerdekaan yang berdaulat yaitu salah satunya adanya gerakan rakyat yang sering melakukan berbagai aksi sparatis atau orasi dalam memperjuangkan kemerdekaan Kasmir. Terdapat enam kelompok penggerak nasionalisme yaitu :

1.      JKLF (Pro Azadi) : Pro kemerdekaan penuh, pimpinan Amanullah Khan

2.      Hizb-ul Mujahiddien (pro Pakistan)

3.      Al Jehad

4.      Al Barq

5.      Ikhwan ul-Musalmeen

6.      Al Umar Mujahideen

e.    Sumber internasional

Menurunnya dukungan AS kepada Pakistan, dan Uni Soviet kepada India pasca perang dingin sehingga menyebabkan konflik ini terus berlanjut, tanpa adanya kejelasan penyelesaian konflik. Maka upaya yang dilakukan Rakyat Kashmir terutama kaum muslim pun menghendaki pembaharuan-pembaharuan konstitusional dengan membentuk prganisasi-organisasi politik untuk menyatukan pandangan dan keinginan.

 

Selain dari sumber-sumber perjuangan yang dilakukan oleh Kashmir ada upaya baik itu bagi Negara yang mengklaim wilayah Kashmir sendiri seperti India, india. Upaya yang dilakukan india khususnya oleh partai yang berkuasa di india yang mengontrol Kashmir yaitu Partai Macan Nasional mengatakan kelompok itu menyiapkan jalan bagi Kashmir untuk melepaskan diri dari India dengam memberikan otonomi bagi Kashmir, ini artinya jika hal tersebut terwujud maka akan mengakhiri yuridiksi Mahkamah Agung dan Komisi Pemilihan Umum India di Jammu dan Kashmir. Konstitusi India tidak akan bisa lagi diterapkan di sana karena mereka akan punya konstitusi sendiri. Ini berarti berakhirnya kekuasaan India di Kashmir.”[9]

Namun rancangan ini hanya sebagai solusi yang ditawarkan saja tanpa adanya penyelesaian secara tuntas, karena dalam partai lainnya di india menentang dibuatnya otonomi bagi Kashmir karena mereka berpendapat hal tersebut makin membuat permasalahan menjadi runyam, karena tidak melibatkan Pakistan. Pihak pemimpin seperti Sajad Lone dari partai berkuasa di Kashmir, Konferensi Rakyat, berharap rekomendasi otonomi menjadi awal dialog baru untuk menemukan solusi akhir.

 

2.4  Upaya Aktor Non-Negara dalam membantu Kashmir memperoleh kedaulatan

Selain upaya-upaya perjuangan yang dilakukan Kashmir untuk memperoleh kemerdekaannya yang berdaulat penuh, ada peran dari actor non-negara yang turut konsen terhadap permasalahan ini. Ada dua lembaga yang ikut serta, yaitu baik organisasi regional kasawan Asia Selatan yang dikenal denga SAARC (South Asian Association for Regional Cooperation), maupun organisasi internasional seperti PBB.

Pertama akan membahas upaya SAARC dalam menyelesaikan konflik Kashmir, pertama kali alasan SAARC perlu membahas mengenai hal tersebut karena dikarenakan masalah pencitraan organisasi regional tersebut dimata internasional, SAARC tidak ingin kemajuan dan eksistensinya terganggu di masa yang akan dating akibat kemelut yang terjadi antar Negara-negara anggotanya, banyak langkah yang ditawarkan oleh SAARC dalam memediasi antara india dan Pakistan yang berujung pada konflik di Kashmir, upaya tersebut yaitu :[10]

  • Pertama kali pada pertemuan KTT SAARC yang ke sepuluh, bulan juli tahun 1998 di Colombo, Srilanka. Perdana Menteri India (PM Vajpayee) dan PM Nawaz Syarif, (PM Pakistan), setuju untuk menjalin hubungan kerjasama dan mengadakan perundingan selanjutnya di kota Lahore, Pakistan.
  • Pada pertemuan KTT SAARC yang kesebelas, bulan januari 2002 di Kathmandu,Nepal. India dan Pakistan kembali bertemu untuk membahas tentang konflik yang ada diantara mereka, tapi belum berhasil mencapai kesepakatan.
  • Januari 2004, dalam KTT SAARC yang keduabelas di Islamabad, Pakistan. India dan Pakistan sepakat untuk memulai dialog menyeluruh pada bulan februari, mereka berjanji pertemuan mereka pada akhirnya juga akan menyelesaikan sengketa Kashmir.

Sedangkan peran PBB itu sendiri dalam konflik di Kashmir mulai sejak 1 Januari 1948, masalah Kashmir menjadi permasalahan dunia internasional dibawah naungan PBB. Upaya PBB semakin optimal ketika DK PBB membentuknya United Nation Comission for India and Pakistan (UNCIP) pada 20 Januari 1948 yang anggotanya terdiri dari Amerika Serikat, Belgia dan Argentina,[11] Yang mengharuskan bahwa India dan Pakistan harus menarik pasukan, berhenti perang, mengembalikan pengungsi, membebaskan tahanan politik, serta secepatnya melaksanakan referendum atas status Kashmir. Pada 13 Agustus 1948, UNCIP mengeluarkan resolusi yang menyatakan bahwa “Pemerintah India dan pemerintah Pakistan menegaskan kembali bahwa status masa depan Jammu-Kashmir akan ditentukan sesuai dengan kehendak rakyat dan untuk mencapai tujuan tersebut, atas penerimaan Perjanjian Genjatan Senjata, kedua pemerintah menyetujui untuk memulai konsultasi dengan Komisi untuk menentukan syarat-syarat yang adil, seimbang, bebas dan terjamin”.[12]

Dalam hal ini PBB selalu berupaya untuk mengadakan resolusi yang mengatur negara-negara yang bersengketa (india-pakistan), namun tetap saja kedua negara tersebut saling tuduh menuduh telah melakukan dan melanggar resolusi yang dikeluarkan PBB, usaha-usaha laun banyak ditempuh, namun terus menerus gagal, ini akibat negara-negara menggunakan prinsip realisme dalam merebut kekuasaan, sehingga jalan menggunakan konsep seperti PBB sulit untuk benar-benar meredam kashmir menjadi negara yang berdaulat penuh.

Namun ada usaha yang memberikan manfaat bagi kashmir itu sendiri. Salah satunya yaitu, PBB berhasil meminta India dan Pakistan untuk melakukan genjatan senjata pada setiap kali India dan Pakistan terlibat perang, yaitu pada tahun 1947, 1965, dan 1971.[13] Walaupun prosesnya memakan waktu lama, setidaknya PBB juga berhasil membujuk India dan Pakistan untuk menarik pasukan militernya dari Kashmir.

 

KESIMPULAN

 

Kashmir adalah wilayah yang sampai saat ini belum mendapatkan kejelasan kemerdekaan yang berdaulat secara pasti di sistem dunia internasional, karena kashmir adalah wilayag rebutan antara india dan pakistan serta China. India tidak mengakui secara resmi wilayah yang pakistan dan China anggap itu adalah wilayahnya, sebaliknya pakistan juga tidak membenarkan kashmir adalah wilayah rebutan antara negaranya dengan india, pakistan mengklain seluruh kawasan kashmir adalah wilayah kekuasaannya. Perang kedaulatan antara india dan pakistan ini membuat wilayah kashmir menjadi rentan akan konflik, baik itu konflik senjata maupun sosial. Wilayah ini menjadi sangat amat diperebutkan oleh keduabelah pihak karena kashmir memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi untuk menambah devisa suatu negara yang menguasainya, kashmir dikenal memiliki sumberdaya alam yang banyak, panorama yang indah sehingga menambah potensi pariwisata yang berdampak pada perekonomian.

Banyak fakta lain yang membuat wilayah ini menjadi rebutan, selain contoh yang diatas, keadaan ini dipicu oleh letak geografis dimana india menang atas kashmir, sedangkan pakistan menag dari segi kependudukan yang mayoritas adalah muslim, sehingga perang antara india-pakistan memperebutkan wilayah ini semakin kompleks. Disini yang dirugikan adalah kashmir itu sendiri. Kashmir yang sejak awal kawasannya merupakan kawasan para kasta brahmana ditambah saat jajahan inggris di tanah hindustan wilayah yang kininya disebut kashmir adalah Princely States, yang bukan merupakan daerah teritori dibawah hukum Negara Inggris tetapi berada dibawah wewenang langsung Kerajaan Inggris, sehingga berhak menentukan nasibnya sendiri sebenarnya menginginkan wilayahnya independen terlepas dari kekuasaan india maupun Pakistan. Namun hal ini tidak distujui oleh Pakistan dan india.

Oleh sebab itu kasmir sebagai korban dalam perebutan wilayah yang dilakukan oleh India dan pakistam mencari jalan untuk memerdekakan wilayahnya sampai saat sekarang, banyak upaya yang dilakukan demi mencapai tujuan tersebut, namun banyak kendala tersendiri untuk mencapau hal tersebut, yaitu dari segi pendidikan, orang Kashmir tidak mendapatkan pendidikan yang layak, selanjutnya dari penggunaan bahasa, bahasa kahsmiri tidak dimasukkan kedalam pendidikan di Kashmir,dan bahasa yang ditentukan oleh Negara lain yang mengatur Kashmir adalalah bahasa hindi sebagai bahasa nasional, dan bahasa inggris sebagai bahasa birokrasinya. Ini membuat negara tersebut tidak memiliki identitas dasar untuk menjadi suatu negara. Budaya asli yang sengaja dihilangkan oleh negara-negara yang bersengketa, pembatasan aktivitas agama islam oleh pemerintahan hindu yang menguasai kashmir, dan sebagainya. Inilah alasan banyak pejuang-pejuang kashmir membuat gerakan-gerakan rakyat guna memdapatkan kemerdekaan penuh untuk memilih jalannya sendiri seperti yang dicantumkan oleh perjanjian-perjanjian yang sudah ada, contohnya JKLF (Pro Azadi) : Pro kemerdekaan penuh, pimpinan Amanullah Khan, Hizb-ul Mujahiddien (pro Pakistan), Al Jehad, Al Barq, Ikhwan ul-Musalmeen, Al Umar Mujahideen.

Selain dari perjuangan intern Kashmir, ada juga upaya yang dilakukan oleh kelompok-kelompok di india yang pro terhadap kemerdekaan Kashmir yang menginginkan adanya otonomi Kashmir terlepas dari india. Namun itu hanya sebatas solusi saja tanpa adanya implementasi yang jelas. Upaya yang dilakukan oleh actor non-negara juga tidak dapat memberikan kejelasan yang pasti tenttang kemerdekaan Kashmir secara utuh.

Jadi dapat digeneralisasikan bahwa kemerdekaan di Kashmir menjadi suatu Negara yang berdaulat masih sangat jauh, selama india dan Pakistan masih mementingkan kepentingan negaranya masing-masing di Kashmir.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Wirsing, Robert G., 1994. India, Pakistan, and Kashmir Disputes on Regional Conflict and Its Solution. England, Mac Millan,

Drysdale, 1989, Political Geogrhapy in North Africa and Middle East, Princenton : New York

Pribadi, Jubaidi. 1999. Kashmir dan Timor Timur (Peran PBB), Yayasan Pustaka Grafiksi :Jawa Barat

TESIS:

Lihat dalam John Obert Voll, Politik Islam: Perubahan dan Kesinambungan (terjemahan), Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1996. Uraian tentang makna Pakistan lebih jauh lihat dalam tesis Surwandono, , Pertumbuhan Demokrasi di Dunia Islam: Studi Demokratisasi di Iran, dan Pakistan, (Tidak diterbitkan), Pasca Sarjana UGM, 1999.

INTERNET :

http://www.commongroundnews.org/article.php, diakses pada rabu 30 Oktober 2011 pukul 19.20 WIB

http://didyouknow.org/indonesia/tahukah-anda.html diakses tanggal 30 oktober 2011, pukul 17.00 WIB

http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/07/konflik-kashmir.html, diakses pada tanggal 30 oktober 2011, pukul 17.20 WIB

 

http://www.asiacalling.org/berita/india/1077-india-touts-autonomy-for-kashmir-as-a-solution?lang=in#ja-content. Diakses pada tanggal 30 oktober 2011pukul 21.00 WIB

 

http//history of jihad.com   diakses pada 30 oktober 2011 pukul 22.00WIB

 

http://herodigeo.blogspot.com/2011/06/konflik-kashmir.html diakses pada tanggal 31 oktober 2011, pukul 12.30 WIB

 

Historical Chronology of Jammu and Kashmir State dalam http://www.kashmir-information.com/chronology.html diakses 31 Juni 2011 pukul 13.15 WIB.

 

http://diplomacy945.blogspot.com/2010/06/peran-pbb-dalam-menyelesaikan-perebutan.html, diakses pada tanggal 31 oktober 2011, pukul 13.48 WIB


[1] http://www.commongroundnews.org/article.php, diakses pada rabu 30 Oktober 2011 pukul 19.20 WIB

 

[2] http://didyouknow.org/indonesia/tahukah-anda.html diakses tanggal 30 oktober 2011, pukul 17.00 WIB

[3] Ibid.

[4] Lihat dalam John Obert Voll, Politik Islam: Perubahan dan Kesinambungan (terjemahan), Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1996. Uraian tentang makna Pakistan lebih jauh lihat dalam tesis Surwandono, , Pertumbuhan Demokrasi di Dunia Islam: Studi Demokratisasi di Iran, dan Pakistan, (Tidak diterbitkan), Pasca Sarjana UGM, 1999.

[5] Lihat dalam Robert G. Wirsing, India, Pakistan, and Kashmir Disputes on Regional Conflict and Its Solution, England, Mac Millan, 1994, hal. 98

[6] Lihat Drysdale, Political Geogrhapy in North Africa and Middle East, New York, Princenton, 1989

[7] http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/07/konflik-kashmir.html, diakses pada tanggal 30 oktober 2011, pukul 17.20 WIB

[8] http//www.history of jihad.com diakses pada 30 oktober 2011 pukul 22.00WIB

[10] http://herodigeo.blogspot.com/2011/06/konflik-kashmir.html diakses pada tanggal 31 oktober 2011, pukul 12.30 WIB

[11] Historical Chronology of Jammu and Kashmir State dalam http://www.kashmir-information.com/chronology.html diakses 31 Juni 2011 pukul 13.15 WIB.

[12] Jubaidi Pribadi, Kashmir dan Timor Timur (Peran PBB), Yayasan Pustaka Grafiksi, Jawa Barat, 1999, hal.58

YURISDIKSI PERIKANAN PADA LAUT LEPAS

Posted: November 20, 2011 in UNCLOS

Tulisan ini merupakan summary dari tulisan Maria Gavouneli yang berjudul “Fisheries Jurisdiction in the High Seas” dalam bukunya Functional Jurisdiction in the Law of the Sea, dalam chapter 8 (halaman 97-130), yang diterbitkan oleh Martinus Nijhoff pada tahun 2007 di Leiden. Adapun sasaran Maria untuk karyanya ini adalah semua kalangan yang tertarik dalam kajian tentang fungsi yurisdiksi dalam hukum laut. Oleh karena itu ia meluaskan kajian penelitiannya ke berbagai Negara di belahan dunia untuk mengkomparatifkan kekuatan yurisdikdi yang ada baik dari segala sudut pandang yang tentunya berhubungan dengan hukum laut internasional.

Meskipun navigasi dan perikanan selalu lebih tradisional dua penggunaan laut, baik kebebasan menciptakan panjang laut tinggi,banyak kesamaan dalam perlakuan yuridis mereka yang masih dangkal. Berbeda dengan navigasi, yang berkaitan dengan penggunaan yang tepat dan dengan demikian menjadi kondusif. Penangkapan ikan berkaitan dengan akuisisi dan komoditas eksploitasi yang pada kenyataanya telah terbatas. Ditambah dengan pergerakan ikan yang terus menerus. Setiap upaya regulasi tentu harus mempertimbangkan fakta bahwa penangkapan ikan oleh nelayan tetap menjadi sumberdaya alam milik bersama. .

Di sinilah letak kesulitan dalam kodifikasi dan mengembangkan hokum perikanan internasional. Kepentingan penangkapan ikan menimbulkan peluang besar yang tersedia dalam penggunaan umum sehungga menjaga zona minimal pada yurisdiksi Negara pantai. Definisi eksploitasi sumber daya pada umumnya adalah : ketika sumber daya itu dibatasi, kebutuhan untuk menyepakati prinsip-prinsip umum diterima sehingga membuat eksploitasi tersebut menjadi suatu keharusan. Ketentuan dalam eksploitasi tidak hanya menunjukkan pengelolaan sumber daya, tetapi juga pelestarian itu komoditas yang berharga untuk kepentingan sekarang dan generasi di masa depan generasi. Dalam sistem desentralisasi masyarakat internasional , setiap latihan pembuatan hukum mengalami kesulitan dan ketidakpastian sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai implementasi yang tepat dan efektif. Hukum Konvensi Laut telah berusaha untuk menghormati konsep tradisional yurisdiksi, untuk memenuhi kebutuhan yang kian meningkat, kelangsungan kebutuhan masyarakat dunia dan untuk menciptakan sebuah sistem yang mampu mengatasi tantangan yang datang di masa depan.

Pada sekitaran abad ke-20 barulah masyarakat internasional mampu mengkodifikasi hukum perikanan internasional dalam instrumen tunggal. Konvensi Jenewa tahun 1958 tentang hokum laut dan Konservasi Sumber Daya Hidup dari Laut Lepas pada merupakan puncak dari pendekatan zonal untuk manajemen perikanan dan titik balik bagi regulasi perikanan. Dalam pendekatan tradisional itu dialokasikan perikanan pesisir untuk yurisdiksi Negara pantai dalam perairan territorial. Meskipun itu disebut kepentingan khusus Negara pantai dalam konservasi sumber daya alam ke daerah-daerah berdekatan dengan teritorial laut, ia tetap menegaskan kebebasan adat nelayan dilaut lepas dalam arbitrasi Laut Bering. Akar dari keputusan ICJ keputusan terletak dalam kasus Yurisdiksi Perikanan, di mana Pengadilan menyatakan bahwa sebuah Negara bergantung pada perikanan pantai untuk pembangunan sosial-ekonomi yang dinikmati sebagai mata pencaharian dalam keadaan tertentu preferensial hak-hak akses ke sumber daya laut yang tinggi menurut hukum adat. Kedua negara memiliki kewajiban untuk memperhitungkan hak-hak masing-masing dan dari setiap tindakan konservasi perikanan, kebutuhan yang ditunjukkan ada di perairan. Ini adalah salah satu kemajuan hukum laut internasional sehingga dari intensifikasi perikanan, perlakuan sumber daya hayati dari laut lepas telah diakui dan memiliki kewajiban untuk memperhatikan hak-hak negara lain dan kebutuhan konservasi untuk kepentingan bersama. Akibatnya, kedua belah pihak memiliki kewajiban untuk tetap meninjau sumber daya perikanan di perairan yang disengketakan. Maka dari itu diperlukan langkah-langkah lainnya untuk konservasi dan pembangunan eksploitasi sumber daya secara adil. Referensi untuk terus mengakses ke dasar nelayan tradisional telah dibuat di Yaman 1999 dalam arbitrasi Batas Maritim Eritrea. Ini dipahami sebagai pembatasan kekuasaan yurisdiksi dari tetangga di atas zona maritim masing-masing dan mewajibkan mereka untuk membuat peraturan yang disepakati bersama untuk perlindungan dari rezim nelayan tradisional. Dalam hal ini juga termasuk tindakan-tindakan administratif yang diambil dari sudut pandang lingkungan yang berdampak pada hak-hak tradisional. Pembatasan kerja sama hak-hak yurisdiksi Negara pantai sepenuhnya sesuai dengan Konvensi Hukum Laut, yang melarang kebebasan mengankap ikan dengan melampirkan bagian besar dari laut lepas ke 200 mil dari zona ekonomi eksklusif dimana Negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengontrol akses, eksploitasi dan konservasi sumberdaya perikanan. Lebih dari 90% dari perikanan komersial terletak dalam ZEE di bawah yurisdiksi Negara pantai. Ini jelas bahwa runtuhnya perikanan domestik dan yang terkait eksploitasi berlebihan dari perikanan komersial dapat dengan aman disebabkan untuk kekurangan yurisdiksi domestik dengan tujuan ganda konservasi dan pemanfaatan sumber daya hidup di ZEE.

Negara pantai berkewajiban untuk mempromosikan tujuan dari pengunaan secara optimal menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC), jumlah maksimum ikan yang dapat dipanen pada zona eksklusif ekonomi. Negara pantai harus memastikan bahwa pemeliharaan sumber daya hayati laut tidak terancam oleh eksploitasi yang berlebihan. Negara pantai harus mengadopsi konservasi yang tepat dan langkah-langkah manajemennya, yang dirancang untuk memelihara atau memulihkan populasi spesies yang terancam punah sehingga tetap lestari. Ini juga termasuk kualifikasi factor lingkungan yang relevan dan faktor-faktor ekonomi, termasuk kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan pesisir dan persyaratan khusus dari Negara-negara berkembang, Dengan memperhatikan pola penangkapan ikan, saling ketergantungan dan setiap penangkapan ikan umumnya direkomendasikan standar minimum internasional, apakah sub-regional, regional atau global. Untuk itu diperlukan pertimbangan yang matang terhadap spesies dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi bagi spesies yang mana reproduksi mereka merasa terancam. Syarat dan ketentuan poliferasi membuat aturan implementasi praktis yang sulit dipecahkan. Konvensi diartiakan sebagai “inovasi yang signifikan dalam menggabungkan kebijakan yang berkaitan dengan spesies dan kebijakan konservasi dan pengelolaan”, disisi lain, batas tetap ZEE “penciptaan hukum positif pragmatis” . yuridiksi tradisional menentukan batasan konseptual: kebijakan pelestarian dan pengelolaan sumber daya hayati tetap terfragmentasi dan parsial untuk mengatais masalah global- dan melakukan kerjasama dengan sistem (pasal 61, UNCLOS, kewajiban bagi Negara pantao untuk bekerjasama, sesuai dengan organisasi internasional yang kompeten di tingkat sub regional, regional dan atau global). Negara pantai tidak diperbolehkan untuk memanen seluruh tangkapan dengan tujuan mengoptimalakn sumber daya pada wilayahnya. Negara pantai harus mematuhi dan mempertimbangkan persyaratan dan ketentuan yang mencakup “ semua faktor releven, pentingnya sumber daya hayati daerah terhadap perekonomian negara pantai yang bersangkutan dan kepentingan nasional lainnya, berdasarkan pasal 69 (tentang hak-hak pantai bersama) dan 70 (tentang hak-hak negara yang tidak berpantai), UNCLOS jauh lebih spesifik dalam upayanya mengatur kerjasama antar-negara sehubungan dengan spesies ikan yang tetap dan spesies yang berimigrasi,juga dalam ketentuan dimana pendekatan ekosistem semakin terlihat. Berbagi spesies ikan yang tidak berimigrasi dari spesies yang sama terjadi di ZEE didua atau lebih pantai Amerika, ini disebut negara pada “ menyetujui tindakan yang diperlukan untuk mengkoordinasikan pada jaminan konservasi dan pengembangan spesies ikan yang tidak berimigrasi”. Dipandang dari Yuridiksi, ini merupakan kewajiban kerjasama. Hal ini semakin menarik dalam keharusan pesisir Amerika, pada ZEE mereka “spesies ikan yang tidak berimigrasi yang sama atau spesies ikan yang tidak berimigrasi yang terkait “seperti kasuss yang terjadi: didaerah luar dan berbatasan dengan zona batas.

Dalam kasus ini, baik negara pantai dan Amerika “menangkap spesies ikan yang tidak berimigrasi didaerah yang berdekatan” terkait untuk mencapai persetujuan “baik langsung atau melalui sub regional ata regional pada langkah-langkah yang dipelukan untuk konservasi spesies ikan yang tidak berimigrasi, tidak hanya dalam ZEE, Zona Eksklusif bawah Yuridiksi negara pantai, tetapi juga yang diskeitar daerah laut lepas. Kerjasama harus ditingkaykan dalam konservasi dan mempromosikan pemaksimalan pemanfaatan spesies yang berada diseluruh wilayah, baik didalam maupun diluar ZEE. Perluasan yurisdiksi negara ke laut lepas baik secara langsunf atau sebagai agregat dari aksi komunal melalui organisasi internasional merupakan aspek baru dari fungsional yurisdiksi. Resiko dari kerjasama pemanfaatan bersama dalam organsiasi internasional adalah adanya negara-negara yang secara berpura-pura menyadari dan mematuhi peraturan untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Contohnya negara Kanada: pengumuman resmi Perjanjian Perlindungan Perikanan Pesisir seolah-olah disebabkan oleh disfungsi sistem perikanan daerah, Organsasi Perikanan Atlantik Utara, dan menimbulkan reaksi sengit oleh negara-negara ketiga, khususnya Masyarakat Eropa, memicu turbot War. Situasi semakin memanas pada tahun 1995 dengan penangkapan Estai, Kapal Pukat Spanyol, diluar ZEE Kanada. Ligitasi terjadi sebelum Mahkama Peradilan Internasional,, sebelum kerjasama dicapai pada tahun 1995 Kanada-Masyarakat Eropa setuju tentang Konservasi dan Manajemen ikan Kewajiban tindakan institusional bersama sangat penting pada laut lepas, dimana individu masing-masing negara bendera berdaulat mudah menghapus setiap upaya konservasi atau bahkan eksploitasu rasional. Eksklusivitas yurisdiksi negara pantai di ZEE, dengan adanya penegakan hokum, mendorong perikanan dunia lebih baik: antara 1992 dan 2002 penangkapan ikan dilaut lepas naik 5% sampai 11% dari hasil total, dengan lebih 30% dari itu merupakan illegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur.

Tujuan didefinisikan sangat baik, namun prakteknya masih samar. Selain ini tidak ada yurisdiksi yang berfungsi memperkuat kewajiban negara-negara yang berkuasa di laut lepas. ketentuan yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati laut lepas mengikuti pola yang sama dan tidak memberikan kenyamanan, berdasarkan pasal 118 UNCLOS, warga amerika yang terlibat dalam penangkapan ikan dilaut lepas akan masuk kedalam negoisasi dengan tujuan mengambil langkah yang diperlukan untuk konservasi sumber daya hayati tersebut, termasuk pembentukan organisasi perikanan sub-regional atau regional untuk mencapai tujuan ini. Pertanyaan tentang penegakan, tampaknya sama sekali tidak ada. Pada saat Konferensi PBB 1992 Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED), perlunya tindakan terkoordinasi diakui dan, memang, tercermin dalam bab 17 Agenda 21, di mana ayat 17,46 mereproduksi di bagian artikel yang relevan dari UNCOS dan kemudian menambahkan panggilan Negara-negara untuk memastikan pemantauan yang efektif dan penegakan hukum sehubungan dengan kegiatan penangkapan ikan. Kewajiban yang mengikat semacam ini, bagaimanapun, hanya dapat ditemukan dalam teks-teks konvensional. Upaya pertama untuk lebih menentukan hak dan kewajiban Negara mengenai perikanan laut lepas dibuat dalam konteks Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), organisasi yang kompeten untuk tujuan perikanan.

Kode Etik tentang Perikanan , merupakan dokumen yang mengikat, namun ketentuan-ketentuan Kode etik mencerminkan untuk sebagian besar prinsip-prinsip umum hukum perikanan dan dengan demikian telah memperoleh status hukum adat. Inti dari Kode etik diambil dalam pasal 6 yang menyatakan bahwa Hak untuk penangkapan ikan disertai dengan kewajiban untuk melakukannya secara bertanggung jawab sehingga untuk menjamin konservasi yang efektif dan pengelolaan sumber daya air hayati. Kode etik mencakup seluruh siklus penangkapan ikan dan berkewajiban untuk menangani individu yang terlibat dalam perikanan. Tentu, Kode etik juga membatasi kekuatan penegakan hokum. Di dalam chapter ini penulis juga memaparkan peran PBB terhadap masalah perikanan di laut lepas,terbukti dengan adanya perjanjian FAO yang sebelumnya telah disepakati. Perjanjian FAO pada tahun 1993 bertujuan untuk Mempromosikan Kepatuhan dengan Tindakan Konservasi Laut Lepas, tugas utama adalah tetap mendorong Negara untuk mencegah reflagging kapal nelayan dengan tujuan untuk menghindari kepatuhan dengan konservasi measures.

Sebuah alat jauh lebih efektif untuk pengelolaan perikanan laut lepas pada tahun 1995 yaitu Perjanjian PBB yang berguna untuk Pelaksanaan ketentuan PBB Konvensi tentang Hukum Laut 10 Desember 1982. Ini berkaitan dengan Konservasi dan Pengelolaan mengangkangi stok ikan dan sangat bermigrasi. Perjanjian global pertama berkonsentrasi pada perikanan laut lepas. Meskipun Perjanjian eksplisit mensyaratkan bahwa pendekatan kehati-hatian akan penerapan umum. Perjanjian ini berisi bahwa Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan laut lepas didirikan dan diadopsi untuk wilayah di bawah yurisdiksi nasional harus kompatibel. Hal ini diterapkan dalam rangka untuk memastikan konservasi dan pengelolaan stok ikan yang sangat banyak dan memindahkan saham ikan secara keseluruhan. Perjanjian ini dibuat untuk memperkuat kewajiban untuk bekerja sama, sebagaimana diatur dalam pasal 63 ayat 2, 63 dan 117 dari Konvensi Hukum Laut. Pemerintah Harus berusaha untuk setuju. Konvensi Hukum Laut sekarang ditransformasikan ke urutan ketat “akan mengejar kerjasama. Selanjutnya membutuhkan Konsultasi dengan itikad baik dan tanpa penundaan, terutama jika ada bukti bahwa stok ikan yang berlimpah dan stok ikan yang sering bermigrasi mungkin berada di bawah ancaman eksploitasi yang berlebihan atau di mana perikanan baru sedang dikembangkan untuk saham seperti ini . Langkah-langkah penegakan yang telah disepakati oleh pengaturan kelembagaan seperti pada saat yang sama lebih intensif dan kurang ketat dibandingkan penegakan ketentuan Konvensi Hukum Laut. Seperti dengan penegakan peraturan perlindungan lingkungan, yurisdiksi default adalah dipercayakan kepada Negara. Otoritas Negara harus bertindak secepatnya, oleh polisi dan peradilan, ini berguna untuk memastikan kepatuhan kapal-kapal yang mengibarkan benderanya dengan tindakan diadopsi oleh organisasi regional dan subregional terlepas dari mana pelanggaran terjadi.

Selain itu, sanksi yang berlaku dalam hal pelanggaran harus memadai aturan yang ketat untuk menjadi efektif dalam mengamankan kepatuhan dan untuk mencegah pelanggaran. Didalam perjanjian telah ditetapkan bahwa dalam keadaan pemeriksaan, Negara belum dapat mengadi. Dalam prakteknya, kapal yang berlabuh di pelabuhan, diperiksa oleh negara dan harus tunduk pada prosedur. Pengadilan internasional tentang Hukum Laut itu dikritik karena tidak menggunakan mekanisme rilis dalam rangka untuk lebih meningkatkan efektivitas. Kebijakan yang diambil oleh otoritas Negara memeriksa dalam penerapan peraturan memancing. Sebaliknya, dalam menangani kasus Volga yang secara langsung melibatkan penegakan konservasi dan langkah-langkah pengelolaan perikanan. ITLOS lebih digunakan dalam mengadili dan diperlukan untuk membebaskan kapal. Namun demikian, skema penegakan Perjanjian pada tahun 1995 didirikan organisasi perikanan regional (RFOs). Dalam semangat yang sama, Negara pantai dapat papan dan memeriksa di laut lepas. setiap kapal yang “ada alasan yang kuat untuk percaya” bahwa ia telah terlibat dalam penangkapan ikan yang tidak sah dalam suatu daerah di bawah yurisdiksi bahwa Negara pantai dengan persetujuan negara dan kasus pengejaran, memang berbeda dengan apa yang terjadi dengan lingkungan peraturan perlindungan di bawah Konvensi Hukum Laut, Negara tidak bisa menuntut kapal yang singgah, negara hanya dapat meminta bendera Negara untuk memberikan informasi tentang kemajuan dan hasil investigasi yang relevan, Ketentuan paling inovatif dari Perjanjian 1995 mengacu pada penegakan terhadap pelanggaran yang terjadi di laut lepas dengan cara baik advertised inspektur yang ditunjuk oleh pihak Negara kesepakatan perikanan regional, yang berwenang untuk papan dan memeriksa “Memancing kapal yang mengibarkan bendera Negara dengan Perjanjian atau tidak. Negara tersebut juga merupakan anggota dari organisasi . Namun, para inspektur tidak dapat menuntut kapal yang berlabuh itu sendri: bendera Negara harus segera diberitahu setiap tindakan tersebut dan harus bertindak dalam waktu 3 hari, baik untuk menyelidiki dan mengambil tindakan penegakan hukum sesuai atau otorisasi Negara memeriksa untuk investigate. Dalam kasus pelanggaran serius, seperti memancing tanpa licence yang valid, dimana Negara bendera telah gagal untuk menanggapi inspektur kapal untuk mengamankan bukti dan akhirnya menyebabkan bendera-Negara jurisdiction, alternatif tetapi dalam pengaturan yang lebih tradisional, kontrak kesepakatan antara pihak yang berkepentingan, seperti pada tahun 1999, Barents ‘Loophole’ laut Agreement atau bahkan Galapagos sangat kontroversial, yang menimbulkan sengketa dua cabang sebelum Internasional.

Pengadilan untuk Hukum laut dan Organisasi Perdagangan Dunia panels. Sistem kontrak jelas menganggap pengaturan kelembagaan seperti alat untuk pelaksanaan Persetujuan ini, sebuah pemahaman bahwa juga menjelaskan mengapa penegakan juga mungkin terhadap Amerika tidak berpartisipasi dalam organisasi regional: Negara persetujuan untuk terikat oleh Perjanjian cukup. Memang, peran sentral dalam memberikan penegakan RFOs mekanisme selanjutnya ditegaskan kembali dalam kewajiban langsung untuk semua pihak pada Perjanjian tidak hanya untuk menciptakan lembaga-lembaga tersebut tetapi juga untuk membangun asrama rinci dan prosedur inspeksi, operasi pada prinsip nondiscrimination. Kegagalan kemungkinan bahwa untuk daerah pemerintahan sendiri, Perjanjian menyediakan untuk sistem jatuh kembali, cukup rinci untuk menjadi operasional tanpa lebih lanjut. Dalam kenyataannya, sistem yang diuraikan dalam pasal 22 dari Perjanjian sangat dipengaruhi oleh kerja Atlantik Utara Perikanan Organisasi (NAFO), tahun 1994 Perjanjian Laut Bering dan paling komprehensif dari semua pengaturan memancing, Konvensi dan Komite Konservasi Sumber Daya Kehidupan Laut Antartika, (CCAMLR) dibuat dalam konteks Perjanjian sistem Antartika.

Organisasi perikanan regional yang telah menjamur, mungkin melampaui harapan apapun, untuk menutupi seluruh dunia dalam benar hutan akronim. Beberapa elemen ini sup alfabet lebih terkenal daripada yang lain: di antara mereka Komite Ikan Paus Internasional (IWC), Komisi untuk Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT). Meskipun kewajiban negara anggota untuk melakukannya, tidak semua organisasi regional telah mengelaborasi suatu sistem yang komprehensif dan inspeksi. Diantara penambahan terbaru untuk kelompok adalah Komite Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Tenggara Atlantik Samudera (SEAFO), yang juga spesies di laut lepas. Sepanjang ini sebuah inisiatif baru-baru ini oleh Australia, Chili dan Selandia Baru untuk pembentukan dari Wilayah Pasifik Selatan Perikanan Manajemen Organisasi (SPRFMO), yang akan hanya mencakup non-spesies migrasi yang sangat dalam laut lepas di wilayah Asia Pasifik Selatan. Inti dari Perjanjian Saham Tak terpengaruh terletak dalam pasal 8 ayat 4 yaitu : Hanya Negara-negara yang menjadi anggota organisasi tersebut atau peserta dalam pengaturan tersebut, dan yang setuju untuk menerapkan konservasi dan pengelolaan langkah-langkah yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan, harus memiliki akses ke sumber daya perikanan yang menerapkan langkah-langkah tersebut. Dengan demikian kebebasan nelayan tradisional menjadi syarat terpenuhinya bersama tindakan lembaga-lembaga internasional dan untuk semua orang-orang non anggota.

Oleh karena itu untuk menjauhkan diri dari penangkapan ikan di perairan terdapat konservasi dan langkah-langkah manajemen yaitu menurut pasal 33 dari Perjanjian 1995. Kewajiban yang ditujukan kepada negara-negara anggota: 1. Negara-negara Pihak wajib mendorong non-pihak untuk Perjanjian ini menjadi pihak dalam perjanjian tersebut dan untuk mengadopsi undang-undang dan peraturan yang konsisten dengan ketentuan-ketentuannya. 2. Negara pihak harus mengambil tindakan sesuai dengan Persetujuan dan hukum internasional untuk mencegah aktivitas kapal-kapal yang mengibarkan bendera non-partai yang merusak pelaksanaan yang efektif dari Persetujuan ini. untuk mengundang anggota dari komunitas internasional untuk berpartisipasi dalam kelembagaan, negara harus mengimbanginya dengan akses perikanan. Tidak ada yang salah bagi penalaran Amerika yang sudah berpegang pada perjanjian 1995 (sebuah organisasi perikanan regional) mereka harus diserahkan kepada sistem pertukaran yurisdiksi berdasarkan keunggulan yurisdiksi bendera Negara, dalam tradisi dari hukum laut. namun, untuk pihak ketiga, tidak diperbolehkan mereka menyetujui setiap tindakan konservasi atau pengelolaan,Aturan adat, seperti yang dikodifikasikan dalam pasal 34 dari Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Treaties. Hal ini dapat dikatakan bahwa Perjanjian 1995 merupakan penjabaran lebih lanjut prinsip-prinsip yang tercantum dalam Hukum Laut Convention. Kardinal antara mereka adalah prinsip kerjasama, diabadikan dalam artikel 117 dan 118 dari Konvensi Hukum Laut, yang memberlakukan kewajiban Negara-negara untuk bekerja sama melalui organisasi regional sebagai ‘konsekuensi alami’. Akses eksklusif ke perikanan dicadangkan untuk negara anggota bagi organisasi regional dalam pasal 8 ayat 4 Persetujuan 1995 dan kewajiban yang tertulis bukan untuk Negara anggota. “tidak mengizinkan kapal yang mengibarkan benderanya untuk terlibat dalam operasi penangkapan atau stok ikan yang sering bermigrasi, agar tunduk pada konservasi dan pengelolaan langkah-langkah yang ditetapkan oleh organisasi tersebut. Sebuah pendekatan yang benar akan menunjukkan kepada konsensus umum bahwa Perjanjian 1995 bukan merupakan kesepakatan implementasi untuk Konvensi. Secara eksplisit sehingga dinyatakan dalam pasal 1 ayat 2 (a) Perjanjian ini, yang mereproduksi yaitu ditemukan dalam pasal 1 ayat 2 (2) dari Konvensi Hukum Laut dan dalam pasal 2 ayat 1 (g) Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Negara-negara pihak dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1995 akan terus menjalankan yurisdiksi bagi kapal bendera Negara yang diperbolehkan melakukan penangkapan ikan di laut lepas.

Mereka terus beroperasi di bawah kebebasan aturan adat mereka memancing dalam bentuk murni. Apa yang kemudian akan terjadi pada sebuah kapal yang mengibarkan bendera suatu Negara non-partai, yang tertangkap di kawasan konservasi perikanan disebut melanggar apa yang setidaknya menjadi kewajiban Negara bendera untuk membatasi operasi kapal, secara eksplisit dinyatakan dalam pasal 17 dari 1995 “ Jika Negara bendera adalah anggota untuk Perjanjian 1995 atau bahkan Konvensi Hukum Laut, maka tugasnya adalah bekerjasama dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya laut tersebut. Pelanggaran pasti dilakukan oleh Negara bendera baik terhadap masyarakat dunia pada umumnya mengenai adat kewajiban untuk bekerja sama dalam tindakan konservasi atau terhadap Negara untuk suatu Daerah Perikanan Organisas regional . Di sisi lain, benar bahwa yurisdiksi eksklusivitas Negara bendera di laut lepas, termasuk daerah yang berada dalam ruang lingkup aplikasi organisasi perikanan regional, yang hanya dapat menghasilkan aturan hukum internasional yang memungkinkan intervensi pada kapal atau persetujuan dari Negara yang bersangkutan.

Kedatangan kapal memungkinkan intervensi pada kapal asing berbendera berdasarkan pasal 110 dari Undang-Undang Konvensi laut, satu-satunya dasar hukum lain yang mungkin untuk tetap interdiksi persetujuan dari Negara bendera. Persetujuan tersebut dapat ditemukan dalam perjanjian multilateral dan bilateral untuk memberantas lalu lintas gelap narkotika, telah berpendapat bahwa dalam kasus intervensi tersebut harus ditafsirkan bukan sebagai penggunaan non kekuatan melainkan sebagai penggunaan dilarang non kekuatan oleh persetujuan operasi. Bahkan jika kemungkinan penanggulangan terjamin, masalah lain adalah siapa yang memiliki kekuasaan untuk mengambil tindakan pencegahan tersebut. Kedua kewajiban umum untuk bekerjasama dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya laut hidup di bawah Konvensi Hukum Laut dan jauh lebih spesifik kewajiban untuk mematuhi persyaratan teknis dan ketentuan yang diberlakukan oleh daerah perikanan organisasi regional milik sekelompok Negara.

Dinilai berdasarkan kasus perkasus, dengan memperhatikan objek dan tujuan utama dan fakta-fakta dari setiap kasus. Kesulitannya terletak pada kenyataan bahwa masalah dalam kasus perikanan tidak mudah mempengaruhi Negara lain, melainkan memiliki efek langsung pada semua anggota organisasi regional. Akibatnya, masing-masing Negara dapat mengambil tindakan penanggulangan terhadap Negara yang bertanggung jawab untuk itu. Tindakan tersebut secara internasional mungkin mengacu pada masalah prinsip yang berguna untuk memastikan penghentian pelanggaran dan reparasi dalam kepentingan Negara atau penerima manfaat wajiban melanggar . Harus ada perbedaan dalam praktek diintensitas yang diambil oleh Negara-negara secara langsung terkena dampak’ dan mereka yang mungkin memiliki kepentingan umum dalam melihat sistem manajemen perikanan work. Yang akan diterjemahkan ke dalam dikotomi reaksi di mana secara langsung Negara yang terkena dampak penangkapan kapal sedangkan Negara ketiga hanya akan mengambil tindakan lain, seperti melarang pelabuhan penangkapan ikan dalam pelabuhan atau seperti sanksi ekonomi lainnya meskipun terus berkembang praktek di bidang hukum perikanan.

Meskipun negara anggota langsung atau mengendalikan perilakunya, tetap berada di luar konsep penanggulangan harus ditangani. Mengingat sifat fluida penegakan perikanan, sangat sulit melakukan negoisasi setiap kali kapal tertangkap sedang menangkap ikan ditempat yang tidak. Dari kejauhan, sistem regulasi perikanan terlihat baik dikembangkan dan komprehensif. Hukum Konvensi Laut menegaskan kembali kebebasan menangkap ikan di laut lepas tapi sudah menciptakan kewajiban kerjasama antara negara pantai , Amerika tertarik untuk mengangkangi ikan yang berada di tempat dan cadangan ikan yang sering bermigrasi di wilayah “di luar dan berbatasan dengan zona di bawah yurisdiksi Negara pantai. kewajiban kerjasama selanjutnya diperkuat dalam Perjanjian 1995, Memang, terlihat begitu rapi sistem dan tujuan eksploitasi perikanan yang berkelanjutan dan berbagai macam masalah lingkungan sehingga layak untuk menciptakan kesan bahwa perlindungan yang memadai memang masyarakat internasional harus puas dengan hasilnya. Namun, perikanan di seluruh dunia terus menurun dramatis. sering melanggar aturaan , yang meninggalkan celah dalam kerangka hukum preskriptif memancing atau, paling banter, menumbangkan efektivitas masing-masing. Saran baru untuk aplikasi paralel lama dan baru, konvensi khusus dan umum menambah keributan baru-baru ini keterlibatan Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka Fauna dan Flora Liar (CITES) dalam hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan spesies air komersial yang dieksploitasi. Ketidakpastian berikutnya untuk isi hukum dan ketidakamanan implementasi yang tepat masih jauh dari kaskade rapi dijelaskan di atas. Sistem internasional tetap aman didirikan pada Negara sebagai unit legislatif dan pengawasan bahwa Amerika menyatakan pengakuan terhadap aturan-aturan tertentu tidak cukup. Untuk mempertimbangkan ini sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional, dan sebagai berlaku seperti itu kepada orang-orang Amerika. Terikat pada Pasal 38 Statuta untuk berlaku, antara lain, kebiasaan internasional sebagai bukti dari prinsip umum yang diterima sebagai hukum.

Nicolo Machiavelli

Posted: Juni 10, 2011 in politik

Nicolo Machiavelli lahir di Florence, Italia tahun 1469. Machiavelli menghabiskan masa mudanya sebagai seorang diplomat dan administrator di Florence. Meskipun tidak mencapai jenjang duta besar, namun ia telah berhasil menjalankan beberapa misi diplomatic dan urusan-urusan milliter. Ketidakberuntungannya terletak pada ketika jatuhnya republic Florentina ketangan keluarga Meidici. Machiavelli diusir paksa keluar dari posisinya. Machiavelli berpendapat bahwa rezim mempunyai 2 tipe yaitu Principality (kepangeranan) dan republic. Karya Machiavelli yang berjudul The Prince dan Discourses, berisi mengenai dua paham yang berbeda paham yang berbeda.

Pendapat Machiavelli itu lahir dari hasil renungannya. Saat merenung, ia bertanya-tanya: mengapa penguasa bisa runtuh? Semakin mencari jawabnya, kian penasaran Machiavelli. Konon, Machiavelli menemukan jawabannya: negara akan aman dan bertahan lama, bila penguasa kuat. Untuk itu, penguasa tidak cukup hanya berwatak pemberani, gagah perkasa, apalagi hanya mengandalkan nasib mujur. Ia harus penuh perhitungan dan lihai menggunakan segala kesempatan.

Jelas jadinya, menurut Machiavelli, tujuan utama berpolitik bagi penguasa adalah mengamankan kekuasaan yang ada pada tangannya. Baginya, politik dan moralitas merupakan dua bidang yang terpisah, dan tidak ada hubungan satu dengan yang lain. Dalam urusan politik, tidak ada tempat membicarakan masalah moral. Hanya satu hal yang penting ialah bagaimana meraih sukses dengan memegang kekuasaan. Kaidah etika politik alternatif bagi Machiavelli adalah: tujuan berpolitik adalah memperkuat dan memperluas kekuasaan

Fokus Machiavelli adalah bagaimana kekacauan itu dapat diakhiri. Il Principe mau memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana seorang penguasa dapat memantapkan kekuasaannya dan dengan demikian menciptakan dasar untuk membangun negara yang kukuh.

Yang kedua adalah buku Machiavelli yang kedua, Discorsi, yang baru terbit sesudah ia meninggal. Dalam buku tersebut menjadi jelas apa yang sebenarnya menjadi motivasi Machiavelli: mengembalikan kekuatan dan kedaulatan Italia dan untuk itu ia mengacu pada keperkasaan Republik Roma kuno.

Minat Machiavelli yang sebenarnya bukanlah kemantapan kekuasaan penguasa, melainkan kemantapan negara republik yang hanya dapat dibangun sesudah kekacauan berakhir. Agar negara menjadi mantap, rakyat sendiri harus mantap, harus berpartisipasi dalam mengurus negara. Kekuatan negara tidak tergantung hanya dari kemampuan penguasa, melainkan juga dari kemampuan rakyat.

Akan tetapi, banyak penguasa yang salah kaprah dalam memahami karya Machiavelli itu. Bahkan, buku Machiavelli dianggap sebagai buku pegangan para diktator, sebut saja Adolf Hitler, Stalin, Lenin, dan juga Benito Mussolini dalam mempertahankan kekuasaannya. Yang banyak dipegang hanyalah bagaimana mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara: entah itu dengan teror, dekrit, maklumat, mengerahkan massa, memaklumkan keadaan darurat, pemerintahan tangan besi, dan lain sebagainya.

Yang penting, kekuasaan tetap di tangan entah apa akibatnya bagi bangsa dan negara! Kekuasaan adalah kekuasaan!

Gambaran seperti itulah yang akhir-akhir ini kita saksikan di negeri ini. Zaman Machiavelli sudah berlalu, memang. Akan tetapi, “warisan” gagasan masih tetap hidup. Machiavellisme menisbikan nilai etis dalam kehidupan politik. Itulah sebabnya, (seorang) penguasa dapat saja memutuskan dan melanggar ucapannya, janjinya, dan sumpahnya yang disampaikan kepada rakyatnya demi terwujudnya keinginan diri, kemuliaan diri!.

Berikut adalah petikan-petikan dari The Prince dan The Discourse

 

The Prince

Dalam The Prince, Machiavelli menyarankan pangeran untuk berbuat apapun yang diperlukan bagaimanapun tercelanya perbuatan tersebut, karena menurutnya pada akhirnya rakyat hanya peduli pada hasilnya saja. Dalam buku ini Machavelli menjabarkan apa saja hal-hal yang menyebabkan seseorang khususnya penguasa dipuji dan dihujat, mana yang lebih baik antara dicintai atau ditakuti dan bagaimana para penguasa perlu memegang janji-janji mereka.

Seorang penguasa menurut Machiavelli, tidak mengerjakan apa yang bias dikerjakan namun bersikeras melakukan apa yang seharusnya dikerjakan.. seandainya penguasa selalu menginginkan atau bertindak secara terhormat dan dikelilingi oleh banyak orang yang tidak jujur, maka kejatuhan sipenguasa tidak akan terelakkan. Oleh karena itu, para penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaanya harus siap untuk bertindak amoral ketika dibutuhkan. Menuru Machiavelli seorang penguasa memiliki posisi penting. Mereka dipuji atau dihujat karena memiliki beberapa kualitas. Ada penguasa yang senang member dan ada yang serakah, ada yang cerdik, dan sebagainya. Tetapi karena penguasa tidak mungkin mempunyai keseluruhan dari sifat-sifat tersebut dan juga tidak ada manusia yang sempurna, oleh karena itu penguasa harus cukup bijak untuk mengetahui bagaimana agar tidak terkenal dengan berbagai ketercelaan yang akan menghancurkan kekuasaannya. Penguasa harus mencoba menghindari ketercelaan yang berbahaya bagi politik, atau jika tidak mampu untuk melakukan hal ini maka akan menimbulkan sedikit kekhawatiran.

Dalam buku Sang Penguasa, buku yang dibuat Niccolo Machiavelli untuk penguasa Florence, Lorenzo De’Medici yang sedang berkuasa pada waktu itu. Buku ini berupa surat yang panjang berisi petunjuk bagaimana menjadi raja yang berkuasa, dan disegani oleh penduduk, serta nasihat-nasihat bagaimana usaha untuk mempertahankan kekuasaan. Pada dasarnya, menurut Machiavelli seorang raja boleh melakukan apa saja atau dengan kata lain menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan melanggengkan kekuasaan. Pendapat Machiavelli ini bertolak dari kondisi riil tingkah laku politik anggota masyarakat masing-masing negara yang telah diamati oleh Machiavelli.

Tujuan dari semua usaha penguasa itu adalah mempertahankan stabilitas suatu negara agar negara tetap aman dan apabila ada ancaman baik itu dari dalam maupun dari luar negeri maka diadakan tindakan penyelamatan. Tindakan yang diambil oleh penguasa tidak berdasarkan kepentingan rakyat. Akan tetapi, tergantung dari keadaan dan desakan situasi sosial tanpa mempedulikan apakah tindakan tersebut dinilai baik atau buruk oleh rakyat. Seorang penguasa tidak perlu takut akan kecaman yang timbul karena kekejamannya selama ia dapat mempersatukan dan menjadikan rakyat setia, dan demi keselamatan negara. Menurut Machiavelli seorang penguasa jauh lebih baik ditakuti oleh rakyatnya daripada dicintai.

Dalam usaha menegakkan kekuasaannya seorang penguasa dapat melakukan tindakan yang mengabaikan penilaian moral dari masyarakat, seperti misalnya keluarga dari penguasa sebelumnya harus dimusnahkan semua untuk mencegah terjadinya pemberontakan di kemudian hari. Hal itu harus dilakukan penguasa atas desakan dan tuntutan situasi dalam menguasai suatu wilayah baru agar ancaman terhadap kekuasaan wilayah tersebut lenyap, setelah itu baru menarik simpati rakyat agar mendapatkan dukungan. Cara lain untuk mengamanan kekuasaannya diwilayah baru adalah penguasa baru harus tinggal di wilayah tersebut, mendirikan koloni-koloni, dan menempatkan pasukan serta infanteri dalam jumlah yang besar. Wilayah baru dapat diperintah oleh penguasa penggantina tanpa adanya pemberontakan walaupun penguasa baru tersebut telah meninggal bila diperintah dengan bersatu dan para bangsawan tetap diberi kekuasaan di wilayah mereka dimana mereka diakui dan dicintai. Jadi tugas penguasa adalah mengamankan kekuasaan yang ada ditangannya agar dapat bertahan dengan langgeng. Tujuan berpolitik adalah memperkuat dan memperluas kekuasaan. Untuk itu segala usaha yang dapat mensukseskan tujuan dapat dibenarkan. Legitimasi kekuasaan membenarkan segala teknik pemanipulasian supaya dukungan masyarakat terhadap kekuasaan tetap ada. Keagungan seorang penguasa tergantung pada keberhasilannya mengatasi kesulitan dan perlawanan.

Selain itu, untuk melanggengkan kekuasaannya seorang penguasa harus mempunyai hukum dan angkatan perang yang baik. Hukum tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya angkatan perang yang baik. Machiavelli dalam bukunya ini tidak membahas masalah hukum, ia hanya membahas masalah angkatan perang saja. Angkatan perang merupakan landasan seorang penguasa untuk mempertahankan negaranya. Angkatan perang yang dimaksud adalah tentara sendiri bukan tentara bayaran atau tentara bantuan, karena tentara bayaran dan tentara bantuan tidak ada gunanya, mereka tidak disiplin dan tidak setia. Penguasa yang tidak mempunyai tentara sendiri hanya mengandalkan nasib mujur saja, karena tidak mempunyai sarana yang dapat diandalkan untuk mempertahankan negara pada masa-masa sulit. Tentara sendiri adalah tentara yang terdiri dari rakyat atau warga negara atau orang-orang yang dikuasainya. Penguasa harus mempelajari perang dan organisasinya serta cara mendisiplinkan pasukannya.

Seorang penguasa yang bijaksana tidak harus memegang janji apabila akan merugikan diri sendiri dan tidak ada alasan yang mengikat. Seorang penguasa tidak akan kehabisan alasan untuk menutupi tipuannya dan keliohatan seolah-olah baik. Dalam usaha mempertahankan wilayah kekuasaan biasanya penguasa membangun benteng pertahanan, akan tetapi benteng-benteng ini bisa berguna bisa juga tidak tergantung dari keadaan. Benteng dapat bermanfaat dan dapat juga merugikan. Akan tetapi, benteng terbaik adalah menghindari jangan sampai dibenci oleh rakyat. Seorang penguasa yang bijaksana mampu melihat dan membaca situasi yang mengancamnya dan memperkecil bahaya yang dapat ditimbulkannya. Ada tiga macam kebijaksanaan. Pertama, dapat memahami masalahnya sendiri, kedua menghargai pemahaman orang lain, dan yang ketiga tidak memahami masalah sendiri dan tidak menghargai pemahaman orang lain. Dari ketiga hal itu, yang terakhir merupakan sikap yang buruk.

Seorang penguasa juga harus dapat memilih menteri yang baik, yaitu menteri yang memikirkan dan mementingkan urusan penguasa dan negara. Penguasa harus menjalin hubungan yang baik dengan menterinya dan saling mempercayai. Selain itu, penguasa harus menyingkirkan para penjilat yang mengelilinginya dengan cara tidak marah apabila ada orang yang mengatakan hal yang sebenarnya. Darimanapun datangnya nasihat yang bijaksana, tergantung dari kebijaksanaan penguasa, dan kebijaksanaan sang penguasa tidak tergantung pada nasihat yang baik.

The Discourse

Dalam The Discourse (1519) Machiavelli menjabarkan mengenai jenis-jenis Negara, dan bagaimana dalam kota-kota yang korup sebuah pemerintah bebas dapat dipertahankan serta kekuatan dari masyarakat. Dari 6 tipe pemerintahan yang banyak ditulis oleh pemikir-pemikir Negara sebelumnya, 3diantaranya adalah pemerintahan yang baik menurut mereka yaiut Principality, Aristocraty, dan Democracy. Menurut Machialvelli bentuk-bentuk pemerintahan tersebut mudah sekali utnuk berubah dari satu bentuk kebentuk yang lain. Principality (kepangeranan) mudah berubah menjadi tirani, Aristocracy berubah menjadi oligarki dan Democracy tanpa banyak kesulitan berkonvensi menjadi anarki. Jadi, jika sebuah persemakmuran yang didasarkan atas 3 bentu pemerintahan tersebut, maka apa yang disusun tidak bersifat kekal melainkan sementara.

Berbeda dalam The Prince, Machiavelli dalam The Discourse berpendapat baheaketika rakyat memegang kekuatan dan tertata dengan baik, maka mereka akan stabil, arif an tahu terimakasih. Disisi lain, seorang pangeran yang meremehkan hokum-hukum akan jauh lebih tidak tahu berterimakasih, mudah berubah dan tidak arif terhadap rakyat. Machiavelli berpendapat bahwa bukannya tanpa alas an kuat sehingga suara rakyat dimiripkan dengan suara Tuhan, karena menyangkut masalah kearifan dan stabilitas, rakyat lebih stabil dan membuat pertimbangan yang lebih masuk akal daripada pangeran. Menurutnya, opini publik sangat kuat dalam peramalan sehingga seolah-olah rakyat mempunyai kekuatan yang tersembunyi sehingga dapat mendeteksi keburukan dan kebaikan yang akan menimpa mereka.

Alas an kenapa kebanyakan orang berburuk sangka kepada rakyat adalah karena siapapun bias berbicara buruk tentang rakyat secara terbuka tanpa rasa takut, meskipun yang sedang berkuasa adalah rakyat. Sedangkan terhadap seorang pangeran, orang-orang akan berusaha untuk menahan diri dan takut untuk berbicara buruk tentang pangeran.

 

Kesimpulan

Dalam bukunya Sang Penguasa ini, Niccolo Machiavelli memberikan petunjuk bahwa untuk menjadi seorang penguasa boleh melakukan segala cara. Ia juga memberikan nasihat bagaimana menjadi seorang penguasa yang dapat mempertahankan kelanggengan kekuasaannya dengan mengabaikan penilaian moralitas dan agama. Machiavelli memisahkan antara kekuasaan negara dengan kehidupan beragama dan kepentingan moral. Ia hanya membahas bagaimana mencapai tujuan yaitu kekuasaan apapun caranya.

Beberapa bukti terhadap anggapan bahwa Machiavelli adalah orang yang kejam, sadis dan tidak bermoral : yang pertama Machiavelli berpendapat bahwa ada dua macam kerajaan, yaitu kerajaan warisan dan kerajaan baru. Akan tetapi di antara dua kerajaan tersebut kerajaan barulah sering menimbulkan masalah karena banyak menimbulkan kesan yang buruk seperti untuk menguasai daerah baru, keluarga raja yang dulu berkuasa harus ditumpas habis agar tidak menimbulkan pergolakan . Kedua perlu diadakan tindakan-tindakan yang keras pada rakyat sehingga menimbulkan penderitaan yang besar bagi rakyat itu. Dengan tujuan supaya rakyat tidak melawan kepada penguasa tersebut. Menurut Machiavelli penguasa baru itu haruslah membuat suatu penderitaan yang besar bagi sebagian rakyat. Ketiga apabila suatu negara yang baru saja direbut , dan rakyatnya sudah terbiasa hidup bebas dan mengikuti hukum, maka cara yang lebih baik untuk mempertahankan kekuasaan adalah menghancurkan kota itu, karena kalau tidak, maka sang penguasa akan mengalami kesulitan dan bukan tanpa disadari ia akan hancur sendiri. Keempat ada ada dua cara untuk menjadi penguasa di wilayah baru, yaitu melalui kemampuan sendiri dan karena faktor nasib mujur

Menurut Machiavelli, bahwa ada dua cara berjuang yaitu melalui hukum dan kekerasan cara pertama bagi manusia dan cara yang kedua adalah cara binatang. Oleh karenanya seorang raja harus bersikap kadang-kadang sebagai manusia manusia dan kadang sebagai binatang, tak ubahnya seperti rubah dan singa. Dalam hal menepati janji, menurut Machiavelli manusia adalah mahluk yang jahanam yang tidak menepati janji, sehingga anda tidak perlu menepati janji pada manusia itu. Kemudian untuk pertahanan negara ia terpaksa bertindak berlawanan dengan kepercayaan orang, belas kasih, kebaikan, dan agama mengetahui bagaimana ia bertindak jahat jika diperlukan. Sementara itu cara untuk menghindari kebencian pada rakyat, maka seorang raja harus menunjuk orang lain untuk melaksanakan tindakan yang kurang menyenangkan rakyat, dan untuk melakukan sendiri pembagian penghargaan kepada rakyat. Sekali lagi penguasa harus tetap menghargai para bangsawan, tetapi tidak membuat dirinya dibenci rakyat.

Dengan demikian bukti-bukti tersebut dapat digolongkan pada penafsiran bahwa Machiavelli digolongkan sebagai orang yang jahat di sebagian orang, yang menilai sisi buruknya saja dari buku Principe II ini, tetapi menurut sebagian orang mengatakan bahwa Machiavelli tidak sejahat itu, didasarkan atas bukti-bukti di dalam buku Principe II, antara lain:
a. Mengenai kekejaman, menurut Machiavelli dapat dilakukan dengan cara yang baik atau tidak baik. Kekejaman itu bisa digunakan dengan baik jika hal tersebut dilakukan sekali, demi keselamatan seseorang atau negara. Oleh karena dengan cara itu kekuasaannya akan bertahan lama. Walaupun penguasa mengalami kesulitan, raja tidak boleh kejam, karena kebijaksanaan yang telah ditunjukkan raja pada rakyatnya. Kebaikan raja tersebut akan dipandang sebagai sesuatu yang tidak tulus atau hanya sebatas lip service.

b. Menurut Machiavelli sebelum melakukan tindakan keras ia menganjurkan pengadilan sipil di tengah propinsi untuk mengadili rakyat yang melanggar hukum. Setiap kota mempunyai perwakilannya di pengadilan tersebut.

c. Penguasa harus memelihara persahabatan dengan rakyat, karena kalau tidak ia tidak mempunyai teman yang dapat memberikan bantuan pada waktu negara dalam keadaan perang.

d. Raja tidak perlu khawatir disebut kejam, karena kekejaman itu diperlukan guna keselamatan negara. Hal itu didasarkan kalau dia berbuat baik justru akan membawa kehancuran. Sementara kalau dia menampakkan kejahatannya justru akan mendatangkan keamanan dan kemakmuran.

e. Negara yang diperintah dengan baik dan raja yang bijaksana selalu berusaha untuk membuat para bangsawan berputus asa, dan berusaha memakmurkan dan membahagiakan rakyatnya. Hal itu merupakan usaha penting yang harus dilakukan seorang raja. Dengan demikian raja tidak perlu khawatir dengan adanya pembangkangan. Rakyat tidak akan membangkang jika rakyat mencintai rajanya.

f. Hal yang membuktikan Machiavelli tidak sejahat yang dibayangkan orang adalah adanya seruan untuk peduli terhadap rakyat, karena kalau raja tidak perduli dengan rakyat maka raja akan dibenci oleh rakyatnya.

g. Selain itu Machiavelli juga menyarankan agar raja memperhatikan dan percaya terhadap orang-orang yang berbakat, dengan memberikan motivasi dan penghargaan terhadap orang itu.

Dengan cara ini roda kehidupan akan berjalan dengan tenang, sehingga akan tercipta kemakmuran di tengah-tengah masyarakat. Pada akhirnya Machiavelli menyarankan raja agar membebaskan Italia dari penguasa Barbar. Untuk itu diperlukan pasukan rakyat diseluruh wilayah Italia untuk menghadapi bangsa Barbar. Oleh karena dengan menggunakan fasilitas itu pasukan sendiri akan menjadi lebih baik. Mereka lebih setia dan mudah dipersatukan, dipimpin dan diurus oleh raja. Dengan demikian keadilan akan bisa diwujudkan di wilayah Italia di bawah suatu kepemimpinan. Hal itu diperjuangkan melalui perang, karena harapan hanya dapat diperoleh melalui perang, dan perang itu suci.

Referensi

David, Apter. Pengantar Analisa Politik.  LP3ES. Jakarta. Cetakan ke-4. 1996.

Deliar, Noer. Pemikiran Politik Barat. Gramedia: Jakarta. 1998

Maciavelli Niccolo. Il Principe. Gramedia. Jakarta. 1999

 

Polarisasi Politik Internasional

Posted: Juni 9, 2011 in politik

BAB I

PENDAHULUAN

Bipolar dalam politik dunia yang ditandai dengan keberadaan dua great power merupakan perimbangan yang memberikan stabilitas sistem internasional dalam durasi cukup lama. Hal ini bila menandakan bipolar terjadi tahun 1945 setelah berakhirnya Perang Dunia dan berakhir seiring dengan runtuhnya Uni Soviet tahun 1990. Perlu untuk diingat meskipun dalam kurun waktu tersebut tidak terjadi perang besar namun terdapat perang-perang kecil yang disponsori dan melibatkan dua kekuatan besar ketika itu.

Selanjutnya, unipolar dengan munculnya A.S sebagai kekuatan tunggal setelah Perang dingin dapat dikatakan merupakan masa transisi menuju pergeseran balance of power munuju multipolar. Superioritas dari A.S dalam menjaga balance of power dalam bentuk unipolar tidak dapat bertahan lama. Hal ini disebabkan munculnya ancaman keamanan kontemporer dan kehadiran major power di kawasan yang tidak sepaham dengan A.S. Keadaan ini mendorong kembali terjadinya pergeseran balance of power menjadi multipolar.

Oleh sebagian penstudi hubungan internasional balance of power dalam bentuk multipolar disinyalir sebagai perimbangan yang ideal dalam politik dunia. Ideal dalam artian tidak adanya negara dengan kekuatan yang terlalu dominan dalam sistem sehingga stabilitas sistem terjaga lebih langgeng. Keberadaan lebih dari dua great power akan mengahadirkan kesempatan bagi negara untuk bekerjasama membentuk tatanan perimbangan kekuatan yang lebih inklusif.

Pendapat lain mengatakan di dalam sejarah, multipolar dalam sistem internasional merupakan benih terjadinya perang dalam skala besar. Perang Dunia I terjadi disebabkan bentuk multipolar dalam bentuk Concert of Europe yang tidak dapat lagi menyokong stabilitas perimbangan kekuatan. Ketidakmampuan bentuk multipolar dalam menjaga stabilitas sistem disebabkan banyaknya negara dalam balance of power dengan kekuatan yang setara. Bila terdapat lebih dari dua negara dengan kekuatan yang setara maka perimbangan akan runtuh disebabkan hilangnya kekuatan penyeimbang dalam sistem.

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. 1.      Polarisasi Politik Internasional

Polaritas dalam Hubungan Internasional merujuk pada penyusunan kekuasaan dalam sistem internasional. Konsep tersebut muncul dari bipolaritas selama Perang Dingin, dengan sistem internasional didominasi oleh konflik antara dua negara adikuasa dan telah diterapkan sebelumnya. Sebagai akibatnya, sistem internasional sebelum 1945 dapat dideskripsikan sebagai terdiri dari banyak kutub (multi-polar), dengan kekuasaan dibagi-bagi antara negara-negara besar. Runtuhnya Uni Soviet pada 1991 telah menyebabkan apa yang disebut oleh sebagian orang sebagai unipolaritas, dengan AS sebagai satu-satunya negara adikuasa. Beberapa teori hubungan internasional menggunakan ide polaritas tersebut. Keseimbangan kekuasaan adalah konsep yang berkembang luas di Eropa sebelum Perang Dunia Pertama, pemikirannya adalah bahwa dengan menyeimbangkan blok-blok kekuasaan hal tersebut akan menciptakan stabilitas dan mencegah perang dunia. Teori-teori keseimbangan kekuasaan kembali mengemuka selama Perang Dingin, sebagai mekanisme sentral dalam Neorealisme Kenneth Waltz.

Di sini konsep-konsep menyeimbangkan (meningkatkan kekuasaan untuk menandingi kekuasaan yang lain) dan bandwagoning (berpihak dengan kekuasaan yang lain) dikembangkan. Teori stabilitas hegemonik juga menggunakan ide Polaritas, khususnya keadaan unipolaritas. Hegemoni adalah terkonsentrasikannya sebagian besar kekuasaan yang ada di satu kutub dalam sistem internasional, dan teori tersebut berargumen bahwa hegemoni adalah konfigurasi yang stabil karena adanya keuntungan yang diperoleh negara adikuasa yang dominan dan negara-negara yang lain dari satu sama lain dalam sistem internasional. Hal ini bertentangan dengan banyak argumen Neorealis, khususnya yang dikemukakan oleh Kenneth Waltz, yang menyatakan bahwa berakhirnya Perang Dingin dan keadaan unipolaritas adalah konfigurasi yang tidak stabil yang secara tidak terelakkan akan berubah.

Hal ini dapat diungkapkan dalam teori peralihan Kekuasaan, yang menyatakan bahwa mungkin suatu negara besar akan menantang suatu negara yang memiliki hegemoni (hegemon) setelah periode tertentu, sehingga mengakibatkan perang besar. Teori tersebut mengemukakan bahwa meskipun hegemoni dapat mengontrol terjadinya pelbagai perang, hal tersebut menyebabkan terjadinya perang yang lain. Pendukung utama teori tersebut, A.F.K. Organski, mengemukakan argumen ini berdasarkan terjadinya perang-perang sebelumnya selama hegemoni Inggris. Portugis, dan Belanda.

  1. 2.      Bipolar dalam Balance of Power

Menurut teori neorealis yang dikemukakan oleh Waltz, negara sama dalam seluruh respek fungsional – misalnya disamping kebudayaan mereka yang berbeda atau ideologi atau konstitusi atau personilnya, mereka semua menampilkan tugas dasar yang sama, yaitu keamanan bagi negara dan bagaimana negara tersebut dapat bertahan dari negara-negara lain, struktur dari sistem berubah dengan perubahan di dalam distribusi kapabilitas melewati unit-unit sistem. Dalam kata-kata Waltz sendiri , unit–unit negara dalam sistem internasional “dibedakan khususnya oleh besar kecilnya kapabilitas mereka dalam menjalakan tugas yang serupa…struktur suatu sistem berubah seiring dengan perubahan dalam distribusi kapabilitas antar unit-unit sistem” (Waltz 1979:97). Dengan kata lain, perubahan internasional terjadi ketika negara-negara berkekuatan besar muncul dan tenggelam, dan dengan demikian akan terjadi pergeseran kekuatan. Alat-alat yang khas dari perubahan itu adalah perang antara negara-negara berkekuatan besar, seperti halnya pada Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet.

Negara-negara yang sangat penting dalam menentukan perubahan-perubahan dalam struktur internasional adalah negara-negara berkekuatan besar. Perimbangan kekuatan diantara negara-negara dapat dicapai, tetapi perang selalu menjadi alternatif dalam sistem yang anarkis. Waltz membedakan antara sistem bipolar, seperti yang terjadi selama perang dingin, dan sistem multipolar , seperti yang terjadi baik sebelum maupun sesudah Perang Dingin. Waltz yakin bahwa sistem bipolar lebih stabil dan karenanya menyediakan jaminan perdamaian dan keamanan yang lebih baik dibanding sistem multipolar : “hanya dengan dua negara berkekuatan besar, keduanya dapat diharapkan bertindak untuk memelihara sistem” (Waltz 1979: 204). Hal itu disebabkan dalam memelihara sistem tersebut mereka memelihara diri mereka sendiri. Menurut pandangan tersebut, Perang Dingin merupakan periode stabilitas dan perdamaian internasional.

Waltz (1979: 195) berpendapat bahwa negara-negara berkekuatan besar adalah mereka yang mengatur sistem internasional. Negara-negara berkekuatan besar dipahami oleh Waltz memiliki ‘kepentingan besar dalam sistem mereka” dan bagi manajemennya dari sistem tersebut bukan hanya sesuatu yang menjanjikan tetapi ia juga sesuatu yang “bermanfaat”. Sangat jelas bahwa Waltz menilai ketertiban internasional. Jelas juga, bahwa ia yakin ketertiban internasional lebih mungkin dicapai dalam sistem bipolar daripada sistem multipolar. Perbedaaan antara neorealisme dan realisme klasik dan neoklasik dalam hal ini adalah bahwa Waltz menganggapnya sebagai sesuatu yang memang sudah semestinya akan terjadi.

Hipotesis yang mungin dalam sejarah adalah Amerika Serikat dan Uni Soviet dengan mengambil tindakan bersama (yaitu kerjasama) di awal 1990-an untuk menghentikan persaingan militer internasional dan karenanya mengakhiri sistem bipolar dan Perang Dingin. Mengingat berakhirnya Perang Dingin, agaknya neorealisme Waltzian seharusnya direvisi untuk menggabungkan kemungkinan sejarah di mana dua negara berkekuatan besar mungkin dalam keadaan-keadaan tertentu menghentikan sistem bipolar daripada melanggengkannya tanpa terlibat dalam perang di mana salah satu dari mereka dikalahkan. Masalah ini masih menjadi perdebatan di antara pakar-pakar studi Hubungan Internasional, apakah Amerika Serikat mengalahkan Uni Soviet dalam Perang Dingin atau pemerintahan Soviet, khususnya Presiden Gorbachev, mengakhirinya dengan mundur dari medan pertempuran. Dan disini, kebanyakan kaum neorealis cenderung mengambil pandangan yang pertama.

Waltz menganggap realisme klasik dan neoklasik sebagai titik awal dan mengembangkan sebagian asumsi dan pemikiran intinya. Sebagai contoh, ia menggunakan konsep anarki internasional dan memfokuskan secara khusus pada negara-negara. Ia menganggap bahwa perhatian mendasar pada suatu negara adalah mnegenai keamanan dan kelangsungan hidup baik negara ataupun warganya. Ia juga menganggap bahwa masalah utama konflik negara berkakuatan besar adalah perang, dan bahwa tugas utama Hubungan Internasional di antara negara-negara berkekuatan besar adalah perdamaian dan keamanan.

Tidak ada tempat bagi pembuat kebijakan luar negari dalam teori Waltz yang bebas dari struktur sistem. Dengan demikian, dari contoh di atas kaum neorealis akan memandang kebijakan Gorbachev yang mundur dari Perang Dingin karena dipaksa oleh ‘kekalahan’ Uni Soviet di tangan Amerika Serikat. Gambaran Waltz pada pemimpin negara dalam menjalankan kebijakan luar negeri hampir menyerupai gambaran mekanis yang mana pilihan-pilihan mereka dibentuk oleh hambatan-hambatan struktural internasional yang mereka hadapi, seperti ditekankan pada kalimat berikut :

“Kepentingan para penguasa, dan kemudian negara, membuat suatu rangkaian tindakan; kebutuhan kebijakan muncul dari persaingan negara yang diatur; kalkulasi yang berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan ini dapat menemukan kebijakan-kebijakan yang akan menjalankan dengan baik kepentingan-kepentingan negara; keberhasilan adalah ujian terakhir dari kebijakan itu, dan keberhasilan didefinisikan sebagai memelihara dan memperkuat negara. Hambatan-hambatan struktural menjelaskan mengapa metode-metode tersebut digunakan berulang kali disamping perbedaaan-perbedaan dalam diri manusia dan negara-negara yang menggunakannya”. (Waltz 1979: 117)

Pendekatan neorealis Waltz tidak menyediakan arah kebijakan yang eksplisit bagi para pemimpin negara ketika mereka meghadapi masalah-masalah praktis politik dunia. Waltz (1979:194-210) mengajukan pertanyaan tentang “management” masalah internasional”. Bagi Waltz, bagaimanapun juga, kepentingan nasional terlihat beroperasi seperti sebuah sinyal otomatis yang memerintah para pemimpin negara ketika dan kapan harus bergerak. Teori neorealis dari Waltz menghipotesiskan bahwa mereka akan selalu melakukannya secara otomatis.

Dalam sistem bipolar yang Waltz kemukakan pada paragraf sebelumnya, tampak bahwa dia hanya melihat kepentingan politik negara sebagai aktor dalam Hubungan Internasional. Disana dia tidak sampai memikirkan bagaimana kesejahteraan warga negara harus juga dipenuhi, bagaimana keadaan sosial yang akan terjadi dikemudian waktu ketika keputusan atau kenijakan luar negari yang dikeluarkan pada akhirnya dalah peperangan untuk menuju kedamaian dunia. Saya melihat sistem bipolar disini sangatlah rentan. Hal ini karena apabila kedua kekuatan besar tersebut melakukan adu kekuatan, maka tidak dielakkan lagi akan muncul penguasa tunggal (unipolar) yang akhirnya akan muncul kediktatoran penguasa dunia tunggal.

 

  1. 3.      Isu-Isu Dalam Polarisasi Politik Internasional

Isu dalam Polarisasi Politik Internasional yakni soal keamanan regional. Fenomena di Asia Tenggara dengan prakarsa ASEAN mengukuhkan zona bebas nuklir termasuk salah satu ciri dimana keamanan regional penting bagi kawasan ini.

ZOPFAN (Zone of Peace Freedom and Neutrality) merupakan agenda poli­tik dan keamanan regional yang paling penting negara-negara di kawasan ASEAN untuk merancang dan mempertahan­kan suatu tatanan regional yang mereka ciptakan sendiri. Dengan demikian ZOPFAN tidak semata-mata sebagai upaya untuk mem­bebaskan diri dari persaingan negara-negara be­sar, tetapi juga untuk memungkinkan negara-negara di lingkungan ini memikul tanggung jawab bagi keamanan mereka bersama.

Dengan berakhirnya Uni Soviet dan konfrontasi global tentang ideologi dan politik, tidak ada lagi kekhawatiran-kekhawatiran yang menjadi penghalang bagi ZOPFAN. penghalang utama realisasi ZOPFAN adalah perbedaan pendapat yang masih terjadi antara para anggota ASEAN sendiri. kurangnya dukungan terhadap ZOPFAN dari beberapa negara ASEAN lainnya, menunjukkan kecurigaan mereka ter­hadap negara anggota yang lebih besar, terutama Indonesia. Oleh karena itu tidak mengherankan jika belakangan muncul tuntutan yang semakin gencar dalam mewujudkan ZOPFAN dan Zona Bebas Senjata nuklir di Asia Tenggara.

kedua, sorotan dunia jatuh kepada masalah ekonomi-politik internasional. Isu ini sebenarnya telah bangkit sekitar 1971-1972 ketika sistem Bretton Woods runtuh pada saat kebangkitan ekonomi Jerman dan Jepang mulai menganggu pasar AS. Jika disorot lebih dalam, pembentukan blok-blok ekonomi bisa dikatakan sebagai akibat dari menguatnya isu ini.

Dengan adanya perang dingin ini maka berbagai bentuk kerjasama yang saling menguntungkan antara Eropa Timur dan Eropa Barat tidak dapat terjalin. Kegiatan tersebut terhambat karena negara-negara Eropa merasa kawatir jika suatu saat wilayahnya akan dijadikan sasaran adu kekuatan oleh kedua negara adikuasa tersebut. Dampaknya perekonomian antara blok barat (negara-negara Eropa Barat) dan blok timur (negara-negara Eropa Timur) tidak seimbang dimana negara-negara blok barat jauh lebih maju daripada blok timur.

AS sebagai negara kreditor terbesar memberikan pinjaman atau bantuan ekonomi kepada negara-negara yang sedang berkembang berupa Marshall Plan. AS juga memberikan bantuan ”Grants in Aid” yaitu bantuan ekonomi dengan kewajiban mengembalikan berupa dollar atau dengan membeli barang-barang Amerika Serikat. Bagi negara-negara di Asia Presiden Truman mengeluarkan “The Four Points Program for the Economic Development in Asia” berupa teknik dalam wujud perlengkapan-perlengkapan ekonomis atau bantuan kredit yang berasal dari sektor swasta di Amerika Serikat yang disalurkan oleh pemerintah kepada Negara-negara yang sedang berkembang.

Perhatian ketiga, terpusat pada apa yang dinamana sebagai “3 in 1” yakni lingkungan hidup, hak asasi manusia dan demokratisasi. Dibandingkan dengan tiga tema di atas, isu ini sangat dominan dalam pemberitaan pers internasional. Bahkan dalam setiap konferensi dan pertemuan puncak, masalah ini tidak jarang disinggung terutama ketika negara-negara industri menyoroti negara-negara yang sedang berkembang.

Bilhari Kausikan (1993), Direktur Biro Asia Timur dan Pasifik di Kemlu Singapura sudah meramalkan bahwa isu HAM telah menjadi isu yang legitimate dalam hubungan antar negara. Ia menyatakan, bagaimana sebuah negara memperlakukan warga negaranya tak lagi masalah eksklusif sebuah negara.

Namun demikian, penekanan Barat terhadap HAM akan mempengaruhi nada dan tekstur hubungan internasional pasca Perang Dingin. Menurut Kausikan, isu-isu HAM menyangkut soal upah, kondisi bekerja, serikat buruh, standar hidup, hak-hak wanita dan anak-anak, hiburan dan waktu cuti, keamanan dan tunjangan sosial serta lingkungan. Ia melihat telah terjadi pemaksaan dari Barat untuk menentukan standar HAM.

Sedangkan Aryeh Neier, Direktur Human Rights Watch, menyebutkan lebih spesifik nilai-nilai HAM yang disebarkan di seluruh dunia. Ia antara lain menyinggung soal hak setiap orang bebas dari hukuman tak adil dan arbitrari, persamaan ras, etnik , agama atau gender. Hal-hal ini ikut menentukan pola hubungan antar negara.

Hasjim Djalal dalam tulisannya Indonesian Foreign Policy at the Afvent of 21st Century menyebutkan, The Problem of democratization and human rights will also become more prominent and their impact on foreign policy cannot be ignored. Analisa Djalal itu menunjukkan bahwa masalah yang menyangkut hak asasi manusia, dari sudut manapun ditinjaunya, akan memberikan dampak terhadap politik luar negeri suatu negara. Hal itu juga berarti bahwa kontak satu entitas politik dengan entitas lainnya akan mendapat bobot soal HAM.

Dalam kasus HAM dan juga demokratisasi sebagai contoh dapat dilihat bagaimana Uni Eropa dan Amerika Serikat bersikap terhadap Myanmar. Negeri yang pernah melakukan pemilu tahun 1990 yang dimenangkan Liga untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi ini terpaksa harus hidup dalam situasi darurat terus menerus.Untuk menjaga keadaan darurat itu, militer Myanmar membentuk apa yang dinamakan Dewan Pemulihan Hukum Negara dan Ketertiban (State Law and Order Restoration Council). Sampai tahun 1997, SLORC masih bertahan atas nama ketertiban negara. Melalui Konvensi Nasional sedang disusun konstitusi yang kemudian akan melahirkan pemilihan umum.

  1. 4.      Kritik Bipolar terhadap Multi Polar

Namun ada juga pertentangan antara pendapat ini seperti yang dikatakan Menurut Waltz, sistem bipolar bersifat superior dibanding multipolar karena menyediakan staabilitas internasional yang lebih besar. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan stabilitas sistem bipolar. Pertama, jumlah konflik antarnegara berkekuatan besar jauh lebih sedikit, dan hal ini mengurangi jumlah kemungkinan perang antar negara-negara besar. Kedua, lebih mudah menjalankan sistem penangkalan yang efektif sebab lebih sedikit Negara-negara berkekuatan besar yang terlibat. Terakhir adalah kemungkinan salah perhitungan dan salah bertindak lebih rendah.

Dengan kata lain dua superpower akan terus bersaing terus menerus. saling mengoreksi satu sama lain . Hanya dengan dua negara berkekuatan besar, keduanya dapat diharapkan bertindak untuk memelihara sistem. Dan waltz membedakan antara sistem bipolar saat Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dengan sistem multipolar –yang terjadi baik sebelum dan sesuadah Perang Dingin. Waltz yakin, bahwa sistem bipolar lebih stabil dan karenanya menyediakan jaminan perdamaian dan keamana lebih baik dibandingkan dengan sistem multipolar.

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Waltz mengatakan bahwa sistem bipolar bersifat superior dibanding multipolar karena menyediakan staabilitas internasional yang lebih besar. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan stabilitas sistem bipolar. Pertama, jumlah konflik antarnegara berkekuatan besar jauh lebih sedikit, dan hal ini mengurangi jumlah kemungkinan perang antar negara-negara besar. Kedua, lebih mudah menjalankan sistem penangkalan yang efektif sebab lebih sedikit Negara-negara berkekuatan besar yang terlibat. Terakhir adalah kemungkinan salah perhitungan dan salah bertindak lebih rendah. Dengan kata lain, dua super power akan bersaing terus menerus, saling mengoreksi satu sama lain .

 

Referensi

http://id.wikipedia.org/wiki/Politik.diakses pada 5 mei 2011,pukul 17:00 wib

Daniel awigra.2009.” Sistem Bipolar Lebih Stabil Dibanding Multipolar” diakses pada 29 april 2011. Pukul o8:00 wib

http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&task=view&id=10591&Itemid=47

http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_internasional.diakses pada 5 mei 2011,pukul 23:00

1Muhadjir Effendy “Profesionalisme Militer, Profesionalisme TNI”, dan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang


MENGAPA TIDAK ADA TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL BUKAN BARAT

REFLEKSI PADA DAN DARI KOREA

Summary Bab 4 buku “Non-Western International Relations Theory, Perspectives on and beyond Asia”

Tulisan ini merupakan summary bab 4 “Why is there no non-western international relations theory? Reflections on and from Korea” yang ditulis oleh Chaesung Chun dari buku “Non-Western International Relations Theory, Perspectives on and beyond Asia”,  yang diedit oleh Amitav Acharya and Barry Buzan dan diterbitkan oleh Routledge tahun 2010.

Diawal pembahasannya Chaesung Chun mengemukakan kesulitan serjana Korea untuk menjelaskan secara teoritis mengenai realitas internasional Korea, mengingat betapa cepatnya sejarah Korea berlalu untuk direnungkan. Hal yang menandai kedaulatan Korea terjadi saat pembukaan pelabuhan untuk Jepang pada tahun 1876. Korea didaulat sebagai negara modren setelah melakukan perjanjian dengan negara-negara barat. Selain itu, Chun mengurutkan kejadian penting yang terjadi dalam realitas internasional Korea. Mulai dari perimbangan sistem modren dan imperialisme, penjajahan Jepang, pembagian Korea menjadi dua, perang Korea, konfrontasi perang dingin, berakhirnya perang dingin, periode anti-teror, hingga transisi postmodren.

Chun membandingkan transisi Korea yang berlangsung selama 130 tahun dengan transisi Westphalia yang terjadi di barat selama 360 tahun, yang berlangsung dengan penjajahan dan perebutan dominasi. Dalam sejarah realitas internasional yang selalu berubah-ubah, menjadi penyebab tidak berkembangnya teori hubungan internasional di Korea. Kebanyakan teori hubungan internasional Korea diambil dari barat terutama Amerika Serikat.

Dalam tulisannya ini, Chun ingin mencermati teori HI Korea sejak masuk dalam sistem internasional hingga saat ini. Kedua, menelusuri sejarah Korea dari perspektif teoritis HI, menjelaskan mengapa Korea tidak memiliki teori HI sendiri, alasan keterbelakangan teori HI Korea dan perspektif Korea di masa depan.

 

Keterbelakangan Teori HI Korea Selatan’ di Era Modern

Dalam tulisannya Chun menjelaskan bawasannya sebelum kedatangan penjajahan Barat, para sarjana Korea yang sebagian besar pengikut Konfiusius memiliki pandangan tersendiri terhadap politik regional, atau hubungan antar-dinasti. Dasar hubungan normatif dengan Cina sebagai pusat, suku-suku Utara dan Jepang. mereka berpikir peradaban datang dari pusat Cina.  Peradaban Korea menemukan standar membangun moral yang koheren intelektual dengan membuka kerangka dari diri sendiri melalui keluarga, dan negara di seluruh dunia.

Selama masa transisi (1876–1910) dari sistem regional tradisional menjadi sistem modren internasional, merupakan masa yang berat bagi Korea. Pertama, Korea berusaha memahami konsep kedaulatan dimana tidak boleh ada intervensi asing di dalamnya. Kedua, perbedaan antara normatif dan praktek dalam sistem internasional.

Ketiga, masa dimana Korea berusaha menjadi negara yang berdaulat terjadi saat masa imperialisme, dimana yang kuat yang akan berkuasa. Hubungan internasional Korea mulai berkembang setelah dibebaskan dari penjajahan Jepang 1945. Mekipun Korea telah terintegrasi menjadi negara modren sejak 1876, namun akibat imperialisme barat yang dilanjutkan dengan penjajahan Jepang menyebabkan sulit bagi Korea untuk memiliki patau mengembangkan perseptifnya akan hubungan internasional. Setelah berdirinya pemerintahan Korea Selatan tahun 1948, untuk pertama kalinya Korea di akui masyarakat internasional sebagai negara yang berdaulat.

Awal kemerdekaan sulit bagi Korea untuk memahami dan mengembangkan hubungan internasional mereka. Terjadinya perang Korea 1950-1953, mendorong sarjana Korea untuk memahami hubungan internasional yang terjadi. Hingga akhir perang Korea, arjana Korea dididik dengan sistem Jepang dengan pengaruh dari Amerika Serikat.

Setelah berakhirnya perang Korea, sarjana Korea mulai mengembangkan hubungan internasionalnya. Korean Political Science Association (KPSA) didirikan tahun 1953. Hubungan internasional, politik luar negeri dan keamanan mulai dikaji di universitas. Korean Association of International Studies (KAIS) didirikan tahun 1956.

Pada tahun 1950, sarjana HI Korea banyak dipengaruhi oleh Akedemi Amerika. Selain itu, kerjasama antara Amerika dan Korea Selatan dalam perjanjian Pertahanan Bersama tahun 1953 menjadikan harmonisasi antara kedua negara dalam hubungan internasional. Selama masa ini didominasi oleh teori relisme, dan buku-buku klasik realis banyak diterjamahkan. Chun juga mencatat bahwa dalam mempelajari organisasi internasional terutama PBB memberikan kontribusi dalam perkembangan studi organisasi internasional.

 

Tahun 1960 trend HI masih seperti tahun sebelumnya, dan banyak penulis Amerika. Pada saat ini juga, Korea memulai usaha  membentuk sendiri perspektif HI nya. Misalnya, buku Lee Yong-Hee Teori Umum Politik Internasional dalam Kaitannya dengan Aspek yang Historical, merupakan suatu upaya untuk membangun sebuah teori hubungan internasional berdasarkan perspektif penulis sendiri terhadap sejarah teori hubungan  internasional Korea Selatan. Selain itu, dua jurnal, Korean Political Science Review (KPSR) oleh KPSA dan Korean Journal of International Studies (KJIS) by the KAIS, yang berisi tentang hubungan internasional Korea mulai di publikasikan.

Chun menulis mungkin pada tahun 1950-1960 Korea dikatakan hanya mengimpor produk jadi dari teori HI, terutama Realisme, karena pengaruh Amerika terhadap sarjana Korea. Pada perkembangan selanjutnya tahun 1970 trend Behaviorelisme juga mulai berkembang di Korea. Namun dalam masa Perang Dingin yang berlangsung, studi keamanan dalam perspektif masih menjadi kajian utama sarjana Korea. Teori tentang interdependence juga mulai diperkenalkan pada masa ini, mengingat hubungan erat Amerika dan Korea dalam bidang ekonomi dan terjadinya krisis ekonomi global akibat krisis minyak. Periode ini bisa disebut periode substitusi impor. Meskipun masih terus mengimpor teori HI dari barat, namun sarjana Korea tetap berusaha untuk membuat teori-teori sendiri yang  cocok dalam menjelaskan internasional realitas Korean  Selatan.

Analisa Chaesung Chu mengenai Krisis minyak yang terjadi pada tahun 1970- 1980-an, munculnya negara-negara Dunia Ketiga dalam gerakan demokratisasi dan pembangunan ekonomi menjadikan  Korea Selatan sebagai salah satu perekonomian industrialisasi baru (NIEs), hal ini menurut chun mamiliki pengaruh terhadap perkembangan akedemisi Korea Selatan. Perkembangan pemahaman sarjana Korea akan teori dependensi dan demokrasi menyebabkan dominasi Amerika terhadapa Korea mulai dikritisi. Paradigma strukturalis juga mulai diperdalam oleh sarjana, namun menurut Chun, tetap saja semua teori itu merupakan serapan dari barat tanpa ada yang dihasilkan sendiri oleh Korea.

Akhir Perang Dingin ditingkat global dan regional memiliki dampak luar biasa  terhadap akademisi HI Korea selatan, terutama terkait hubungan kedua Korea kedepannya. Pada tahun 1990-an, akibat ambisius dalam ekonomi, Korea Selatan jatuh dalam krisis keuangan pada tahun 1997-an, adanya isu kebangkitan China dan kekhawatiran tentang kemungkinan Kemunculan kembali tatanan regional Cina-sentris menjadi perhatian sarjana HI Korea. Selain itu, pesatnya perkembangan teknologi informasi internet dan budaya juga menjadi fokus.

 Chun menjelaskan beberapa tantangan yang dihadapi Korea selatan dalam teori IR yang Pertama, pengaruh Amerika telah melemah pada  akhir 1980-an Itu fenomena umum bahwa refleksi meta-teoritis dari teori IR untuk masyarakat dengan kesempatan untuk meninjau teori grand dari epistemologis, ontologis dan aksiologis. Kedua, adanya penekanan kebutuhan untuk mengembangkan teori IR ‘Korea’ (Chun dan Park 2002; Ha 2002, 2005; Park 2004; Bulan dan Chun 2003). Para sarjana Korea Selatan setelah ‘Debat Ketiga’ merumuskan dan mengembangkan teori berdasarkan perspektif Korea selatan dalam proses ini fokusnya pada kedaulatan, peradaban, regionalisme Asia dan soft power. Ketiga meningkat sejumlah asosiasi akademis, lembaga penelitian dan tim studi untuk teori IR. Artikel yang diterbitkan berupa artikel tinjaua kritis terhadap menerapkan teori Hubungan internasional terhadap mengembangkan perspektif Korea Selatan.

 

 

 

Sejarah Internasional Korea dari Perspektif Teoritis

Menurut Chun, Sejarah Korea sangat dipengaruhi oleh hubungan internasional. Cukup sulit bagi Chun untuk menjelaskan secara teoritis sejarah internasional Korea, yang dipengaruhi oleh benturan antara sistem regional yang tradisional dan peradaban Barat. Dinasti Cina sangat berpengarus terhadap dinasti Korea. Chun membagi sejarah politik regional tradisional menjadi dua periode, yang pertama sekitar akhir abad ke-14 ketika dinasti Chosun di Semenanjung Korea dan Dinasti Ming di Cina didirikan. Dinasti Korea mamiliki konflik militer yang hebat tidak hanya dengan dinasti Cina, tetapi juga dengan kerajaan-kerajaan Utara. Selama periode ini, pencaplokan wilayah dan penaklukan dilakukan tanpa saling memahami akan pengertian kedaulatan. Pada periode ini, lanjut Chun, Korea mencoba untuk bertahan dan memperluas kekuasaan, dominasi wilayah dilakukan dengan kekuatan militer. Korea memiliki persepsi kedaulatan kekaisaran yang dikelilingi oleh kerajaan lain. Dalam pengertian ini, politik regional ditandai dengan anarki dari beberapa kerajaan.

Dinasti Ming di akhir abad ke-14 mendirikan kerajaan yang kuat dengan kekuatan militer dan struktur normatif sendiri. Cina mengembangkan kekaisaran universalnya dengan dominasi militer, politik, ekonomi dan budaya. Dengan pengaruh neo-Konfusianisme, dinasti Ming melegitimasi dominasinya dan membentuk urutan regional yang disebut, ‘mengamati yang besar, mengurus yang kecil’. Neo-Konfusianisme dengan pandangan Cina-sentris, yang di anut Cina menjadikan Dinasti Chosun di Semenanjung Korea secara bertahap telah termasuk ke dalam gagasan regional ini.

Dari akhir abad ke-14 hingga pertengahan abad ke-19, gagasan Cina-sentris dan sistem kerajaan universal ini mendominasi politik regional di Asia Timur. Korea mengasumsikan bahwa kaisar Cina adalah penguasa tertinggi dari tuhan. Dari perspektif ini, menurut Chun, tatanan daerah dapat dikatakan didasarkan pada prinsip penyelenggaraan hierarki yang terdiri dari pusat dan pinggiran. Hal ini juga merupakan sistem hak dan tanggung jawab bersama. Kaisar Cina dianggap memiliki kekuatan berdaulat mutlak yang diberikan dari langit. Ia juga diasumsikan memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengurus kerajaan kecil disekitarnya.

Ketika Jepang menginvasi Semenanjung Korea pada tahun 1592, Chosun meminta bantuan dari Cina. Ketika Cina mengirim pasukan untuk Korea, ada perdebatan tentang apa kepentingan Cina yang sebenarnya. Kaisar Cina pada waktu itu berpendapat bahwa Cina, sebagai sebuah kerajaan universal, memiliki tanggung jawab membantu kerajaan tetangga ketika diserbu secara tidak adil oleh kerajaan lain. Ini menurut Chun berarti bahwa sistem keamanan didasarkan dengan membantu sistem lain, yang mengarah ke keamanan kolektif dinasti. Selama hampir 500 tahun, kedamaian di Asia Timur  terpelihara. Chun menjelasakan, dari perspektif realis, perdamaian dimungkinkan disebabkan oleh dominasi hegemonik kekaisaran Cina. Namun, dilihat dari perspektif Korea, tidak ada rencana untuk menentang atau menyerang kekaisaran Cina, karena Korea telah dibentuk sebagai bagian dari kerajaan Cina.

Invasi Jepang, terhadap latar belakang ini, diartikan sebagai kebijakan ‘tidak beradab’, yang merugikan hubungan baik antara kerajaan tetangga. Tindakan Cina dalam hal ini dapat dibenarkan dari perspektif realis. Namun, sistem normatif neo-Konfusius dibangun dengan prinsip bagaimana kepentingan harus didefinisikan secara sosial. ‘kedamaian konfusius’, dalam pengertian ini, dipelihara di antara dinasti Asia Timur, berdasarkan prinsip struktur hirarki dan sistem keamanan kolektif dinasti.

Memasuki akhir abad ke-19, menurut Chun, dapat dipahami mengapa begitu sulit bagi sarjana Korea untuk memahami secara teoritis tentang hubungan internasional Korea, bukan hanya karena struktur tradisional masih berjalan, tapi juga karena ada prinsip komposisi logika tradisional dan struktur modern, dan peralihannya.

Selama 35 tahun, dari 1876 ke 1910, ketika Korea jatuh dalam kolonialisme Jepang, menurut Chun, Korea masih mencoba untuk memahami sistem kedaulatan negara Eropa karena China masih menjadi pusat dan satu-satunya kekuatan politik yang berdaulat dalam pandangan Korea. Korea harus menyesuaikan diri dengan keseimbangan sistem kekuatan, dan juga invasi imperialis. Hal ini sulit bagi Korea karena tiga imperatif sistemik yang berbeda berlangsung pada waktu yang sama: sisa-sisa tatanan politik tradisional regional, sistem antarnegara modern dan imperialisme. Tahun, 1870-an dan 1880-an adalah masa di mana Cina mencoba untuk mendominasi Semenanjung Korea berdasarkan gabungan antara hegemoni tradisional dan imperialisme modern. Dalam persaingan hegemonik regional antara China dan Jepang, Cina mencoba mengambil keuntungan penuh dari tatanan politik tradisional dengan menjajah Semenanjung Korea berdasarkan logika imperialis ekonomi modern.

Sejak tahun 1882 hingga 1895, ketika Cina telah dikalahkan oleh Jepang, baik Cina atau pun Jepang masih memperebutkan kekuasaan atas Korea. China dikalahkan oleh Jepang dalam persaingan hegemonik regional ini, semua sisa-sisa sistem tradisional terhapus. Kekaisaran Korea (dari 1897) sangat menderita dalam persaingan antara imperialis Jepang, Rusia dan kekuatan Barat. Korea dapat mempertahankan status berdaulat karena keseimbangan transisi antara kekuatan imperialis yang bersaing. Persaingan global antara Inggris dan Rusia tampak jelas di Semenanjung Korea. Melihat pada perjanjian Anglo-Jepang tahun 1902, Inggris sebenarnya menyerahkan Semenanjung Korea ke Jepang, yang berusaha untuk memperluas wilayahnya di utara Semenanjung Korea. Ketika Perang Rusia-Jepang yang berakhir dengan kemenangan Jepang, Korea kehilangan status berdaulatnya. Barat mengakui hak Jepang menjajah Semenanjung Korea.

Chun melanjutkan bahwa, Sarjana Korea, pada awalnya, merasa sulit memahami logika kedaulatan nasional, dimana negara, tanpa malihat ukuran dan kekuasaannya, dapat dikaitkan dalam hak yuridis sama (Chung 2004). Mengingat pada sejarah China kuno dimana tidak ada kekuatan yang lebih tinggi dari individu kerajaan. Selanjutnya, sarjana Korea dalam memahami sistem antarnegara modern dari Barat, yang disebut ‘Hukum Segala Bangsa’, yang merupakan teks diterjemahkan hukum internasional oleh Wheaton, memberikan harapan kesetaraan kedaulatan untuk Korea.

Pada pertengahan tahun 1880-an, Pelabuhan Hamilton di Korea Selatan diduduki oleh Inggris, yang mencoba untuk mendirikan sebuah pangkalan angkatan laut untuk menghadapi ekspansi Rusia di selatan. Korea tidak memahami bahwa kebijakan luar negeri dari Inggris ini ‘ilegal’, hingga mereka memahami logika kedaulatan, integritas teritorial yang seharusnya dipertahankan. Saat itu Korea tidak memahami sistem negara berdaulat yang digunakan sebagai dalih untuk ekspansi imperialis. Setelah mengalami peristiwa tragis, Korea akhirnya menyadari bahwa hukum internasional tidak bisa sebagai senjata. Beberapa alternatif kebijakan dicoba, seperti usaha memperoleh status netral seperti Belgia, atau mengakhiri aliansi dengan kekuatan Barat seperti AS, namun disadari bahwa sudah terlambat untuk mencegah ekspansi imperialis Jepang.

Imperialisme Jepang memberikan kesempatan bagi Korea untuk mewujudkan logika kasar dari sistem negara Barat. Korea mencoba untuk mendapatkan kembali kemerdekaan dengan berbagai cara. Pada tahun 1907 kaisar Korea mengirim wakil ke Konferensi Perdamaian Den Haag, tapi kekuatan Barat tidak memperhatikan suara wakil-wakil dari koloni de facto. Pada tahun 1919, ketika Konferensi Perdamaian Versailles sedang berlangsung, Korea juga mengirimkan wakil, namun prinsip hanya berlaku untuk koloni yang mengalahkan penguasanya. Setelah kejadian itu, Korea memulai sebuah gerakan kemerdekaan nasional yang damai, yang memberikan dorongan terhadap gerakan Forth Cina Mei. Sebuah pemerintahan pengungsi juga didirikan di Shanghai pada bulan April 1919, secara demokratis mewakili orang Korea. Chun dicatat bahwa pemerintah pengungsi berdasar pada prinsip demokrasi untuk pertama kalinya dalam sejarah Korea, yang berarti liberalisme memperoleh kekuatan. Namun pada tahun 1921 Partai Komunis Korea didirikan, yang dipengaruhi oleh revolusi Bolshevik. Dari tahun 1920, Korea bergerak cepat mengikuti tren global dalam urusan internasional, berusaha untuk merebut kembali kemerdekaan dan status berdaulat.

Chun menuliskan bahwa Korea mengharapkan kedaulatan yang utuh,  namun persaingan antar negara pemenang PD II tak memungkan hal ini. Korea gagal membangun negara dengan teritorial modren. Korea terbagi menjadi du bagian dan masing-masing saling mengklaim sebagai kekuatan politik yang sah mewakili rakyat Korea. Gagalnya pembangunan negara dan bangsa Korea sangat erat terkait dengan persaingan negara adikuasa pada awal Perang Dingin. Korea dibebaskan dari penjajahan Jepang, tapi dibagi menjadi dua kamp yang berbeda oleh AS da Uni Soviet.

Perang Korea merupakan konsolidasi struktur Perang Dingin baik di tingkat global dan di tingkat regional. Selama dan setelah Perang Korea, konfrontasi ideologis dan diplomatik antara AS dan Uni Soviet berubah menjadi permusuhan dan konfrontasi militer. Permusuhan ini juga membuat konfrontasi tak terhindarkan antara dua Korea. Kedua Korea memperkuat hubungan politik, ekonomi, diplomatik dan militer dengan negara adidaya pelindung mereka, dalam bentuk aliansi militer, mitra ekonomi dan pendukung diplomatik. Daerah dan aktualisasi Semenanjung pada Perang Dingin global berdampak besar pada hubungan internasional Korea.

Pertama, kedua Korea gagal untuk membangun negara berdaulat bukan hanya karena pembagian bangsa, tetapi juga oleh kamp milik negara adikuasa. Aliansi sangat membatasi otonomi politik kedua Korea, meskipun pada posisi keamanan mereka diuntungkan. Salah satu norma yang paling penting bagi negara berdaulat, tanpa intervensi, telah dirampas atas nama konfrontasi ideologis Perang Dingin.

Kedua, kedua Korea mewujudkan identitas Perang Dingin. Secara tradisional, satu bangsa dibagi bukan hanya untuk alasan politik, tetapi juga untuk alasan-alasan budaya, ideasional dan normatif. Akibat trauma yang tak terlupakan pada Perang Korea, kedua Korea menganggap satu sama lain sebagai musuh. Pembangunan bangsa, dalam kondisi ini, tampaknya hampir mustahil (Chun 2001).

Ketiga, kedua Korea termasuk dalam struktur Perang Dingin regional, dengan memiliki hubungan aliansi eksklusif. Korea Selatan membentuk sebuah aliansi militer dengan Amerika Serikat pada tahun 1953, dan normalisasi hubungan diplomatik dengan Jepang, pada tahun 1965. Korea Utara beraliansi militer dengan Uni Soviet dan China, memiliki hubungan tak bersahabat dengan AS dan Jepang.

Teori Aliansi menegaskan bahwa harus ada trade-off antara keamanan dan otonomi politik di setiap aliansi, terutama di satu asimetris (Chun 2000). Aliansi dari dua Korea membuktikan ini dengan cukup baik. Kebijakan luar negeri dua Korea sangat dibatasi oleh kepentingan global dan regional dari masing-masing negara sekutu mereka.

Keinginan Korea untuk membangun negara modern yang berdaulat secara internasional dengan dijaminnya norma-norma integritas teritorial dan tanpa intervensi asing dalam negeri tidak terwujud selama masa Perang Dingin. Kolonialisme Jepang berakhir dan digantikan oleh dua kekuatan global yang saling bersaing. Meskipunpun mungkin benar bahwa hubungan internasional pada masa ini dapat dikatakan sebagai sistem global dan struktur penyelenggaraan yang anarki, sistem yang pernah dialami kedua Korea didasarkan pada prinsip hirarki intracamp, distribusi kerja dan kekuasaan tentunya tidak seimbang. Ini bukan hanya fenomena semenanjung.

Hubungan Internasional selama periode Perang Dingin di kawasan Asia Timur Laut hampir tidak dapat dicirikan sebagai khas hubungan internasional modern. Lima kekuatan, dua Korea, dua Cina dan Jepang, terus berupaya untuk menyelesaikan proses transisi modern yang menimbulkan banyak kesulitan dengan negara lain, dalam situasi di mana logika Perang Dingin sangat terbatas pada derajat ‘keberdaulat-an ‘dari masing-masing negara.

Ketika Perang Dingin berakhir di tingkat global 1989-1991, Korea Selatan berharap dapat hidup dalam lingkungan yang damai dan untuk reunifikasi nasional. Korea Selatan menormalisasi hubungan diplomatik dengan Uni Soviet pada tahun 1990 dan dengan China pada tahun 1992. Korea Selatan juga membuat Perjanjian tentang Rekonsiliasi, Non-agresi dan Bursa dan Kerjasama antara Korea Selatan dan Korea Utara, di mana prospek ko-eksistensi damai, pengurangan senjata militer, pertukaran sosial dan budaya dan peta jalan untuk reunifikasi yang terencana dengan baik. Di sisi lain, berdasarkan ikatan aliansi militer antara Korea Utara dan Cina, dan Korea Utara dan Rusia telah melemah, mendorong Korea Utara ke posisi diplomatik yang terisolasi. Hilangnya pasar sosialis dan pelindung militer yang kuat membuat Korea Utara lebih berminat dalam pengembangan program nuklir, yang akhirnya menimbulkan krisis nuklir pertama pada tahun 1993.

Keamanan regional menjadi lebih rumit dengan bergabungnya Jepang dengan aliansi AS tahun 1996, kebangkitan Cina, organisasi regional dan hubungan ekonomi yang lebih hidup di antara semua negara Asia Timur Laut. Secara domestik, demokratisasi Korea Selatan, Jepang dan Taiwan.

Chun melanjutkan, perkembangan regionalisme Asia Timur, ditandai dengan pasar komersial damai, kemungkinan demokratis yang damai, dan munculnya lembaga-lembaga multilateral yang sederhana. Kebangkitan Cina, dan fenomena transisi kekuasaan menjadi lebih jelas, hal ini membuat AS merasa perlu untuk memperkuat hubungan dengan Jepang. Dalam pengertian ini, lingkungan keamanan di era pasca-Perang Dingin mulai menyerupai abad ke-19, di mana Cina dan Jepang bersaing untuk hegemoni regional.

Konflik selat dan konflik kompetisi korea untuk mewujudkan keamanan lingkungan semakin rumit, dan mencari keuntungan dalam situasi yang ini. Kombinasi antara transisi modern dan pembagian kekuatan modern membuat para sarjana HI dalam kawasan ini berpikir lebih kritis pada asumsi teori HI  barat. Arus keamanan seperti ini membawa perhatian yang besar pada sarjana korea (chung 2000). Ada dua alur yang memungkinkan, 1) dari keterbukaan system balance of power pada system keseimbangan politik dengan komitmen yang didasarkan pada norma untuk menggabungkan hubungan timbal balik (disadari dalam kasusu persetujuan Vienna) (Schoeder 1994), dan akhirnya pada institusi keamanan  multilateral atau kemungkinanan komunitas keamanan; 2) dari system pembagian kekuasaan pada konfontrasi regional bipolar dan yang keburukan dari dilemma keamanan, dan akhirnya pada  perselisihan antara dua kutub; kemungkinan Cina sendiri dan aliansi AS-Jepang. Jika  pada masalah sebelumnya, korea selatan  masih kekuarangan kekuatan untuk memenuhi gap diantara kekuatan besar dan akan berada pada posisi yang sulit untuk bertahan dan mempunyai suara yang otonom diantara mereka.

Abad 21 Asia Timur, di gambarkan Chun tidak hanya oleh pembagian kekuasaan pasca perang dingin, tapi juga oleh transisi postmodern (Moon dan Chun 2003). Setelah tragedy serangan teroris pada  9/11, keamanan AS berubah, membawa perubahan pada regional Asia Timur. Perubahan mendasar yang lainnya mempersulit situasi internasional dalam wilayah ini. Empat faktor menentukan corak sistem global dari abad 21: ancaman keamanan postmodern, globalisasi, informasi, dan teknoligi komunikasi dan demokratisasi. Pertama, musuh baru, seperti kelompok teroris, penggunaan pertimbangan jumlah kekerasan yang didasarkan pada teknologi modern tapi tidak dengan legitimasi politik, gambara/pose ancaman pada keamanan global. Kedua, ketergantungan ekonomi kompleks dan pengaruh inter-budaya membuat HI lebih kompleks. Keseimbangan kekuatan yang keras atau konfrontasi ideology  yang keras menentukan konfigurasi aliansi yang lain, komplikasi kalkulasi kepentingan keamanan. Ketiga, perkembangan ICT berkontribusi untuk memungkinkan reaksi postmodernisme pada ancaman postmmodernisme. Transformasi milliter yang didasarkan pada network-based kapabilitas, ubiquasi, perkembangan yang cepat dan ketepatan menjadi  sesuatu yang disyukuri dari perkembangan ICT. Sisi lain dari koin adalah bahwa kelompok teroris juga  menggunakan ITC  yang didasarkan pada tekhnologi dan jaringan kekerasan. ICT juga menimbulkan perkembangan masyarakat nasional dan masyarakat transnasional, akhirnya memimpin/ membawa pada situasi demokrasi cosmopolitan. Keempat demokrasi pada skala global mempengaruhi kebijakan luar negeri dalam proses mengembangkan Negara. Sekarang, perkembangan Negara membuat banyak opini publik, yang sering meniadakan persepsi yang tepat  dari politik internasional.

Untuk sukses dengan dunia demokrasi, kekuatan lunak/soft power berguna dan sangat berguna bagi kekuatan besar, khususnya AS. Keseimbangan dari soft power antara AS dan teroris dan antara AS dan anti AS sekarang mempengaruhi secara langsung kesuksesan dan kegagalan strategi AS. Dalam era anti terordengan tren yang disebutkan diatas, korea selatan dihadapkan dengan perubahan  mendasar yang tidak terduga. Lebih dari yang lainnya, AS, sebagai satu-satunya partner aliansi, meminta pada korea selatan untuk berbagitujuan strategis. AS meminta korea selatan untuk mengirimkan tentara ke irak, membantu financial, AS dalam pengaturan  post-war di Afganistan dan irak. AS juga melaksanakan transformasi milliter yang mendorong kea rah bentuk alliansi. Untuk mempertahankan perawakan milliter yang fleksibel, AS meminta korea selatan untuk mengakui ide strategi fleksibelitas dengan mana kekuata AS di korea membutuhkan kepastian strategis untuk mempertahankan musuh modern, ya itu korea utara, murni bahwa aliansi harus berada pada tekanan kehancuran.

Isu program nuklir korea utara adalah contoh yang lain dimana perhatian korea selatan dan strategi postmodern AS saling bertabrakan dengan yang lain. AS mengenalkan krisis tersebut sebagai isu postmodern. Yang paling ditakuti AS adalah kemungkinan korea utara mengirimkan material nuklir pada teroris yang mungkin akan menyerang AS dengan menggunakan senjata pengahancur missal. Bagaimanapun krisis nuklir korea utara bukan hanya berlawanan dengan isu kehidupan (pertumbuhan). Niat Korea utara, apakah perkembangan material nuklir untuk negoisasi atau untuk keperluan milliter. Dengan kata lain, korea utara dalam periode post-cold war, yang mana musuh Jerman terdahulu menyerah pada system komunis yang merugikan kepentingan vital korea, mencoba untuk bertahan hidup dan bertahan dalam HI modern. Logika tradisional dalam mempertahankan korea utara untuk mengembangkan senjata nuklir. Korea selatan, dalam hal ini, mengenalkan isu bukan hanya sebagai isu anti-teror tapi juga sebagai isu sesame korea tentang kerjasama dan penyatuan. Beberapa peninjau melacak asal perselisih pahaman antara korea selatan dan AS dari perbedaan strategi keamanan mereka. Tapi masalahnya lebih sulit dari pada itu. Itu berasal dari dasar perselisihan antara strategi postmodern AS, dengan penekanan dan dominasi HAM pada Negara yang berdaulat pada sisi lain, dan strtegi modern korea, dengan tugas melengkapi transis modern.

Secara ringkas, keamanan asia timur laut pada abad 21 dibentuk oleh tantangan modern (konflik antar Negara dan balance of power) dan tantangan postmodern (terorisme transnasional). Permusuhan sejarah, keraguan dan keinginan untuk membalas dendam masih menggantung diantara Negara-negara asia timur laut. Logika terbuka dari balance of power tanpa institusi mulitilateral yang berkuasa dan transisi postmodern yang diaktifkan oleh keadaan yang semakin memburuk dari dilemma keamanan yang asimetris antara AS dan kelompok teroris. Karenanya, korea selatan menderita dari tiga kesulitan: kenangan dari kolonialisme yang lalu masih mempengaruhi kebijkana politik luar negerinya; kebutuhan untuk bertahan hidup diantara kekuatan yang besar dengan menyesuaikan pada logika balance of power; dan pertumbuhan konflik antara dengan AS yang meminta korea untuk menyesuaikan diri pada transisi postmodern.

 

Alasan ketidakberkembangan teori HI di korea

Jika kita berpikir alasan dari ketiadaan teodi HI korea non barat, dengan latarbelakang sejarah yang disebutkan sebelumnya, poin berikut harus dicatat. Pertama, prestasi akademis dan philosopis  dalam teori premodern, politik tradisional regional terputus dengan pekerjaan akademis yang mengikuti pengenalan dari HI modern. Sarjana tradisional menjaga perhatian normative mereka dan perspektif tentang keteraturan politik regional yang didasarkan pada neo-Confucianiseme. Sarjana Korea mencoba berpikir tentang penjelasan yang berpadu dari global ke regional dan keteraturan politik nasional, walaupun usaha positif untuk memberikan teori tentang realitas politik telah sangat berkurang. Mereka dikejar tujuan politik keamanan regional dan memelihara otonomi politik dari hegemoni dinasti china. Bagaimanapun, dengan kekerasan dari system Negara Barat melalui imperialisme, usaha ilmiah untuk mempertimbangkan realitas kesulitan tanpa pengetahuan yang sistematis dari evolusi keteraturan dunia Barat. Singkatnya, hubungan textual dalam korea antara usaha tradisional dan modern telah hancur.

Kedua, teori Barat telah di import sebagai produk yang telah selesai tanpa cerminin dalam proses pembuatan teori. Robert Cox menulis ‘setiap teori selalu untuk satu tujuan dan untuk sesuatu’ (Cox 1986). Pengalaman Barat pada transisi modern dan evolusi hubungan internasional modern sangat berbeda dari Asia. Apa yang dialami Barat selama 360 tahun, dari 1648-2005 dicangkok ke hubungan internasional Korea untuk waktu 130 tahun, dari 1876 – 2005, dan yang lebih buruk, dengan imperialis dan gangguan adikuasa. Jika kita mengimport teori Barat dengan dasar historis, dugaan komparatif dari perkembangan sejarah harus ada. Bagaimanapun, usaha seksama akan membutuhkan waktu yang lebih untuk diselesaikan. Disamping itu, penyamaran universalitas, tiiap-tiap teori sesuai dengan konteks historis sangat spesifik dan berdasarkan norma perhatian. Sangat tidak mudah sarjana Korea untuk belajar teori Barat dengan sejarah mereka dan konteks normative. Dengan kata lain, dasar meta-teorical setiap teori, epistomologi, ontology dan normative, belum dipikirkan.

Ketiga, teori HI Barat, apakah dengan sengaja atau tanpa sengaja, memarginalkan posisi dan sejarah negar dunia ketiga. Contohnya teori HI menyanjung norma dari keteraturan dan stabilitas, memarginalkan norma dari kesamaan  dan emansipasi. Yang penting disini adalah bahwa bukan kesaman dan emansipasi lebih peting dari keteraturan dan stabilitas. Yang penting adalah bahwa seharusnya ada perhatian tentang penghakiman meta-ethika untuk mengevaluais keutamaan yang relative dari persaingan norma etika. Norma yang berada pada sarjana HI Korea adalah persamaan dan otonomi politik, yang tidak berhubungan dengan teori HI Barat.